Papa dan Ayah

princess bermata biru
Chapter #10

Opus 9: Malaikat di Pentas Seni

-Fragmen Silvi

Pagi ini, kutemukan setangkai lily putih di mejaku. Wangi lily membelai hidungku. Kuangkat bunga lily, kudekatkan ke hidungku. Wanginya terhirup lembut.

Dari siapakah lily ini? Seingatku, aku tidak membeli bunga lily. Apakah dari Ayah lagi? Aku bersiap menelepon Ayah saat kutemukan sehelai kartu keemasan di dekat tempat tergeletaknya bunga lily. Kubalik kartu itu.

“G?” Aku bertanya-tanya.

Ya, hanya ada huruf G besar yang tertera di kartu. Apa maksudnya G? Mungkinkah pengirim bunga berawalan huruf G?

Catharina berlari masuk ke kelas. Ia terengah sambil melemparkan tas asal saja ke bangkunya. Letih di wajahnya bertransformasi menjadi raut menggoda begitu terpandang olehnya bunga di tanganku.

“Cieee...siapa yang kirim bunga pagi-pagi?” cetusnya.

“Tau ah, gelap. Cuma ada huruf G di kartunya.”

Tanpa permisi, Catharina merebut kartu keemasan. Mata besarnya meneliti inisial itu. Keningnya terlipat.

“G? Siapa ya? Ada nggak teman sekelas kita yang namanya berawalan huruf G?”

Kami berpikir-pikir. Betapa bodohnya aku. Dari pada repot mengingat, kenapa tidak ambil daftar absen saja? Aku dan Catharina melesat ke meja guru.

“Garry Alexander...ah, si Garry jelek kan udah punya cewek. Ntar kamu diskakmat sama Angelina. Taekwondownya gila.” Catharina merepet tak jelas.

“Giovanny Albertus Nainggolan. Yeee, dia lebih nggak mungkin. Si Gio pelit abis. Udah pelit, jomblo tingkat akut lagi. Aku ingat pas kerkom di rumahnya, si Gio nggak suguhin apa-apa. Air minum aja nggak.”

Kutemukan nama Gerard Wijaya. Aku menggeleng. Sempat berembus kabar kalau anak basket itu naksir padaku. Tetapi, dia mundur teratur setelah mengetahui perasaanku pada Frater Gabriel.

“Gilbert Austin Wibowo. Yaaah, si Gilbert mana punya modal buat kasih bunga ke cewek? Uang kas kelas aja dia sering mogok bayar!” ceplos Catharina tepat ketika si empunya nama datang.

“Gilang Florensius Kartasasmita. Hmmm, mungkin juga sih. Ayahnya punya enam bengkel mobil. Pasti mampu beli bunga. Dan dia baik sama kamu, Silvi.”

Aku tak yakin. Jariku kembali menyusuri deretan nama di barisan huruf G.

“George Steven Latuperisa. Ah, ini nih kayaknya. George ini yang bapaknya punya mall, kan? Trus dia pernah nembak kamu, tapi kamu nggak jawab?”

Sekali lagi, aku ragu. Firasatku mengatakan, bukan teman sekelas yang mengirimiku bunga.

“Aku nggak yakin,” desahku.

“Terus siapa dong?”

Aku menyisir rambut dengan jemariku. Kucoba mengingat-ingat semua pria yang care padaku. Ada Ayah, Papa, dan Frater Gabriel. Semalaman Frater Gabriel dan aku berkirim e-mail. Kami ngobrol seru. Tepatnya, aku cerita banyak hal dan dia menanggapi dengan bijak. Jangan-jangan...

“Frater Gabriel!” teriakku gembira.

Catharina terlonjak. Ups, aku baru sadar. Kuteriakkan nama itu di telinganya.

“Ngaco kamu. Dia, kan, Frater. Mana bisa beli bunga?” sanggah Catharina.

“Lho, memangnya Frater nggak boleh beli bunga?”

“Bukan nggak boleh, tapi nggak bisa. Frater, kan, disiapin biar selibat. Jadi, mana bisa pacaran? Lagian, uang saku mereka dikit banget. Frater diajarin buat hidup sederhana, supaya konsisten dengan kaul kemiskinan.”

Apa pun penjelasan Catharina, aku tetap optimis. Siapa tahu bunga ini sungguhan dari Frater Gabriel. Apakah ia menyukaiku? Rasa penasaran mendesak-desak batinku.

“Silvi, udahlah jangan berharap sama Frater. Dia bukan milik kita, tapi milik Tuhan. Kamu mau berebut sama Tuhan Yesus?” Catharina mengingatkan.

