-Fragmen si kembar
“Assalamualaikum, Sayangku.”
Calvin melangkah memasuki kamar bernuansa soft pink itu. Silvi tak bereaksi. Membalas salamnya tidak, menoleh pun tak mau. Gadis itu tetap duduk membelakangi Calvin.
Pria tampan berjas hitam itu membungkuk, mencium kening Silvi. Tetap saja si gadis berambut panjang kusut tak menampakkan respon. Calvin mendesah, duduk di samping Silvi.
“Sudah hampir sebulan, Sayang. Mau sampai kapan? Kamu seperti mengalami Sindrom Hikikomori.”
Nada suara Calvin terdengar prihatin. Silvi duduk mematung. Mata birunya menatap kosong.
“Gabriel sudah lama pergi. Dia tak lagi peduli padamu.” lanjut Calvin murung.
“Siapa bilang dia tak peduli padaku?” sela Silvi ketus.
Tidak, bukannya Calvin ingin menyinggung perasaan putri kesayangannya. Ia hanya belajar realistis. Seorang Frater seperti Gabriel, mana mungkin berubah hanya karena gadis kesepian dan labil? Rasa sayangnya pada Silvi kalah dari cintanya pada Tuhan.
“Lupakan Gabriel, Nak. Putri kesayangan Ayah harus bangkit. Memang berat, tapi Ayah akan menopangmu berdiri lagi.”
Jari-jari kurus Silvi menyisiri rambutnya yang berantakan tak terawat. Dipandanginya cermin kecil yang menempel di atas meja rias. Patah hati telah menghancurkan penampilan luarnya. Sesosok gadis bertubuh amat kurus, berambut awut-awutan, berwajah kucel, dan bermata sayu balas menatapnya. Inikah putri cantik kesayangan Calvin Wan?
Hampir sebulan Silvi membolos sekolah. Kerjanya mengurung diri di kamar. Hiburan Silvi hanyalah televisi, buku-buku, dan Internet Tiap hari, Calvin dan Adica membelikannya banyak buku. Semata agar Silvi idak kesepian dalam masa mengisolasi diri. Silvi hanya mau ditemui Calvin dan Adica. Orang lain, bahkan Sonia sekalipun, enggan ditemuinya.
Andai Silvi mau sekali saja berpikir dari sudut pandang orang lain. Dia akan merasakan teririsnya hati Calvin. Hati ayah yang bersedih karena putrinya terluka batin. Silvi patah hati, Calvin pun patah hati.
Suatu kali, Adica pernah menawarinya liburan keliling Eropa. Dengan penuh semangat, ditunjukkannya brosur-brosur dari agen travel langganannya. Diperlihatkannya pada Silvi sejumlah paket liburan berkeliling benua biru yang sangat menarik. Sayangnya, Silvi menggeleng dengan wajah beku. Ia tak ingin liburan.
Adica merayu, mengancam, hingga memarahi Silvi. Meminta gadis itu move on dan menerima kenyataan. Semua yang dilakukan sang Papa sia-sia. Begitu juga yang dilakukan sang ayah.
“Tadi Ayah belikan makanan kesukaanmu. Tunggu.”
Calvin menghilang. Sesaat ia kembali membawa kantong kertas berisi sekotak besar lasagna.
Tutup kotak terbuka. Harum makanan sama sekali tak membuat Silvi berselera. Ia sedikit bereaksi saat Calvin menyuapinya.
Calvin menyuapi Silvi. Ya, ia lakukan itu. Persetan dengan usia. Asalkan Silvi sehat dan bahagia, ia mau melakukan apa pun tanpa memedulikan kelaziman dan batas usia yang pantas.
Silvi menerima suapan demi suapan Ayahnya. Batinnya bergejolak oleh percik-percik kehangatan. Seperti ada transfer kekuatan yang dialirkan Calvin tanpa kata. Tenang rasanya ketika makan dari tangan Calvin.
“Papa dan Frater Gabriel tidak pernah menyuapiku,” gumam Silvi lirih.
“Biar Ayah yang lakukan. Ayah ingin Silvi makan dari tangan Ayah.”
