-Fragmen Silvi
Dear Frater Gabriel,
Rasanya sakit saat orang tua mendiamkan kita. Aku lagi rasain itu, Frater. Papa mendiamkanku selama seminggu gara-gara aku dan Ayah pulang larut malam di hari pelantikan pengurus OSIS. Aku nggak habis pikir kenapa Papa semarah itu.
Bukan salahku kalau kuterima ajakan Ayah merayakan hari itu. Ayah punya banyak waktu buat aku. Kalau Papa? Dia sibuk terus. Makanya, aku nggak terlalu berharap.
Begitu Papa gagal kasih kejutan, dia marah. Dia merasa nggak dihargai. Papa juga kesal sama Ayah. Menurutku, Ayah nggak salah.
Frater, kenapa dua ayahku jadi diam-diaman? Aku nggak suka suasana rumah kayak gini. Aku ingin mereka baikan lagi. Aku kangen obrolan ringan antara aku, Papa, dan Ayah. Aku kangen quality time bareng mereka. Frater, aku harus gimana?
Mungkin, kebanyakan anak pernah lihat ayah-ibunya ribut. Tapi karena aku nggak punya ibu, yang kulihat adalah kedua ayahku nggak klop. Hidupku aneh ya, Frater.
Regards,
Silvi
Pagi-pagi sekali kukirim e-mail untuk Frater Gabriel. Usai shalat Subuh, aku membuka laptop dan tergerak untuk curhat. Beban menyakitkan menghimpit dadaku.
Aku mengetukkan jemariku ke papan keyboard. Aku tak berharap Frater Gabriel membalas e-mailku. Dia, kan, sibuk. Belum lagi, waktunya di Seminari harus dibagi antara hidup rohani, hidup berkomunitas, dan tugas perutusan.
Iseng aku browsing hal-hal lain. Aku mendownload lagu, menonton video yang kusuka, dan membaca cerita di platform daring. Ketika aku bersiap menutup browser, aku mengecek e-mail sekali lagi.
Aku tersentak kaget. Ada balasan dari Frater Gabriel. Bukankah sekarang waktunya ibadat pagi? Ah, peduli amat. Aku baca dulu saja e-mailnya.
Dear Silvi,,
Aku ikut sedih. Semoga Papamu segera memaafkanmu.
Tidak ada yang salah, Silvi. Wajar bila kamu dan Ayahmu ingin menghabiskan waktu bersama. Wajar bila Ayahmu ingin memberi kejutan. Begitulah caranya mengekspresikan kebanggaan.
Soal Papamu yang gagal memberi kejutan dan marah, menurutku itu karena dia merasa tidak dihargai. Bayangkan, ketika kamu ingin memberi hadiah pada seseorang. Lalu orang itu menolak hadiahmu. Bagaimana perasaanmu? Tidak semua maksud baik dapat diterima dengan tangan terbuka, Silvi.
Sabar ya. Kemarahan datang dan pergi pada waktunya. Cinta kasih akan memadamkan amarah. Semarah apa pun Papamu, dia tetap mencintaimu.
Salam hangat,
Gabriel
Untaian pesan Frater Gabriel menyiramkan ketenangan di jiwaku. Aku harus kuat menghadapi raut dingin Papa di meja makan. Toh masih ada Ayah. Dia akan selalu bersamaku.
Ayah? Kalau dipikir-pikir lagi, Ayah ratusan kali lipat lebih sabar dari Papa. Senakal apa pun, Ayah tidak pernah mendiamkanku. Ayah lebih memilih diam saat marah. Kalaupun dia marah, kemarahannya tak menyakitiku.
Ah, apa-apaan aku ini? Kenapa aku malah membandingkan Ayah dan Papa? Tapi, kenyataannya memang begitu kok. Ayah jauuuuh lebih sabar.
Pintu kamarku diketuk halus. Aku bangkit dan membukanya. Ayah berdiri tegak di ambang pintu. Tangan kanannya membawa segelas susu, dan tangan kirinya memasukkan iPhone ke dalam saku. Dia tersenyum melihatku sudah bangun.
“Selamat pagi, Sayangku.” sapanya dengan gaya khasnya.
“Pagi, Ayah. Makasih ya, susunya. Ayah, temenin aku bentaaaar aja.”
Kami masuk ke kamar. Ayah duduk di pinggir ranjangku. Aku menyesap susu coklat pelan-pelan. Dari sudut mata, kulihat Ayah mengeluarkan iPhonenya lagi dan membuka aplikasi entah apa.
“Ayah...?”
“Ya?”
“Ayah lagi chatting sama siapa?”
“Nggak kok, Ayah nggak lagi chatting.”
Buru-buru Ayah menutup aplikasinya. Kenapa dia terkesan menyembunyikan isi smartphonenya dariku? Tidak, mungkin hanya perasaanku.
Kupandang Ayah lekat-lekat. Pria pucat itu masih mengenakan apron. Pasti Ayah habis memasak. Rajin sekali Ayahku. Padahal, mudah saja dia meminta bantuan Sonia atau memesan makanan via aplikasi.
“Ayah, kapan Papa baikan lagi sama kita?” tanyaku sedih.
Ayah membelai-belai punggungku. “Kemarahan datang dan pergi pada waktunya, Sayang.”
Aku terbelalak. Kata-kata Ayah persis Frater Gabriel.
Setengah jam kemudian, kami sarapan bertiga. Wajah dingin Papa tersembunyi di balik koran pagi. Orang di luar sana akan menganggap Ayah dan Papa aneh karena masih berlangganan koran cetak. Tapi, mereka memang merasa lebih nyaman membaca koran fisik ketimbang berita daring.
“Papa mau roti panggang? Aku ambilin ya,” tawarku.
Papa tak menjawab. Ia sibuk membalik halaman korannya. Kusorongkan piring keramik berisi beberapa potong roti panggang. Sedihnya, Papa sama sekali tak menyentuh roti panggang itu. Ayah menatap Papa memohon.
“Adica...anakmu bicara. Dia menawarimu sarapan. Jangan baca koran terus.”
“Diam! Kalian sarapan saja sana! Aku tidak lapar!” ketus Papa.
Aku meneguk saliva, miris. Kenapa Papa seketus itu? Kurasakan Ayah mencium ubun-ubunku.
**
Aku menggandeng tangan Catharina ke kapel. Wajah sahabatku ditekuk. Apa aku salah lagi? Bukankah janjiku untuk menemaninya ke kapel pagi ini sudah kulunasi?
“Catharina, senyum dong. Di rumah, aku ketemu Papa yang dinginnya kayak es krim. Masa di sekolah aku ketambahan muka cemberut kamu?” paksaku.
Catharina mengentakkan sepatunya ke paving block. “Kamu nggak punya waktu sejak ikut OSIS bodoh itu!”