-Fragmen Silvi
Malam kelam merengkuh langit saat kami tiba di hotel. Aku terkagum-kagum memandangi bangunan hotel mewah yang dipilih Papa dan Ayah. Lantai lobi terbuat dari marmer. Lukisan-lukisan mahal tergantung di beberapa spot strategis. Kerlip lampu menebarkan cahaya lembut. Sofa empuk berderet di sepanjang dinding, berdekatan dengan meja resepsionis.
Saat memasuki hotel, aku nyaris bertabrakan dengan sepasang pria dan wanita muda. Pasangan itu masih memakai baju pengantin. Sempat kutangkap percakapan mereka.
“Mami, jangan nginep di sini deh. Ntar tabungan Papi nggak cukup.”
“Ah, Papi! Papi, kan, udah janji mau ajak Mami bulan madu di sini! Masa berubah pikiran?”
“Mami, sekali nginep di sini enam juta. Gila, kan? Mending uangnya buat nabung DP rumah atau cicil mobil.”
Aku tersenyum simpul, berusaha menahan tawa. Belum juga punya anak, pasangan baru ini sudah panggil Papi-Mami. Namun, aku kepikiran ucapan mereka. Harga kamar di hotel ini lumayan mahal juga. Kutolehkan kepala ke arah Papa dan Ayah. Kulempar tatapan sangsi ke arah mereka.
“Kenapa, Silvi? Ngggak suka hotelnya? Kita bisa pindah,” tawar Papa salah duga.
“Pa, Ayah, kayaknya harga hotel ini mahal ya. Sayang banget...gimana kalo kita pindah ke hotel yang lebih murah?”
Keduanya kompak menggeleng mendengar usulku. Aku mendesah pasrah. Pastilah mereka berkeras ingin menyenangkan hatiku.
Kami bertiga melangkah ke meja resepsionis. Kuperhatikan Papa sibuk berbicara dengan resepsionis itu. Sementara Papa berkutat dengan urusan reservasi, kuedarkan pandang ke sekeliling lobi.
Aku tersadar. Tepat di samping sebuah lukisan, berdiri anggun sebuah pohon Natal putih. Keping-keping salju buatan berjatuhan dari atas dahan pohon. Dekorasi yang indah sekali. Natal kurang tiga minggu, sudah ada dekorasi seindah ini.
Natal? Hmmm, kalau Natal tinggal sebentar, itu berarti beberapa hari lagi tanggal lahir Ayah. Hari ulang tahun Papa juga. Aku berpikir hendak memberi kejutan apa pada mereka.
“Sayang, ayo. Kita sudah dapat kunci kamarnya.”
Ayah menggamit lenganku. Keningku berkerut melihat tiga kartu plastik di tangan Papa.
“Pa, kok tiga kamar? Kenapa nggak dua aja? Memangnya nggak ada kamar yang pakai double bed?” cerocosku.
Papa kewalahan menanggapi pertanyaanku. “Memangnya kenapa? Silvi mau tidur bareng salah satu di antara Papa dan Ayah?”
“Aku mau tidur sama Ayah. Biar aku bisa jagain Ayah.” Aku mengungkapkan alasan.
Sesaat kedua orang tuaku bertukar pandang. Mereka ragu memesan dua kamar tiap kali liburan bersamaku. Terlebih, sejak aku menstruasi pertama. Mereka biasanya memberiku kamar sendiri.
“Hmmm, gimana ya?” gumam Papa ragu.
“Ayolah, Pa. Masa sih, Papa nggak percaya sama aku? Ayah, kan, bukan paedophilia, dan aku juga nggak akan segila itu ngapa-ngapain sama Ayahku tersayang.” kataku meyakinkan.
Voilet, bujukanku berhasil. Papa kembalikan salah satu kartu plastik pembuka pintu kamar. Aku dibolehkan tidur sekamar dengan Ayah.
Setelah meletakkan barang-barang di kamar, kami kembali turun ke lantai dasar. Papa mengajakku dan Ayah makan malam di restoran hotel. Menunya lumayan enak. Tapi, kuperhatikan Ayah hanya makan sedikit. Parasnya lebih pucat dibanding tadi pagi. Beberapa kali kupergoki Ayah minum air putih banyak-banyak setelah menelan makanannya.
“Calvin, are you ok?” tanya Papa seraya memiringkan tubuhnya ke arah Ayah.
“I’m good.”
Tapi, perbuatannya tetap sama. Ayah menghabiskan banyak tegukan air putih tiap kali menelan makanan.
Menu utama tandas. Kami tetap di sana, ngobrol ringan ditemani teh Earl Grey dan puding. Tepatnya, aku dan Papa yang makan puding. Sementara Ayah hanya minum teh.