Makan dari tangan orang terkasih, betapa indahnya. Silvi terlempar dalam kenangan masa kecil. Masa-masa indah dimana Calvin dan Adica melimpahinya dengan kasih sayang setiap saat. Yang dipikirkannya hanya bermain dan bernyanyi kala itu. Belum ada masalah cinta lawan jenis, belum ada menstruasi, dan belum ada tanggung jawab besar yang harus diemban. Inginnya Silvi memutar mesin waktu dan jatuh kembali ke masa itu.
“Ingat nggak? Waktu kecil, kamu susah banget makan. Ayah bawa kamu ke taman tiap jam makan tiba. Ayah suapin kamu sedikit-sedikit, sementara kamu main di sana.” kenang Calvin.
Untuk pertama kali selama hampir sebulan, senyum Silvi mengembang. Seleret senyuman tipis melukisi permukaan bibir keringnya. Calvin ikut tersenyum.
“Ayah sabar banget nyuapin aku. Padahal aku bandel banget. Aku juga nggak suka makan sayur.”
“Coba aku bisa balik ke masa itu ya...” desah Silvi.
“Kenapa nggak? Bisa kok, kita isa memulai kebahagiaan baru.”
Silvi mendongak, menatap Calvin muram. Calvin membalas tatapannya penuh kelembutan.
“Kalau mau bahagia seperti dulu, hal pertama yang harus kamu lakukan adalah keluar dari kamar ini. Mengurung diri bukanlah cara meraih kebahagiaan. Ayo keluar, Sayang. Keluar kemana pun kamu suka. Ayah akan antar Silvi, walau ke ujung dunia sekalipun.”
“Ke Antartika?” canda Silvi.
“Ya, boleh. Kemana aja, kan.”
Silvi tersenyum simpul. “Bercanda, Ayah. Ngapain juga aku ke sana? Yang ada, aku jadi manusia es.”
Semangat Calvin bangkit. Ia temukan titik cerah di mata Silvi. Sudahkah Silvi keluar dari kepompongnya dan menjelma jadi kupu-kupu cantik?
“Ayo, Silvi mau kemana? Nanti Ayah temenin...” tawar Calvin.
“Aku mau ke makam Daddy dan Mommy. Trus jalan-jalan ke kota kelahiranku. Bertiga aja, sama Papa dan Ayah. Tanpa orang lain.” jawab Silvi mantap.
“Ok. Kamu siap-siap ya. Kita berangkat sebentar lagi.”
Mata Silvi membola. Ditaburkannya pandang ke arah jam merah bulat yang menempel di dinding kamar.
“Ayah, ini masih jam kantor. Papa gimana?”
“Kita jemput Papa di kantor.”
Tak buang tempo, Silvi bergegas mandi. Calvin membereskan sisa makanan dan membawanya untuk disimpan di dapur besar. Ia sendiri juga bersiap-siap. Mengemas beberapa potong pakaian Silvi dan pakaiannya sendiri ke travel bag. Membawa laptop, kamera, dan iPad.
Satu jam kemudian, Jaguar milik Calvin meluncur di sepanjang ruas tol dalam kota. Mata Silvi kembali berbinar. Rencana ziarah ke makam orang tua kandungnya dan vakansi ke kota kembang memenuhi dadanya dengan benih kegembiraan. Sejenak kesedihannya terlupakan. Calvin menyetir di sebelahnya. Sekali-dua kali matanya tertuju ke arah Silvi. Embun menetesi hatinya. Hati yang kering akan kebahagiaan selama hampir sebulan.
Palang bergerak naik. Lampu menyala hijau. Keluar dari tol, mereka melintasi flyover. Jembatan layang itu mempersingkat perjalanan. Estimasi waktu perjalanan yang semula diperkirakan selama satu jam, bisa ditempuh hanya empat puluh lima menit. Dalam hati, Silvi kagum pada Calvin. Ayahnya jarang keluar rumah, namun pemahaman arahnya luar biasa. Ia bisa mempersingkat waktu perjalanan tanpa repot membuka aplikasi.
“Sayang, kamu turun duluan ya. Nanti Ayah nyusul.” kata Calvin.
Silvi menurut. Ia melepas sabuk pengamannya, lalu turun dari mobil. Calvin menatap punggung berbalut gaun panjang hijau muda itu hingga ditelan pintu kaca. Langkah kakinya mengayun pelan, mengikuti Silvi masih dalam jarak pandang.