Papa dan Ayah

princess bermata biru
Chapter #18

Opus 17: Ulang Tahun Terburuk

-Fragmen Silvi

Tanggal 8 Desember, kami meninggalkan kota kelahiranku. Kepalaku penuh oleh rencana-rencana kejutan untuk Papa dan Ayah. Apa yang pantas kuberikan untuk mereka?

Ulang tahun adalah hari spesial. Sama spesialnya seperti Hari Ayah. Otakku sibuk memasok segepok rencana dan ide.

Prank? Tahun lalu sudah pernah kulakukan. Gara-gara itu, Papa memarahiku dan Ayah hampir terluka. Sepertinya, tahun ini aku tak mungkin melakukan prank. Jahat sekali bila aku mem-prank Papa dan Ayah, sementara Ayah sedang sakit.

Pesta kejutan? Bisa saja, tapi waktunya terlalu mepet. Estimasi waktu perjalanan tak tertebak. Bisa saja kami sampai rumah lewat tengah malam. Tubuhku sudah terlalu lelah untuk menyiapkan pesta sendirian. Mungkin Catharina dan Sonia mau membantu. Tapi, tak mudah mengkoordinasikan mereka dalam waktu singkat.

Makan malam di private room restoran? Ah, itu biasa. Kalau bisa, aku ingin menghindarinya. Meski itu opsi kejutan yang paling gampang. Sekarang juga aku bisa reservasi ke restoran termewah, lalu jadilah. Tapi, rasanya terlalu gampang. Papa dan Ayah layak mendapat kejutan yang lebih indah.

Membuat kado sendiri? Aduh, memangnya aku bisa bikin apa? Iya sih, aku bisa masak berkat hukuman food truck tempo hari. Namun, masakanku tak seenak masakan Ayah. Malu rasanya bila kuhidangkan masakanku yang biasa-biasa saja untuk Papa dan Ayah. Kalau mau membuat syal rajutan atau pernak-pernik lainnya, terlalu lama.

Membeli kado? Hello, itu terlalu mainstream. Oma-Opa yang sudah beranjak uzur juga bisa melakukannya. Mudah bagiku membelikan kado mahal untuk Papa dan Ayah. Balik lagi soal esensialnya. Terlalu biasa.

Tengah asyik melamun memikirkan kejutan ulang tahun, lamunanku terburai oleh genggaman lembut tangan Ayah. Kutolehkan kepala. Ayah duduk di sampingku. Papa mengemudikan mobil. Ia rela Ayah menemaniku dan dirinya sendirian. Papa berkeras melarang Ayah menyetir.

“Anak Ayah yang paling cantik mikirin apa?” Ayah bertanya lembut.

Kutelan saliva. Tak mungkin aku menjawab yang sebenarnya.

“Aku mikirin Ayah. Pulangnya, Ayah cek kesehatan ya.”

“Oh, don’t worry about me.”

Rengkuhan Ayah di bahuku begitu hangat. Papa menatap iri ke kaca spion. Aku menjulurkan lidah ke arahnya. Wajah Papa sedikit memberengut.

“Uhuk uhuk...”

Ayah menyeka bibirnya. Kulihat ada darah. Kecemasan bergemuruh di dadaku.

Sedetik kemudian, Ayah mimisan. Kekhawatiranku terus membesar. Ya, Allah, kenapa Ayah harus ngedrop menjelang hari ulang tahunnya?

“Calvin, bertahan ya. Kita ke rumah sakit terdekat!” seru Papa tertahan.

Ayah memegang punggung kursi kemudi. Ditenangkannya Papa. Ditolaknya inisiatif Papa untuk ke rumah sakit.

“Aku hanya mimisan, Adica.”

“Hanya?” Papa tertawa getir.

“Jangan sepelekan penyakit.”

“Siapa yang menyepelekan? Aku memang baik-baik saja, Adica.”

Papa dan Ayahku berdebat. God, aku tak tahan mendengarnya. Jelang ultah, harusnya mereka happy. Sekarang malah begini jaaadinya.

