Tengah malam, Calvin terbangun karena mual. Obat-obat kimia pembunuh Mr. C mulai menampakkan taringnya. Pria tampan itu merayap turun dari tempat tidur, lalu tertatih ke kamar mandi.
Calvin muntah-muntah. Isi lambungnya tercurah membasahi wastafel putih. Tubuhnya lelah, lelah luar biasa. Tak mengapa ia sering muntah asalkan penyakitnya sembuh.
Air mengalir membasuh wastafel. Dari wastafel, Calvin berpindah ke shower. Dia memutuskan berwudu lalu shalat Tahajud. Syukur pada Tuhan, penyakit ini membuatnya lebih dekat dengan Sang Sutradara Kehidupan.
Bermenit-menit Calvin habiskan dalam tafakur. Calvin berdoa dan bersyukur. Syukur lantaran masih ada kesempatan untuknya menghirup udara bersih.
Ia mendoakan Silvi. Berdoa agar dirinya diberi pasir waktu lebih banyak bersama anak kesayangannya. Tak lupa ia sebut nama Adica dalam doa. Meminta Tuhan melembutkan hatinya.
Mendoakan orang lain melembutkan hati. Tiap malam, Calvin melakukan itu. Hatinya yang lembut tak putus mendaras doa untuk Adica dan Silvi. Merekalah yang terpenting dalam hidupnya.
Usai Tahajud, Calvin mencoba tidur kembali. Letih dan kesakitan mempercepat pejam matanya. Tak butuh waktu lama baginya untuk terbawa dalam lelap.
Jam biologisnya berdentang tepat waktu. Calvin dibangunkannya pukul lima pagi. Tak pernah pria itu sengaja memasang alarm. Prinsipnya, biarkan tubuh beristirahat sesuai kebutuhan.
Walaupun jam tidurnya lebih dari cukup, Calvin merasakan tubuhnya remuk. Pegal melanda sekujur tubuhnya. Kelelahan yang sulit dijelaskan menderanya tanpa kenal kasihan. Demi Silvi, ia mengabaikan semua itu.
Dibuatkannya segelas susu hangat seperti biasa. Saat akan memasak sarapan, Calvin angkat tangan. Terpaksa ia biarkan Sonia meracik bubur ayam.
“Ayah udah baikan?” Silvi menanyainya, cemas.
“Udah.” Calvin berbohong.
“Hari ini aku nggak usah sekolah lagi ah. Aku mau temenin Ayah.”
Calvin menggeleng tegas. Silvi harus sekolah. Kemarin ia sudah membolos.
“Lagian, bukannya hari ini Silvi ada kegiatan OSIS? Ada audiensi sama sponsor buat pensi, kan?” Calvin lembut mengingatkan.
Silvi menepuk dahinya. Bagaimana mungkin ia bisa lupa? Malah Ayahnya yang ingat.
Hanya sepuluh menit Calvin sanggup menemani Silvi. Sepotong tangan besi merogoh dadanya, memaksa dahak dan darah naik ke tenggorokan. Calvin menghela nafas dalam-dalam, mencegah dirinya terbatuk di depan Silvi.
“Sayang, Ayah ke kamar dulu ya. Kamu sarapan sama Papa.” kata Calvin serak.
“What? Sarapan sama Papa? Papa aja masih marah sama Silvi.”
Namun, kali ini Calvin tak mendengar komplain anaknya. Tergesa ia menuju kamar.
Calvin batuk. Dahak keluar bersama dahak. Ia batuk beberapa kali lagi sebelum tenggorokannya sedikit lega.
Tubuh setinggi 175 senti itu merebah di ranjang. Calvin menatap langit-langit, memikirkan sesuatu. Ia tak boleh tinggal diam. Adica tidak bisa terus-terusan mendaimkan Silvi.
Bayangan buruk berkelebat di benaknya. Bagaimana bila kelak ia meninggal? Bagaimana bila Adica masih marah pada Silvi ketika waktunya telah tiba? Ini tak bisa dibiarkan.
Pukul sepuluh pagi, Calvin turun dari kamar. Jas Hugo Boss membalut lekuk tubuhnya. Dia menyuruh supirnya menyiapkan mobil.
“Antar saya ke kantor,” instruksinya.
Supir berkemeja hitam itu mengangguk tanpa kata. Mobil meluncur ke pusat kota.
Gedung pencakar langit berlantai dua puluh itu telah lama tak didatanginya. Mobil Calvin memasuki area parkir khusus direksi. Begitu menjejakkan kaki di lobi kantor, sepasukan karyawan menyambutnya penuh hormat. Mereka bergantian menyalaminya.
“Komisaris utama datang.” lapor seorang karyawan berseragam merah pada temannya yang baru datang.
Karyawan yang baru datang itu menjabat tangan Calvin. Calvin menyambut ramah semua karyawannya, lalu bertanya.
“Adica ada di kantor?”
“Pak Direktur ada di kantornya. Mari saya antar.”
Calvin diantarkan ke ruang direktur di lantai sembilan belas. Saat menaiki lift, puluhan jepit rambut ekstra besar serasa menjepit dadanya. Refleks tangan Calvin mencengkeram dada sebelah kanan.
“Pak...Bapak Komisaris kenapa?” tanya dua karyawan yang mengawalnya.
Calvin sesak nafas. Dadanya sakit sekali. Mereka berhenti di lantai terdekat, lantai sembilan. Dua karyawan memapah Calvin dan mendudukkannya di sofa. Salah seorang dari mereka menelepon bagian sekretaris direktur. Mengabarkan kondisi Calvin.
“Pak Komisaris, bertahanlah. Pak Direktur sedang menuju ke sini.”
Mendengar itu, Calvin tertampar rasa bersalah. Ia telah merepotkan banyak orang. Salahkah keputusannya datang ke kantor?
Tak lama, Adica berlari keluar dari lift. Kecemasan mendalam terukir di mata sipitnya. Mau tidak mau Calvin tersenyum. Semarah-marahnya Adica, dia tetap mencemaskan Calvin.
“Kamu...” geramnya.
“Bisanya merepotkanku. Tarik nafas.”
Adica membimbing Calvin melakukan teknik calm breathing. Teknik pernafasan yang diajarkan Dokter Tian tiap kali Calvin sesak nafas atau merasa stress.
“Tahan selama beberapa detik atau sebisamu.”
Calvin menahan nafas. Tak kuat menahan nafas lama-lama, pria penyuka warna hitam itu terbatuk. Adica meminta teknik pernafasan itu diulang.
Kali kedua, Calvin dapat menahan nafas selama beberapa detik. Ia bernafas perlahan-lahan. Sesak di dadanya berkurang.