-Fragmen si kembar
Calvin dengan Adica dan Silvi adalah satu jiwa Bila salah satu dari mereka bertiga sedih, kesedihan itu jadi milik semua. Begitu pula jika salah satu di antara mereka bahagia.
Seperti kegembiraan Calvin dan Silvi malam ini. Calvin senang karena bisa mengembalikan senyum Silvi. Silvi senang karena bisa menjadi pasangan teromantis di pensi. Sementara itu, Adica ikut bahagia setelah mendengar cerita mereka.
“MC sama bandnya bego banget. Mereka nggak tahu kalo pasangan pilihan mereka itu palsu.” komentar Adica setelah mendengar cerita dan melihat video yang ditunjukkan Silvi.
Mereka tertawa. Malam yang semula diduga akan berbalut kesedihan, kini dibasuh kegembiraan. Sudah lama ketiganya tak tertawa lepas begitu.
“Tau gitu, mending aku yang pura-pura jadi pasangannya Silvi. Biar door prizenya buat aku.” Adica masih gatal untuk tidak berseloroh.
“Salah sendiri tadi nggak nurutin feeling aku. Blessing in disguise, kan?”
Adica melirik goodie bag di bawah kaki kursi. Ia ingin sekali membukanya, penasaran dengan isinya. Silvi cukup peka. Ditariknya tas berwarna merah hati itu, lalu dibukanya.
Si kembar merapat, ingin melihat bagian dalamnya. Mereka kaget campur antusias.
“Wow, pensi SMA aja door prizenya kayak gini. Good job, Silvi.” Adica tak bisa menahan diri untuk memuji.
Silvi sendiri tak percaya dengan door prize yang didapatnya. Semakin bagus hadiah, semakin royal sponsor mendukung pelaksanaan event, dan semakin meyakinkan hasil kerja Silvi. Goodie bag itu berisi sepasang jam tangan, kaos couple, netbook, dan voucher makan di sebuah restoran mewah.
“Yah, aku nggak suka kaos. Gimana dong?” tanya Silvi, menatap kaos couple yang belum dibuka bungkusnya.
“Ayah juga nggak suka. Jas tetap nomor satu. Kamu mau?” tawar Calvin pada Adica.
“Nggak. Kita kasih aja buat Sonia dan anaknya.”
Calvin dan Silvi setuju. Adica menatap iri voucher makan untuk dua orang. Sebenarnya, gampang saja baginya makan di resto mewah itu. Ia hanya ingin merasakan romantisme makan bersama orang terkasih di tempat yang juga romantis.
“Kenapa, Adica? Pengen makan malam romantis. Makanya, kamu nikah dong.” goda Calvin.
Adica menatap sebal saudara kembarnya. “Alah, kayak kamu mau nikah aja.”
“Aku memang nggak mau nikah. Aku di sini aja, urus Silvi. Cukup kamu yang kasih Mama baru, ok?”
Adica menggigit bibirnya. Calvin sudah memberi lampu hijau. Hanya saja, Adica belum menemukan wanita yang cocok.
“Udah ah. Aku mau tidur. Besok ada meeting. Good night.”
Setelah mengucap selamat malam, Adica pergi ke paviliun. Calvin mengantar Silvi ke kamarnya. Diselimutinya gadis itu dan ia kecup dahinya.
“Selamat tidur, Sayang. Ayah mencintaimu.”
Lama Calvin di sana setelah Silvi terlelap. Dipandanginya seraut wajah cantik itu lekat-lekat. Berapa pun usianya, Silvi tetaplah putri kecil Calvin. Putri kesayangan yang ia jaga sepenuh jiwa raga. Raga yang menunggu waktu.
Tes.
Bercak merah menjatuhi telapak tangannya. Cairan merah itu berasal dari hidungnya. Calvin mimisan lagi. Ia senang karena Adica dan Silvi tak melihatnya.
**
Esoknya, mereka jalan bertiga. Adica memutuskan ikut ke resto mewah di skybar bersama Calvin dan Silvi. Meski ia harus bayar sendiri, yang penting ia bisa melewatkan waktu yang berkualitas bersama kakak kembar dan anaknya.
