-Fragmen si kembar
Pagi membangunkan jiwa raganya. Sejenak melumerkan bongkahan es kegalauan. Galau hati direktur itu memikirkan Asyifa, Calvin, dan Silvi. Mereka bagai segitiga tak mungkin. Bagaimana menyatukannya?
Langit biru bersih. Bola bulat kuning yang tersenyum di kaki langit menampakkan kedamaian. Cuaca pagi itu cerah sekali. Pagi cerah cukup langka di bulan-bulan hujan begini.
Pria yang telah dipanggil Papa sejak berumur 20 tahun itu memulai aktivitasnya. Membilas diri, melarutkan kepenatan dan sampah otak sisa semalam di bathtub. Setelah mengenakan kemeja, mengaitkan dasi, dan mengancingkan jasnya, Adica meraih iPhone. Dicarinya kontak Asyifa. Sedikit waktu ia sisakan untuk menatap wajah wanitanya.
“Selamat pagi, belahan jiwaku.” sapanya.
“Pagi, Adica.” Asyifa menyahut sambil tersenyum. Kepalanya masi dililit handuk.
“Kamu ngapain pakai handuk di kepala?” tanya Adica kepo.
Asyifa tertawa riang dan berkata,
“Abisnya kamu video call pas rambut aku basah.”
Keriangan Asyifa menular. Adica ikut tertawa.
“Kamu pakai apa pun, kamu tetap cantik.”
“Aku nggak cantik, Adica.”
“Aku serius. Kamu tetap cantik saat memakai apa pun.”
“Ok. Kalo gitu, nanti aku pakai handuk ini ya, kalau jalan sama kamu.”
“Kenapa nggak?”
Tawa dan candaan masih berlanjut. Inilah hobi baru Adica tiap pagi sejak kenal Asyifa. Kenal Asyifa membuat Adica merasa belasan tahun lebih muda.
“Nanti siang jadi, kan?”
Suara mezzosopran Asyifa membangunkannya. Asyifa menatap kekasihnya penuh tanya. Ternyata sejak tadi Adica terdiam dengan tatapan menerawang.
“Jadi kok. Aku jemput kamu. Dari kantor, kita ke sekolah Silvi. Semalam aku baca di grup WA sekolah, hari ini siswa pulang lebih awal karena ada rapat guru.”
Asyifa mengangguk senang. Ia ingin segera memulai hubungan baik dengan Silvi. Melihat senyuman Asyifa, tak kuasa Adica menghapusnya. Jika ia menyingkap tabir kenyataan di depan Asyifa, tak tertutup kemungkinan wanita itu akan mundur teratur. Begini risiko mendekati pria yang sudah memiliki buah hati.
“Ok. Sampai ketemu nanti siang ya. Assalamualaikum.”
Video call berakhir. Setelah menatap cermin sejenak, Adica bersiap keluar dari kamarnya. Tepat ketika ia membuka pintu, ia berpapasan dengan Calvin. Terlihat kembarannya itu membawa segelas besar susu putih.
“Untukmu,” kata Calvin tulus.
“Thanks.”
Adica merampas gelas susu, lalu menghabiskannya sekali teguk. Sukses membuatnya dihadiahi tatapan heran dari Calvin.
“Kamu haus atau kerasukan?”
“Terlalu semangat kali.”
“Karena nanti siang mau ketemu Asyifa?”
Hati Adica mencelos. Senyum tipis bermain di bibir Calvin.
“Kamu nguping?” tuduh Adica.
“Nggak. Tapi, apa pun yang berkaitan dengan Silvi, aku akan selalu turun tangan.”
Adica menghempas napas kesal. Saudara kembarnya kelewat ikut campur. Ia membawa-bawa Silvi atas nama rasa sayang. Tak bisakah Calvin membiarkannya bahagia?
“Kamu berhak bahagia, Adica. Aku takkan menghalangi kebahagiaanmu. Selama kamu tetap menepati janji yang telah kita sepakati.” Calvin berujar perlahan, seolah menyelami isi hati Adica.
“Kamu terlalu ikut campur, Calvin. Berenti mencampuri urusanku!” sergah Adica kasar.
Di luar dugaan, roman muka Calvin tetap tenang meneduhkan. Kalau bukan karena Silvi, Calvin takkan turun tangan seserius ini.
“Aku hanya akan mengingatkanmu. Bagaimana pun sikap Silvi pada Asyifa, jangan pernah kasar padanya. Paham?”
Adica mengangguk sambil lalu. Firasat tak enak menyusup ke hati Calvin. Takkan dibiarkannya Silvi hanya ditemani Adica dan Asyifa.
