-Fragmen si kembar
“Apa? Frater sok suci itu mengusir anak kita dari rumah retret?” ulang Adica geram.
Pelankan suaramu. Ya, dia melakukannya. Dia membuat anak kita menangis lagi.”
Calvin dan Adica berbincang dalam suara sepelan mungkin. Mereka takut salah seorang tamu hotel mencuri dengar. Pagi itu, mereka bersiap membawa Silvi jalan-jalan. Gadis kesayangan mereka masih bersiap-siap. Papa dan Ayahnya turun duluan ke lobi.
“Biar kuberi dia pelajaran! Dia harus menghadapiku setelah membuat Silvi menangis!” ancam Adica.
“Sabar, Adica. Ingat dia siapa, dan bagaimana kongregasi menjaganya. Kabarnya, dia satu-satunya Frater TOP yang masi bertahan. Kalau sampai kamu menyerangnya, kamu bisa mendapat kesulitan.” Calvin berbisik menyabarkan.
Adica mendengus tak peduli. Kesulitan yang akan dihadapinya tak sebanding dengan tangisan Silvi.
“Pokoknya aku harus memberi dia pelajaran secara laki-laki! Dia akan terima akibatnya!”
“Papa...Ayah...”
Suara soprano bernada lembut itu memutus perbincangan mereka. Silvi melangkah anggun memasuki lobi. Maxi dress berwarna merah cerah menyapu lantai. Rambut panjangnya tergerai rapi di punggung.
“Sayang, ayo kita pergi. Kita mau kemana dulu?” sambut Calvin seraya merangkul Silvi.
“Ke taman bunga, terus ke kebun strawberry, air terjun, dan restoran itu. Gimana?”
Calvin dan Adica setuju dengan usul Silvi. Mereka pun meninggalkan hotel.
Selama acara jalan-jalan mereka, Adica gelisah. Tangannya gatal ingin memberi Frater Gabriel pelajaran. Pikirannya bercabang. Antara menyenangkan Silvi dan membalas perbuatan Frater Gabriel.
Sementara itu, Calvin dan Silvi menikmati perjalanan mereka. Silvi seolah sudah lupa dengan kejadian kemarin. Lihatlah senyum lebarnya saat memotret keindahan aneka bunga, memetik strawberry, melepas lelah di gazebo yang lantainya terbuat dari kayu, dan bermain air. Calvin tak puas-puasnya memotret Silvi dengan kameranya. Mengambil gambar gadis itu dari berbagai angle.
Puas memetik strawberry dan bermain di air terjun, mereka meluncur ke resto. Sebuah restoran keluarga yang menyajikan konsep pemandangan ala pegunungan. Di hari kerja begini, restoran ini tetap saja dipadati pengunjung. Mereka mengantre di pelataran luas sebelum diizinkan masuk area resto.
Dari pelataran, mereka dibawa pemandu melewati selasar panjang yang menurun tajam. Selasar beratap itu habis. Jembatan yang terbuat dari potongan-potongan kayu besar mereka lewati. Pemandangan di kanan-kiri jembatan kayu memanjakan pandangan mata. Lembah hijau terbentang, sungai kecil berair bening, dan rerumputan yang terpotong rapi. Di belakang resto, terdapat peternakan kuda, pabrik susu, dan beberapa wahana permainan.
“Ayah, tempatnya bagus ya.” puji Silvi kagum.
Calvin hanya tersenyum. Adica berkata dengan bangga kalau dialah yang merekomendasikan tempat ini.
Setelah menyusuri jembatan kayu, mereka sampai di lorong luas berlantai kayu dengan pintu-pintu private room di kanan-kirinya. Semua ruangan di resto ini menggunakan kayu sebagai lantai. Rupanya Adica telah mem-booking private room untuk mereka bertiga.
Makanan-minuman di resto ini cukup lengkap. Meski begitu, rasa makanannya biasa saja. Resto ini lebih menjual pemandangan indah dan konsep back to nature. Silvi bahkan tak sabar menghabiskan menunya, lalu mengajak Papa dan Ayahnya ke belakang resto.
