Papa dan Ayah

princess bermata biru
Chapter #12

Opus 11: Bukan Wanita Berhijab

-Fragmen Silvi

“Boleh kenalan?”

Sebulan lebih sejak modus kenalan ala Papa. Hingga detik ini, Ayah masih sering meledek Papa dengan cara itu.

“Kenalan sama kamu? Ngapain? Bosen ketemu kamu tiap hari.” Papa mengibaskan tangan, menjauh dari Ayah.

Di sofa, aku hanya tertawa kecil memperhatikan tingkah Papa dan Ayah. Tak terasa hukumanku sudah selesai. Seluruh keuntungan bisnis food truck kusumbangkan untuk anak penderita kanker. Alasanku memilih anak penderita kanker cukup melankolis: karena Ayah.

“By the way, aku bersyukur Silvi dihukum. Kalau tidak, sampai sekarang aku belum bertemu Asyifa.” ujar Papa, matanya berbinar bahagia.

“Cara Tuhan mempertemukan sepasang pria dan wanita terkadang sangat unik, Adica.”

Kugigit bibir bawahku. Lagi-lagi Papa menyebut nama wanita itu. Ya, Allah, bolehkah aku jujur? Aku tidak suka Papa terlalu dekat dengan Tante Asyifa. Kurasa, Papa pantas mendapat yang lebih baik dari itu.

Pintu balkon bergeser terbuka. Kehadiran Sonia mengisap perhatian kami.

“Tuan, Nona, makan malam sudah siap.” katanya.

Belakangan ini, Ayah lebih mudah lelah. Aku dan Papa melarangnya memasak. Alhasil pekerjaan rumah Sonia makin banyak. Biarlah, tak apa. Lebih baik keluar uang lebih untuk membayar Sonia ketimbang melihat Ayah tumbang karena kelelahan.

“Terima kasih. Adica, Silvi, ayo kita turun.” ajak Ayah.

Aku beringsut bangkit dari sofa. Papa menggeleng sambil tersenyum.

“Hari ini aku makan di luar ya. Aku ada janji sama Asyifa.”

Janji dengan Tante Asyifa lagi? Perasaan, hampir tiap hari Papa bertemu dengannya. Tidakkah Papa bosan?

“Kenapa sih, Papa ketemuan terus sama Tante Asyifa?” selidikku.

Sepertinya, Papa menangkap nada sebal dalam suaraku. Tatapannya menajam.

“Wajar dong. Papa, kan, lagi pedekate sama Tante Asyifa. Harus intens ketemuan, apa lagi Papa dan Tante Asyifa satu kota. Kelewatan kalo nggak bisa ketemu, memangnya LDR?”

Bibirku mengerucut. Ini salah satu alasanku tidak menyukai Tante Asyifa. Lama-lama dia bisa merebut Papa dariku. Papa sedikit-banyak mulai berubah sejak kenal wanita itu.

“Papa udah berubah sejak kenal Tante Asyifa!” teriakku tiba-tiba.

“Papa jarang makan bareng lagi sama aku dan Ayah! Papa lebih suka jalan sama Tante Asyifa! Papa nggak pernah perhatiin aku lagi!”

Wajah Papa memerah menahan murka. Aku mematung, siap menerima ledakan amarahnya.

“Siapa bilang Papa nggak perhatiin kamu lagi? Intensitasnya berkurang saja, bukan hilang sama sekali.” sanggah Papa ketus.

“Tetap aja aku nggak suka sama Tante Asyifa! Kukira Papa bakal pilih wanita berhijab buat jadi Mama aku!”

Ayah bergegas ke sisiku. Dia merangkul pundakku lembut, berusaha menenangkan. Aku memberontak lepas dari pegangan Ayah. Biarkan Ayah, biar kuhamburkan isi hatiku yang terpendam pada Papa.

Kudengar tawa hambar Papa. Mata sipitnya berkilat marah.

“Jadi, karena itu kamu nggak suka sama Tante Asyifa? Silvi...Silvi, baik-tidaknya seseorang tidak bisa diukur dari hijab. Kalau kamu sudah dewasa, kamu akan tahu lebih banyak tentang hitam-putihnya dunia.”

“Aku bukan anak kecil lagi! Aku sudah tahu mana yang baik dan tidak! Dan Tante Asyifa bukan yang terbaik buat Papa!”

“Terus yang terbaik buat Papa seperti apa menurutmu? Apa Papa harus menikahi wanita bercadar yang menyimpan bom di balik cadarnya? Apa Papa harus mendatangi majelis-majelis radikal, terpapar doktrin teroris, lalu menjadi pengantin dengan menikahi salah satu wanita pengikutnya? Ataukah Papa harus menikahi wanita fanatik dengan hijab besar yang akan mengatur-atur hidup kita seperti khalifah atau Taliban? Memangnya kamu mau punya Mama yang melarangmu bermain musik, menyimpan foto manusia, membaca komik, dan memakai dress selutut?”

