-Fragmen si kembar
Pekat malam mendengungkan kesunyian malam yang meranggas. Si kembar terpaku dalam sedih. Sedih bergumpal di dada mereka. Kata-kata dokter spesialis mata menyumpal pikiran.
Kecelakaan berakibat fatal. Nyawa Silvi tidak ikut tercabut bersama Frater Gabriel. Kedua matanyalah yang diredupkan. Cahaya, cahaya hilang dari mata birunya.
Vonis kebutaan Silvi adalah kado ulang tahun terburuk kedua. Bukan, bukannya si kembar tak sanggup lagi mengurus Silvi. Bukannya mereka tak terima punya anak spesial. Namun, mereka mencemaskan kondisi psikologis gadis itu.
Ribuan kali rasa bersalah menampar hati. Calvin dan Adica menyesal, sungguh menyesal. Kenapa mereka biarkan Silvi pulang bersama Frater Gabriel? Kenapa mereka tidak menahan gadis itu lebih lama di rest area bertema love? Jika mereka tak segegabah itu, Silvi takkan kehilangan penglihatan.
Gumpalan kesedihan menyesaki dada mereka. Kapan pun, kesedihan yang tertahan dapat terlontar keluar. Sungguh, mereka tak tahan dengan kabar buruk ini.
Dan...pecahlah pertahanan Adica. Adik kembar yang terlahir 20 menit setelah Calvin itu meraung frustrasi. Ia mengacak-acak rambutnya. Jas mahalnya ia buka, ia lempar ke kursi tunggu. Raungan frustrasi seorang Papa yang bercampur air mata.
Sesal merobek hati Adica. Menghasilkan genangan darah di dasar perasaan. Sesal karena telah lama mengabaikan Silvi. Dimana dirinya selama Silvi bisa melihat? Dimana dirinya saat Silvi mencari dan memanggilnya? Dimana dirinya saat Silvi ingin diantarkan di hari pertama LKO?
Adica merasa menjadi ayah paling jahat sedunia. Ia seolah mendewakan bisnis dan pekerjaan. Mengurus perusahaan adalah segalanya. Janji dan kewajiban utama terlupa.
“Silvi...Silvi anak Papa, anak kesayangan Papa. Maafin Papa, maaf...!” teriak Adica sedih.
Calvin susah payah menenangkannya. Ia lebih mampu mengontrol pikiran saat ini.
“Adica, tenangkan dirimu. Kamu bisa mengganggu pasien rumah sakit yang lain...” Calvin berbisik menenteramkan.
“Aku tak peduli! Yang kupedulikan hanya Silvi! Aku ingin Silvi bisa melihat lagi! Silvi...Silvi anak Papa!”
Lalu-lalang pengunjung rumah sakit diabaikannya. Adica tak menghiraukan tatapan iba dari mereka. Yang dipikirkannya hanyalah Silvi, Silvi, dan Silvi.
“Aku ingin bertemu anakku! Aku ingin bertemu anakku!” ratap Adica seraya menjambak rambutnya.
Beberapa bulan lalu, takkan pernah ia berucap begini. Ketimbang bertemu Silvi, Adica lebih suka menghabiskan waktunya dengan berkencan bersama Tante Asyifa atau meeting dengan klien. Cepat sekali situasi berputar balik.
“Tidak. Kamu tidak boleh menemui Silvi dalam keadaan kacau. Kalau kamu ingin bertemu Silvi, kuasai dirimu.” larang Calvin tegas.
Mata Adica merah dan sembap. Tangannya gemetar menyapu air mata. Jarang, jarang sekali Calvin melihat Adica bersedih. Terakhir kali Adica sedih saat Calvin divonis mengidap NSCLC.
“Silvi anak Papa...Silvi anak kesayangan Papa! Kamu pasti bisa melihat lagi! Papa akan cari jalan untukmu!” Adica meracau.
Perih hati Calvin mendengar racauan saudara kembarnya. Tak tahukah Adica bila hati Calvin sama hancurnya? Ia serasa ingin mengalami kebutaan juga, agar bisa merasakan apa yang Silvi rasakan.
Si kembar sama-sama hancur dan terluka. Tak tega melihat putri kesayangan mereka menderita. Merasa diri tak berguna karena lalai menjaga Silvi dari musibah kecelakaan. Kini, penglihatan Silvi terenggut. Saatnya mereka berdiri lebih kuat untuk menopang Silvi.