“Gini aja, aku akan bilang kamu kalau aku udah nggak kuat lagi. Lanjut aja dulu, ok?” kata Ayah menutup perdebatan.

Papa mengangguk kaku. Bibirnya terkatup rapat. Aku yakin, seribu kata untuk membalas argumen masih berdesakan di kepalanya.

Hari Sabtu begini, jalan tol luar kota tak terlalu ramai. Setidaknya, di arah yang kami tuju. Arah sebaliknya justru padat merayap. Kami pulang melawan arus kebanyakan penduduk urban yang ingin berwisata ke kota gunung di akhir pekan. Perjalanan cukup lancar. Sepanjang jalan, kami berusaha mengalihkan kecemasan dengan mengomentari hal-hal lucu yang kami temui. Misalnya, sebuah Daihatsu Sirion hitam yang menempel di depan kami dipasangi stiker Lexus.

“Bodoh banget tuh pemiliknya. Sirion ya Sirion. Nggak bisa jadi Lexus,” komentar Papa.

“Mungkin dia pengen beli Lexus tapi nggak kesampaian.” timpalku.

“Lain kali, kutempeli mobilku dengan stiker Agya.”

Ide gila Ayah disambuti pelototan Papa.

“Kamu nggak kalah tolol, Calvin. Mutiara ya tetap mutiara. Mau gimana pun kamu sembunyikan. Mobil bagus begini, mau kamu tempeli stiker mobil biasa-biasa aja.”

Sambil memperhatikan hal-hal kocak di sepanjang ruas tol, pikiranku kembali melayang pada berbagai pilihan kejutan untuk Papa dan Ayah. Aku bertekad memberikan kado terindah untuk mereka.

**   

Kelelahan terbersit di mata Papa. Perjalanan kami terhenti sejenak di km72. Papa membelokkan mobil ke rest area bertema love. Patung besar berbentuk love berpose cantik menyambut para pengguna tol.

Belakangan ini, rest area di jalan tol bukan sekedar tempat persinggahan. Makin banyak zona istirahat yang Instagramable. Salah satu rest area favoritku adalah rest area tematik bertema love di km72.

“Sayang ya, rest area seindah ini sepi pengunjung.” Aku bergumam tanpa sadar.

Papa dan Ayah sepakat. Ini rest area terkece versi kami. Tanganku tak mau diam, sibuk memotret sudut-sudut cantik rest area bertema love.

Saat Papa dan Ayah beristirahat di food court, aku melemaskan kaki dengan berkeliling rest area. Kamera dan iPhoneku mengabadikan gambar demi gambar. Aktivitasku menarik perhatian pengguna rest area lainnya. Berpasang-pasang mata lelaki, mulai dari mata genit supir serta kernetnya, mata di balik kacamata minus persegi milik akademisi, pengusaha, dan para profesional lainnya, lekat mengamatiku. Aku stay cool, terus berburu foto.

Rupanya, gadis bermata biru dan berambut panjang sepertiku menjadi magnet di rest area love. Aku bergerak lincah kesana-kemari sambil memotret. Tatapan belasan pria asing tak kupedulikan.

Yes, telah banyak foto dengan angle bagus kudapatkan. Baru saja aku hendak berbalik ke food court, mataku tertarik ke gerbang rest area. Sebuah sedan biru tua meluncur mulus. Hatiku mencelos. Bukankah itu mobil yang terparkir di rumah retret? Ingatanku belum berkarat. Walau aku tak memperhatikan nomor polisinya, aku ingat betul itu mobil yang persis sama.

Kutajamkan fokus penglihatan. Kaca mobil gelap. Sedetik berselang, jendela mobil membuka. Dadaku berdebar. Frater Gabriel duduk di balik setir. Seorang Frater menyetir? Apa aku tak salah lihat?