“Yah...segala sesuatu nggak ada yang mustahil, kan? Kamu nggak ingat cerita Suster Mariana tentang teman-teman di biaranya yang keluar karena ingin menikah?”

Catharina menghela nafas lelah. Sepertinya dia menyerah dengan kebandelanku.

“Nih, dengerin aku ya. Baru semalem aku chatting sama Frater Gabriel. Dia baik banget, dia jadi fast respon. Kayaknya dia memang suka sama aku deh.” jelasku panjang lebar.

“Semua Frater baik, Silvi. Mereka punya effort untuk jadi abdi Tuhan sekaligus penolong. Tapi, kayaknya nggak kalau sampai suka sama lawan jenis. Dan...kenapa Frater Gabriel bisa balesin e-mail kamu terus ya? Jadwalnya di Seminari, kan, diatur ketat.”

Selalu saja Catharina mematahkan argumenku. Ah, sahabatku memang tidak suportif. Aku harus membuktikan sendiri perkiraanku.

Bel tanda pelajaran pertama berbunyi. Catharina dan teman-temanku beranjak ke kapel. Aku pergi ke ruang OSIS untuk mengambil sekantong besar makanan ringan. Nantinya, makanan ringan ini akan kujual di kelas dan hasil penjualannya untuk tambahan dana pensi.

**    

Setelah rapat OSIS, aku bergegas ke ruang guru. Aku berharap Frater Gabriel belum pulang agar aku bisa bicara dengannya. Voilet, harapanku terkabul.

“Ada apa, Silvi?” Frater Gabriel bersuara ketika kami bertemu.

Kedua kakiku kugeser-geserkan dengan gelisah. Frater Gabriel menatapku, menanti aku bicara. Tangan kananku memain-mainkan bunga lily dalam genggaman.

“Frater, makasih ya bunganya. Ini dari Frater, kan?” Aku memulai seraya menunjukkan bunga itu padanya.

Aneh, dia hanya tersenyum. Jantungku berdetak kian cepat. Aku gugup untuk mengungkapkan maksud selanjutnya.

“Ada lagi, Silvi?”

“Ehm...Frater Gabriel, maukah Frater datang ke pensi bersamaku?”

Panas dingin aku mengucapkannya. Cewek apaan aku ini? Beraninya aku mengajak seorang cowok duluan. Papa, Ayah, aku malu.

Air muka Frater Gabriel berubah. Semula bening penuh keramahan, kini keruh dan mencela. Aku waswas. Jangan-jangan Frater Gabriel ilfeel denganku. Terlalu nekatkah diriku?

“Maaf, nggak bisa.” katanya singkat.

“Tapi kenapa, Frater? Cuma datang ke pensi kok.”

“Saya ini Frater, Silvi. Biarawan Katolik. Kamu tahu itu, kan?”

Lututku lemas seketika. Ya, Allah, telah berdosakah aku? Apakah aku sedang berebut dengan Tuhan Yesus yang diimaninya?

“Saya harus pergi. Permisi.”

Dia pergi. Meninggalkanku terpuruk sendiri. Sakit, sakit sekali hati ini. Aku, Silvi Gabriella Tendean yang cantik dan mendapatkan banyak cinta di sekelilingku, ternyata ditolak seorang lelaki.

Mataku memanas. Udara di sekelilingku mendingin. Tetes hujan sebesar es menimpa kepalaku. Aku dan langit bertangisan. Petir menjadi musik perkusi yang mengiringi tangis kami.

Lama menangis, aku bangkit meninggalkan taman sekolah. Aku berlari keluar halaman dan menyetop taksi. Kusebutkan alamat rumah dengan suara bergetar. Supir taksi memandangku prihatin karena sepanjang perjalanan aku terus mengeluarkan air mata.

Tiba di rumah, tubuhku membeku seperti patung es. Papa dan Ayah berlarian ke teras begitu sadar aku pulang dalam kondisi kacau.

“Masya Allah...Silvi! Kenapa, Sayang?” Ayah bertanya panik.

“Siapa yang bikin kamu nangis? Biar Papa hajar!” geram Papa.

Kuceritakan semuanya. Ayah memelukku sangat erat. Papa memaki-maki Frater Gabriel.

“Sayangku, tenang ya. Sudah, jangan sedih lagi. Ayah pastikan kamu nggak akan sendirian saat datang ke pensi.” hibur Ayah seraya menghapus air mataku.

**    

-Fragmen si kembar

Silvi sudah lama jatuh tertidur. Dia baru bisa tidur setelah Calvin menyanyikannya lagu dan memeluknya di ranjang. Calvin turun dari kamar Silvi lalu menghampiri Adica di ruang keluarga.

Lihat selengkapnya