Suara tawa dan jeritan riang menyambut mereka. Anak-anak bermain paralayang dan perosotan. Serombongan keluarga besar beranggotakan sepuluh orang berebutan naik kuda. Sepasang orang tua dengan anak lelaki semata wayang sibuk berfoto di titik-titik strategis sambil menikmati segelas besar susu murni.
“Ayah, Papa, keluarga itu kompak banget ya. Mereka sama-sama pakai baju putih.” tunjuk Silvi ke arah rombongan keluarga besar itu.
“Iya. Dan sepertinya...mereka mirip kita.” timpal Calvin.
Benar juga. Nampaknya, keluarga itu keluarga Tionghoa. Terlihat dari mata segaris, wajah bulat, rambut lurus, dan kulit putih yang mereka miliki.
Adica tak begitu tertarik dengan keluarga Tionghoa itu. Pikirannya sibuk menyusun rencana pembalasan pada Frater Gabriel. Ketika Calvin dan Silvi lengah, Adica bergegas kabur. Dia berlari di sepanjang jembatan kayu secepat dia bisa, menerobos antrean di pintu keluar, lalu menyetop taksi.
“Maaf, Calvin. Maaf, Silvi. Aku terpaksa melakukannya.” Adica berbisik pada diri sendiri. Sedikit rasa bersalah membasahi hatinya. Supir taksi melirik aneh ke arah pria berpakaian rapi yang menumpang taksi dengannya.
Tiba di rumah retret, Adica segera mencari Pater pembimbing. Orang yang dicarinya tak ada. Alih-alih Pater pembimbing, ia malah berpapasan dengan juru masak. Juru masak setengah baya itu terpesona menatap tamu tampan yang baru tiba.
“Permisi,” kata Adica sopan.
“Iya...cari siapa ya?” balas juru masak rumah retret itu gugup.
“Saya ingin bertemu Frater yang sedang Retret Agung di sini. Bisa?”
Senyum maut Adica sukses membius hati juru masak setengah baya. Pater pembimbing sedang tak ada di tempat. Frater yang dicari hanya satu. Toh Retret Agung telah selesai.
“Frater Gabriel ada di sini. Retretnya sudah selesai, tapi dia tertahan beberapa hari karena ada urusan.”
Menahan ketidaksabarannya, Adica tetap memasang senyum terbaik. “Kalau begitu, panggilkan dia.”
“Hmmmm...gimana ya? Saya takut dimarahin Pater pembimbing. Lagian, Mas ganteng ini siapa ya?”
“Saya umat gereja tempat Frater Gabriel bertugas. Saya ingin berterima kasih padanya karena Frater Gabriel pernah membantu saya. Tolonglah saya, saya benar-benar ingin bertemu Frater Gabriel.”
Seulas senyuman belum cukup. Beberapa jurus kemudian, Adica mengangsurkan beberapa lembar uang bergambar Proklamator ke tangan si juru masak.
“Tolong panggilkan dia ya.”
Si juru masak berbalik dan melangkah pergi, seperti orang kena Kutukan Imperius. Adica bersorak dalam hati. Rencana tahap pertama berhasil.
Tak lama, Frater Gabriel keluar mengenakan baju biasa tanpa jubah. Ia kaget begitu bertemu pandang dengan tamu tak diundang.
“Pak Adica?” gumam Frater Gabriel kaget.
“Ikut gue! Lo udah nyakitin gue, sekarang waktunya lo selesaiin semuanya sama gue secara laki-laki!” geram Adica. Kemarahannya tak tertahan lagi.
Kebingungan, Frater Gabriel mengikuti langkah Adica. Kedua pria terpaut usia 7 tahun itu berjalan ke lapangan bola. Lapangan itu kosong.
“Saya nggak pernah menyakiti Pak Adica. Saya...”