Tengkukku merinding. Secara implisit, Papa tengah menjelaskan dikotomi yang sangat kontras antara pemeluk agama liberal dengan pemeluk agama fanatik. Jelas aku tak mau punya Mama fanatik rasa radikal. Kalaupun akhirnya aku harus memanggil wanita dengan sebutan Mama, dia haruslah wanita baik hati yang menebarkan ketenangan lahir batin di rumah ini. Salah satu simbol ketenangannya adalah hijab. Hijab membuat pemakainya teduh menawan. Namun, bukan pula wanita berhijab radikal yang kudambakan sebagai Mamaku.

“Pokoknya aku nggak setuju Papa nikah sama Tante Asyifa!” jeritku marah.

Pelukan Ayah mendadak terlepas. Aku menolehkan kepala. Ayah terbatuk-batuk. Satu tangan mencengkeram dadanya.

Kemarahanku lindap terbawa angin kekhawatiran. Papa membuang raut dinginnya. Kami berhambur mendekati Ayah.

“Calvin...Calvin, kamu tidak apa-apa?” Papa memapah Ayah ke sofa, wajahnya cemas luar biasa.

Kusodorkan beberapa lembar tissue. Ayah menangkupkannya dan kembali terbatuk. Aku terbeliak melihat bercak-bercak darah berjatuhan.

“Ayah, kita ke rumah sakit ya.”

Ayah menggeleng pelan. “Kalian jangan bertengkar lagi...”

Papa dan aku bungkam. Kami saling tatap. Demi Ayah, sementara kami mengubur kapak peperangan.

**   

Bel tanda istirahat kedua berdering panjang. Teman-teman sekelasku menghela napas lega. Saking penatnya menghafal rumus Fisika, hampir saja kepala mereka mengeluarkan asap. Untunglah jam makan siang segera tiba.

“Aduh, kateringnya mana sih? Aku lapar...” keluh Catharina sambil mengusap perutnya.

Aku diam saja. Tak berselera untuk berbicara. Semangatku kandas sejak Papa kian dekat dengan Tante Asyifa. Kondisi Ayah yang makin tak stabil memperparah moodku.

“Silvi, kamu kenapa sih?” Catharina menyikut rusukku.

Aku terpaku di bangkuku. Catharina menatapku kepo.

“Kamu kenapa?” ulangnya.

“Nggak apa-apa,” jawabku pendek.

“Kalo ada masalah, cerita dong. Masih kepikiran Frater Gabriel? Udah deh, berhenti ngejar-ngejar kekasih Tuhan.”

Kugebrak meja. Seisi kelas berpaling ke arahku.

“Bisa nggak kamu diam? Aku nggak mau bahas apa pun soal Frater Gabriel.” ketusku.

Catharina jiper. Rasakan, memangnya enak kubentak?

Aku tak ingin memikirkan Frater Gabriel. Gara-gara omongan Catharina, aku jadi memikirkannya lagi. Aku dan Frater Gabriel nyaris tak bicara sejak insiden pensi. Anehnya, Frater Gabriel masih sering mengirimiku e-mail berisi motivasi. Aku pun tak ragu berbelah rasa padanya. Komunikasi kami sebatas maya. Di dunia nyata, kami tak lagi bertegur sapa.

Gemeretak roda di koridor luar kelas menyentuh gendang telingaku. Ah, itu pasti kereta makanan yang didorong petugas katering. Aku kenal bunyinya.

Asumsiku salah. Seorang petugas katering bertopi putih memanggil namaku. Bingung, aku berjalan menghampiri kereta makan itu.

“Iya...ada yang bisa saya bantu?” tanyaku ramah.

“Semua makanan ini untuk Nona Silvi dari Tuan Adica.”

Aku melotot. Bagaimana tidak, troli makanan itu menggunung penuh berisi eby furay, fyunghai, sayur bayam, nasi goreng Hongkong, udang goreng mentega, ayam goreng madu, bebek Pekking, nasi hainam, bubur mutiara, pindang patin, ikan woku, dan rendang. Makanan sebanyak ini pemberian Papa?

“Ya ampun, itu sih makanan buat orang sekampung! Memangnya Silvi segitu rakusnya sampai bisa abisin semua!” Natasha berkoar melecehkan.

Ya, kali ini aku sepakat dengan Natasha. Papa berlebihan menyediakan makan siangku. Lagi pula, aku sedang menunggu ransum dari katering sekolah.

“Bawa pergi semua makanannya,” suruhku datar.

“Tidak bisa, Nona. Kata Tuan, Nona harus menerimanya.”

Aduh, pemaksaan. Aku menghela nafas dalam. Kuambil satu porsi rendang, setengah porsi pindang patin, semangkuk bubur mutiara, dan seporsi nasi goreng Hongkong. Aku meminta sisanya dibagikan untuk karyawan sekolah.

“Pelit! Kok aku nggak dikasih?” sungut Catharina.

Lihat selengkapnya