-Fragmen Silvi
Speaker dari masjid besar di dekat rumahku melantunkan syair Tuhan. Para pengikut Nabi Muhammad menyudahi aktivitas, dan bergegas menyucikan raga. Begitu pula aku.
Kututup novel yang sejak tadi kubaca. Kakiku terayun ke kamar mandi. Kubasuh tangan, kaki, kepala, dan anggota tubuhku yang lainnya. Aku shalat di kamarku tanpa sajadah.
Hembusan pendingin udara tak melenakanku dalam kantuk. Petang ini, doa-doaku malah lebih panjang dari biasanya. Aku minta kekuatan dari Allah. Aku meminta padaNya agar aku sanggup menjalani hari esok. Hari eksekusi yang telah kusepakati sendiri.
Sehari lagi, aku akan bertemu Frater Gabriel. Itulah pertemuan kami yang terakhir. Hatiku lega karena telah mengutarakan cinta. Dia pun menyatakan rasa sayangnya padaku.
Apakah dengan begitu aku bahagia selamanya? Tidak. Seperti kata Frater Gabriel, kasih sayang antara pria dan wanita tak harus berakhir dengan saling memiliki. Dalam konteksku, jelas aku takkan mampu bersaing dengan Kristus untuk memiliki Frater Gabriel. Dari Catharina, tahulah aku kalau Frater Gabriel telah berkaul kekal setengah tahun yang lalu. Hatinya, tubuhnya, dan cintanya, semua milik Yesus.
Rasa sayang Frater Gabriel tak sebesar cintanya pada jalan panggilan imamat. Terlalu sayang bila jalannya harus terhenti hanya demi seorang gadis. Gadis yang bahkan belum mempunyai KTP sendiri. Pria sedewasa Frater Gabriel takkan segegabah itu mengubah pilihan hidupnya hanya karena seorang gadis kesepian?
Dalam sepi, aku berdoa dan terus berdoa. Kenapa Allah menanamkan cinta di hatiku dan akan segera mencabutnya? Bukan cinta yang dicabut, tetapi seseorang yang kucinta. Buat apa Ia memberiku cinta terlarang seperti ini?
Connecting door berdebam membuka dan menutup. Mataku belum terpejam. Ada yang masuk lewat connecting door. Pintu kamarku terkunci, jadi tak ada yang bisa masuk dari sana.
Aku tak tahu siapa yang datang. Kedua mataku tertutup dalam khusyuknya doa. Air mataku siap meluncur kapan saja.
“Uhuk...”
Indera pendengaran menjawab tanya. Aku senang bercampur resah. Sudah kuduga. Pasti Ayah yang datang.
Kudengar Ayah terbatuk lagi. Cepat kusudahi doaku. Abaya putih dan hijab Turki, pakaian shalatku di rumah, kulempar begitu saja.
“Maaf, Sayang. Ayah hanya ingin memastikan kamu tidak sendirian.”
Aku menelan saliva. Seharusnya, akulah yang berterima kasih. Bisa saja Ayah melanjutkan istirahatnya dan tidak mempedulikanku. Namun, Ayah tidak seegois itu.
Kami berpelukan singkat. Dalam dekapku, Ayah batuk dahak bercampur darah. Ia meninggalkanku untuk muntah. Aku bersandar lesu di sofa. Tak lelah aku memohon padaNya agar menyembuhkan Ayah.
“Siap menghadapi hari esok?” tanya Ayah saat ia kembali ke sisiku.
Aku mengangguk. Ayah membelai rambutku.
“Kalau memang tidak siap, jangan dipaksa. Ayah bisa bicara dengan Frater...”
“Nggak perlu. Aku mau selesaikan sendiri.” potongku cepat.
Ayah tak memaksa. Aku senang karena ia mempercayaiku.
“Sayangku, Ayah tahu besok akan menjadi hari yang berat untukmu. Langsung cari Ayah begitu kamu butuh tempat bersandar.”
Ah, inilah yang sangat kusukai dari Ayah. Ayah selalu menyediakan dirinya untukku. Waktunya, perhatiannya, kasihnya, semua diberikan buatku. Perasaan dihargai dan dicintai memenuhi palung hatiku.
“Ayah pernah jatuh cinta?” tanyaku bodoh.
“Tentu saja. Hanya sekali. Setelah itu, Ayah tak ingin jatuh cinta lagi.”
Aku menatapnya penasaran. Hatiku berdebar mengharap kelanjutan cerita Ayah. Siapakah perempuan luar biasa yang membidik hati Ayah dengan panah asmara? Aku menebak-nebak beberapa kemungkinan. Pastilah dia sangat cantik, pintar, dan kaya. Selera Ayah tinggi. Ataukah dia putri keluarga aristokrat? Mungkinkah perempuan itu berprofesi sebagai pejabat, dokter, model, bintang film, ataukah sesama penulis terkenal?
“Siapa perempuan luar biasa itu, Ayah?” pancingku ketika Ayah tak juga membuka suara.
“Beneran kamu mau tahu?”
“Iya. Aku penasaran.”
Ayah menghela napas. Mata sipitnya menembus iris biruku.
“Dia perempuan yang saaaangat cantik. Hatinya seputih kulitnya. Bagi Ayah, dia seperti putri. Putri yang sempurna.”
“Siapa namanya, Ayah?”
“Namanya...Silvi Gabriella Tendean.”
**
Hei, kamu yang di ujung sana
Mata sungguh mempesona
Ingin aku memiliki
Hatimu
Kamulah satu-satunya
Yang ingin kuberi rasa
Rasa cinta yang terjadi
Sejak pandangan pertama
De-bar berdebar-debar
J-J-Jantung hatiku ini
Saat mataku melihatmu
Dari mata turun ke hati
Ra-sa yang ingin memiliki
Tersirat dalam hasrat ini
I love you so you will love me too
Will you said I love you?
I love you, yes I do I do I do
I love you, yes I do I do I do
Hei, kamu yang di ujung sana
Mata sungguh mempesona
Ingin aku memiliki
Hatimu
Kamulah satu-satunya
Yang ingin ku dberi rasa
Rasa cinta yang terjadi