“Aku Papa paling bodoh!” seru Adica, marah pada dirinya sendiri. Ia memukul-mukul dadanya, segala kewibawaan dan martabat dilupakan.
Tangan Calvin mencekal pergelangan tangan Adica. Meminta adik kembarnya berhenti berbuat sesuatu yang abusif.
“Stop, Adica. Bagaimana kita bisa menguatkan orang lain jika diri kita sendiri rapuh?”
Perkataan Calvin menohok jantung Adica. Kemarahan membakar, kobaran api menjilati jiwa. Calvin tak mengerti, tak mengerti betapa dalam penyesalan Adica sejak Silvi divonis mengalami kebutaan. Adica menyesal telah menyia-nyiakan waktu yang berharga. Kemana saja dirinya selama ini?
“Waktu kita di dunia terlalu singkat hanya untuk menuruti penyesalan. Bangkitlah, Adica. Silvi butuh kita.” kata Calvin memotivasi.
Mata sipit direktur itu menatap Calvin nanar. Pandangannya sayu, getir, dan marah.
“Gampang buatmu bilang begitu! Selama ini kamu lebih dekat dengan Silvi! Aku menyesal karena aku tak ada selama dia mencariku!”
“Belum terlambat untuk memperbaiki keadaan, Adica. Sekaranglah saatnya.”
Perdebatan mereka terputus. Tim medis keluar dari ruang rawat. Kata mereka, Silvi mencari Calvin.
“Apa dia mencari saya? Apa dia menanyakan Papanya juga?” tanya Adica penuh harap.
Hatinya melenguh kecewa. Salah seorang suster menggeleng. Tubuh Adica merosot ke tembok. Sebelah tangan menutupi wajahnya.
Calvin berjalan memasuki ruangan. Adica buru-buru bangkit, menahan pintu agar tetap terbuka. Diam-diam dia ikut masuk.
“Ayah...Ayah.” Silvi mengerang, berkali-kali memanggil Ayahnya.
“Ayah di sini,” ujar Calvin lembut.
Kelopak mata Adica berawan. Teriris hatinya memperhatikan kedekatan Calvin dan Silvi. Dulu, Silvi menginginkannya, mencarinya, mengaguminya. Sekarang Silvi tak mau lepas dari Calvin.
“Ayah, mata Silvi sakit...sakit, Ayah.” rintih Silvi sambil terisak.
Dengan penuh kelembutan, Calvin memeluk putri semata wayangnya. Calvin mencium kedua mata Silvi.
“Ayah cium matanya...biar sakitnya pindah ke Ayah.” ucapnya lembut penuh sayang.
“Ayah, apa aku akan buta selamanya?” tanya Silvi serak.
Calvin menggeleng, kemudian sadar kalau Silvi tidak bisa melihatnya. Pelukannya kian erat.
“Nggak, Sayang. Silvi masih punya mata. Ayah akan jadi mata buat Silvi.” janji Calvin penuh kesungguhan.
Ujung hidung memerah. Menangis membuat mata Silvi bertambah perih. Ia sesenggukan di pelukan Calvin.
Saat itu juga, Calvin menahan kelenjar air matanya agar tidak berproduksi. Ia harus kuat demi Silvi. Sesedih apa pun, air mata tak boleh jatuh.
“Ayah, jangan tinggalin aku.” Silvi memohon, pilu.
“Ayah nggak akan tinggalin kamu. Bertahan ya, Sayangku. Kita lewati ini bersama.”
Di sudut ruangan, Adica menyeka mata. Kenapa sejak tadi Silvi hanya menyebut-nyebut Calvin? Kenapa tak satu kali pun gadis itu menyebut Papanya?
“Aku sayang Ayah...”
“Ayah sayang Silvi.”
Adica menutup mata sesaat. Berharap tak usah mendengar kalimat terakhir itu. Hujan yang terjun bebas dari pelupuk matanya tak kalah sengit dari hujan yang mengamuk di luar sana.
“Ayah, Papa mana?”
Mendengar itu, Adica melompat bangun. Ia menghambur ke kaki ranjang.
“Ini Papa, Silvi. Ini Papa,” gumamnya.
“Papa, Ayah, selamat ulang tahun. Maaf, aku belum bisa kasih kado. Aku malah bikin Papa dan Ayah susah.” Silvi berujar pelan.
Tersentuh hati mereka mendengarnya. Dalam keadaan begini pun, Silvi masih ingat hari ulang tahun Papa dan Ayahnya.