Aku tak ingin bertemu dengannya lagi. Kumantapkan hatiku untuk menolak pertemuan. Setelah semua yang terjadi, setelah Frater Gabriel, tak kubiarkan ia hadir lagi. Pintu hatiku harus segera kukunci rapat.

Kenyataan tak seindah tekad. Frater Gabriel melihatku. Aku lari sekencang-kencangnya ke dalam food court.

“Silvi!”

Teriakan Frater Gabriel mengiringi lariku. Aku bertekad bulat kabur darinya. Aku berlari, terus berlari. Sepatuku mendecit-decit di lantai keramik.

“Silvi, tunggu!”

Hampir saja aku menabrak seorang ibu muda yang membawa bayinya. Namun, aku tak peduli saat dia mengomeliku. Hanya satu tujuanku: meja yang ditempati Papa dan Ayah.

Voilet, meja itu nampak di depan mata. Terlihat Papa tengah meneguk kopinya. Ayah mendorong mangkuk kosongnya menjauh. Aku tiba di meja mereka dengan nafas tersengal.

“Silvi...kenapa, Sayang? Sini, duduk dulu. Minum ini.”

Ayah menarik kursi untukku. Disodorkannya segelas milkshake ke tanganku. Tadi aku tidak memesan apa pun sebelum pergi, Ayah lebih dulu memesankan minuman untukku.

“Kenapa kamu lari-lari? Abis dikejar hantu penunggu tol?” selidik Papa.

Aku menggeleng kesal. Di saat begini, Papa masih bisa bercanda.

“Ada orang ngejar-ngejar aku,” gumamku seraya mengatur nafas.

“Siapa?”

“Frater Gabriel.”

Plush!

Kopi krim yang setengah jalan diteguk Ayah tersembur keluar. Tepat mengenai seorang perempuan bergamis dan berhijab putih. Perempuan itu marah-marah.

“Mas, hati-hati dong kalo minum! Baju saya jadi kotor nih! Dasar, ganteng-ganteng ceroboh!”

Aduh kasarnya. Papa sudah beberapa kali minta maaf, tetapi perempuan berjilbab itu tetap menggertak pedas. Mau rasanya kututup telingaku. Ternyata, gaya berpakaian bisa menipu. Kepala berjilbab, hati belum tentu. Kenapa dulu aku menilai Tante Asyifa hanya karena dia tidak berhijab ya?

“Kita pergi sekarang. Ayo.” Papa berdiri tergesa-gesa.

“Nanti dulu, Adica. Silvi belum makan. Memangnya kamu tega tetap jalan sementara anak kita kelaparan?” cegat Ayah.

Papa mengalah. Disuruhnya aku memesan makanan dan cepat menghabiskannya. Aku tak mau, namun Ayah terus mendesakku untuk makan. Ayah perhatian sekali soal makanku.

Kupesan makanan. Saat makananku datang, aku menyantapnya secepat aku bisa. Tinggal beberapa suap lagi kutandaskan makananku saat terdengar petikan gitar akustik. Aku serasa familiar dengan petikan gitar itu. Papa menggeram marah. Wajah Ayah beku dan dingin.

Sebuah suara merdu menyanyikan lagu. Kerling matanya megarah kepadaku. Kakiku bagai digantungi barbel. Ya, Allah, tekadku luruh. Ingin kuhampiri orang itu.

“Tetap di tempatmu!” bentak Papa kasar.

“Silvi, habiskan makananmu ya. Setelah itu kita pulang...ya, Sayang?” bujuk Ayah lembut sekali.

Hatiku tercabik. Di satu sisi, aku ingin menemui Frater Gabriel. Di sisi lain, aku tak ingin terluka lagi.

Lagu terus berlanjut. Seisi food court terpaku memandang pintu. Mereka terpesona memandangi lelaki muda tampan yang bermain gitar sambil bernyanyi.

Menyesal aku menyesal

Diriku ini bukan milikmu lagi

Tetapi, akan tetapi

Jiwaku ini bukan milikku lagi

Lihat selengkapnya