Sejurus kemudian, Ccalvin berbalik. Ia berjalan menuju kamarnya. Benaknya sibuk menyusun rencana.
Baru saja rencana itu tersusun, Calvin merasakan tusukan di dada kanannya. Mr. C berulah lagi. Calvin meremas dada, mencoba berkompromi dengan Mr. C. Setidaknya, biarkan hari ini ia sehat. Silvi tak boleh ditinggal hanya bersama dua orang yang tidak sungguh-sungguh menyayanginya.
“Mr. C, jangan hari ini...tolong jangan hari ini. Calvin berbisik lemah, susah payah menjangkau kotak obat di atas meja komputer.
Pil-pil putih berceceran. Calvin mengambil salah satu, dan menelannya tanpa air mineral. Dia harus kuat. Dia tak boleh kalah melawan Mr. C.
**
SUV metalik Adica terparkir manis di depan gerbang sekolah. Dua ratus meter darinya, sebuah Land Cruiser keperakan berdiri gagah. Calvin duduk di balik kemudi. Sengaja ia menggunakan mobil lain agar tidak menimbulkan kecurigaan.
Jarum jam berputar tepat di angka dua belas. Gerbang besi kokoh itu memuntahkan siswa-siswi yang dipulangkan lebih awal. Riuh-rendah celoteh mereka begitu gaduh. Silvi berjalan di antara mereka. Langkahnya anggun menghampiri mobil Adica.
“Hai, Pa...”
Senyum gadis itu memudar. Mata birunya meredup. Pandangannya tertumbuk ke arah Asyifa yang duduk di bangku penumpang depan, di samping Papanya. Melihat wajah keruh Silvi, Asyifa turun dari mobil.
“Silvi boleh di depan. Biar Tante duduk di belakang,” tawarnya halus.
“Nggak mau! Aku pulang naik taksi!” tolak Silvi keras.
Adica tidak kaget mendapati reaksi negatif Silvi. Justru Asyifalah yang menampakkan keterkejutan.
“Kenapa, Sayang? Tante...Tante mengganggu, ya?” tanya Asyifa tergagap.
“Sangat mengganggu! Nggak seharusnya Tante ada di hidup Papa!”
Wajah Asyifa memias. Adica tegang bercampur marah. Di kejauhan, Calvin cemas.
“Adica, benarkah begitu?” Asyifa berpaling ke arah Adica.
“Benarkah Silvi menganggapku pengganggu?”
Dengan berat, Adica mengangguk. Pedih hatinya menyingkap tabir realita ini.
“Kenapa? Mau nangis? Mau bikin drama biar Papa luluh?” tuntut Silvi keji.
Asyifa menggeleng lemah. Tak nampak sebersit pun kemarahan di wajahnya. Silvi mengangkat dagu runcingnya dengan angkuh, kemudian berjalan pergi meninggalkan mereka.
Refleks Adica, Calvin, dan Asyifa mengikuti langkah Silvi. Peduli amat dengan mobil. Syukur-syukur dua mobil bagus itu tak diderek.
Silvi berjalan cepat menyusuri trotoar. Hatinya terpagut kesal. Jika ia tahu sang Papa menjemputnya dengan modus pendekatan Mama baru, ia takkan sudi. Adica sudah menjebaknya. Lain kali, Silvi tak mau dijemput Adica lagi.
“Silvi, tunggu!”
“Silvi, Papamu ingin bicara denganmu,”
“Sayangku, tunggu Ayah.”
Semula, Silvi tak begitu mempedulikan suara mezosopran dan barithon milik Adica dan Asyifa. Demi mendengar suara bass bernada lembut itu, langkahnya melambat. Apakah Ayahnya ada di sini?
Tidak, mungkin Silvi tengah berhalusinasi. Bukankah Calvin ada di rumah? Suara Calvin pasti hanyalah ciptaan alam bawah sadarnya.
Tak ingin terjebak halusinasi, Silvi berlari. Kian lama, larinya kian cepat. Kini ia tak lagi berada di trotoar. Kaki jenjang bersepatu Mellisanya menjejak jalan raya. Asyifa berlari paling cepat. Sosoknya menempel rapat di belakang punggung Silvi.
“Silvi, jangan lari-lari, Nak. Jalanan padat sekali!” Asyifa terengah, mencoba memperingatkan anak kekasihnya.
Silvi tak menggubris ucapan Syifa. Ia terus berlari. Pegal di tumitnya tak seberapa dibanding sakit hatinya.