Kugenggam tangan Ayah erat. Menyetir 75 kilometer menurunkan daya tahan tubuhnya. Sepercik penyesalan membasahi hatiku. Seharusnya aku tak mengajak Papa dan Ayah ke luar kota. Seharusnya...
“Pak Calvin, Pak Adica, selamat malam.”
Sebuah suara tenor mengacaukan lamunanku. Seorang pria gemuk botak dengan kemeja kotak-kotak menghampiri kami. Sontak Papa dan Ayah bangkit menyambutnya. Aku berdiri meniru mereka.
“Senang sekali bertemu kalian di sini. Oh ya, sudah cek toko peralatan elektronik yang kalian buka di sini setengah tahun lalu?”
Oh, aku paham. Rupanya bapak gendut botak ini rekan bisnis Papa dan Ayah. Papalah yang banyak meladeni obrolannya. Ayah hanya sesekali menanggapi. Justru Ayah lebih banyak memegangi dadanya.
“Silvi, Ayah ke kamar dulu ya. Ayah mau istirahat...maaf.” Ayah berbisik lembut.
“Aku temenin Ayah.”
Kami berdua pamit. Kugandeng tangan Ayah menuju lift. Genggaman tanganku di Ayah tak terlepas sampai kami tiba di kamar.
Ayah memelukku. Tangannya membelai hangat punggungku. Kudengar Ayah terbatuk, lalu cepat-cepat ia melepas pelukannya. Ah, sepertinya Ayahku memang kurang sehat.
“Selamat tidur, Sayang.” ujar Ayah, mencium keningku lembut.
“Selamat tidur, Ayah.”
**
Pagi datang terlalu cepat. Rasanya baru sedetik kurebahkan tubuh penatku. Seleret cahaya pagi jatuh tepat di kepala tempat tidurku.
Aku bangkit duduk. Kukerjapkan mataku beberapa kali. Di tempat tidur sebelah, Ayah masih terlelap. Sengaja aku tak membangunkannya. Waktu istirahat Ayah lebih panjang dariku.
Hal pertama yang kulakukan setelah bangun tidur adalah berendam di bathtub. Biarkan segala penat menguap pergi bersama busa sabun. Kupenuhi kamar mandi hotel dengan wangi sabun dan shampo. Ritual bebersih diri tuntas. Aku berjalan meninggalkan hotel.
Kunikmati pagi dengan berjalan kaki. Sudah lama aku tak melakukannya. Bangunan hotel ini berdekatan dengan sebuah kampus swasta, cafe-cafe, perumahan, dan tempat wisata. Pegunungan menjadi latar belakang yang memesona.
Dari penelusuran singkat yang kulakukan, tahulah aku kalau salah satu cafe di sekitar hotel menjual varian roti bakar kekinian super lezat. Aku berhenti sejenak di cafe itu dan membeli sekotak roti bakar dengan berbagai varian topping. Lumayan, dari pada sarapan di hotel dengan menu itu-itu saja.
Sepotong tangan tak kasat mata menggerakkan kakiku ke arah kompleks perumahan. Rumah di sana besar-besar dan bergaya kolonial. Jalanannya naik-turun penuh tanjakan. Udara sejuk membuat kompleks ini nampak seperti surga di tengah kota.
Segerombolan anak kecil berseragam putih-merah melintas. Mereka berkejaran, tertawa riang, dan saling menarik tas. Anak-anak kompleks yang masih menyukai kebersamaan. Kurindukan pemandangan seperti ini.
Kulewati lapangan bola, taman bermain, dan toko kelontong. Di ujung blok mataku tertumbuk ke arah rumah berpagar hitam. Halamannya gersang. Pagarnya tinggi dan kokoh. Samar kulihat mobil sedan biru tua terparkir di carport. Semula, kupikir itu rumah biasa.
Tetiba, seorang pria berambut keperakan dengan kasula Imam keluar dari rumah itu. Hatiku mencelos. Mungkinkah itu biara?
Aku dijebak dilema. Ingin mendekat, tetapi takut. Ingin menjauh dan pura-pura tidak melihat, hatiku terlanjur penasaran. Keingintahuanku menang. Aku berjalan ke dekat rumah berpagar hitam. Kusembunyikan tubuh di balik rerimbunan pohon di sebelah kanan rumah. Nampak pria berkasula Imam itu mendatangi wanita paruh baya yang membawa keranjang rotan berisi penuh bahan makanan.
“Tolong siapkan makanan untuk Frater Gabriel, ya. Setelah Ibadat pagi dan meditasi, dia harus sarapan.”