Entah berapa purnama berganti sejak terakhir kali Calvin, Silvi, dan Adica jalan bertiga. Mereka dibenturkan pada banyak kendala tiap kali ada rencana jalan-jalan. Adica tenggelam dalam kewajiban sebagai direktur selama tujuh hari seminggu dan dua puluh empat jam sehari. Silvi sibuk sekolah dan kegiatan OSIS. Kondisi kesehatan Calvin tak memungkinkannya untuk terlalu banyak beraktivitas di luar rumah. Jalan-jalan bertiga menjadi momen langka bagi mereka.
Sebelum makan, Silvi mengajak Ayah dan Papanya nonton. Ada film bagus yang sedang diputar. Calvin dan Adica sangat menikmati saat-saat ini.
“Calvin, rasanya kita jadi anak sekolah lagi ya.” Adica tak tahan untuk tidak mengungkapkan kesenangannya.
“Oh iyalah. Punya Silvi bikin kita jadi anak muda terus.”
Silvi tersenyum memandangi dua pria tampan di kanan-kirinya. Mata Adica jelalatan mengamati perempuan-perempuan yang mengantre di loket tiket. Setelah lama diperhatikan, tak ada yang menarik.
“Papa lagi cari Mama baru ya?” Silvi terkikik geli seraya mencubit pinggang Adica.
“Iya, tapi nggak ada yang cantik.”
Orang-orang menatap aneh ke arah mereka. Sebagian mengagumi ketampanan dan kecantikan keluarga kecil itu, sebagian lagi menuduh Silvi rakus. Dikiranya Silvi menggaet dua pria sekaligus.
Sementara Silvi dan Adica asyik bercanda, Calvin keluar dari antrean. Dibelinya tiga cup milk tea dan sebuket besar pop corn rasa karamel. Melihat Calvin kembali dengan menenteng bawaannya, Silvi cemberut.
“Ayah, kenapa beli camilan? Nanti kita, kan, mau makan!” rajuknya manja.
“Ya udah kalo kamu nggak mau. Biar Papa aja yang abisin. Kalo Papamu gendut, kan, nanti nggak ada yang mau jadi istri.” sahut Calvin santai.
Adica melempar tatapan membunuh ke arah Calvin. Kalau saja saudara kembarnya tidak sakit, sudah dijitaknya kepala pria itu.
Mereka pun menonton film. Sebuah film bersetting reuni sekolah, namun sarat akan kritik sosial. Calvin dan Adica fokus pada kritik sosial yang disampaikan di film itu. Silvi gagal fokus gegara melihat pemeran utamanya yang ganteng dan bertubuh seksi.
Usai menonton film, mereka bergegas ke skybar. Sejak tadi Silvi tidak henti melirik arlojinya.
“Ayah, waktunya minum obat. Ayah bawa obatnya, kan?” tanya gadis itu ketika mereka duduk manis di meja terracotta.
Calvin mengangguk enggan. Silvi meremas tangan sang ayah. Kotak obat berwarna putih dikeluarkan. Pil-pil putih yang berkejaran di dalam kotak ditatap bosan oleh pemiliknya. Calvin ingin ingin sehari saja berhenti meminum obat-obat itu.
Puluhan jarum jahat menusuk dadanya. Pil-pil itu diminumnya dengan sangat enggan. Calvin menyeka keringat dingin yang membanyak di keningnya, berharap sakitnya lenyap saat itu juga. Silvi memandangnya sedih.
“Berhenti menatap Ayah seperti itu.” kata Calvin dingin.
Silvi dan Adica tertegun. Baru kali ini Calvin berkata dingin pada Silvi. Pria itu menjadi sensitif bila berurusan dengan penyakitnya.
“Ayah, maaf...”
Kata-kata Silvi tak tuntas. Detik berikutnya, ia telah berpindah ke pelukan Calvin. Mata Adica menghangat melihat adegan itu. Ia berpaling, lalu mengangkat tangan memanggil waiters.
**
-Fragmen Silvi
Gawat, aku kesiangan! Semalam aku, Ayah, dan Papa pulang larut. Kami sengaja mampir ke banyak tempat karena sudah lama tak jalan bertiga.
Kenapa juga mereka tak membangunkanku? Aku bisa terlambat! Kusambar handuk dan bathrobe. Tanpa sempat mengenakan penutup kepala, aku menyerahkan tubuhku ke bawah hangatnya guyuran shower. Rambutku basah kuyup. Terpaksa aku membubuhkan shampoo.