-Fragmen Silvi
Ayah membukakan pintu mobil. Lembut tangannya menuntunku. Kami berjalan menyusuri pelataran sekolah. Ini sekolah keenam yang kami datangi.
Sekolah keenam? Ya, semuanya berubah sejak pandanganku diselubungi kegelapan. Sekolah pertamaku, sekolah yang pernah kubanggakan karena memberi hukuman proyek sosial, terang-terangan mengeluarkanku. Mereka mengaku kerepotan bila memiliki murid buta sepertiku. Alhasil, aku bukan murid sekolah itu lagi.
Aku belum pikun. Masih kuingat suara Papa yang meninggi marah saat mendengar keputusan Suster Kepala. Masih segar dalam ingatanku serangkaian kata yang dikeluarkan Ayah untuk membelaku. Bahkan, Ayah menjanjikan banyak donasi untuk sekolah lamaku. Namun, mereka tidak berubah pikiran.
Hatiku hancur saat itu. Aku merasa terasing dan tak diinginkan di sekolahku sendiri. Catharina, si kembar Rossa-Yasmin, dan pengurus OSIS, tak ada satu pun yang membelaku. Mereka seolah berkonspirasi untuk memusuhiku.
Salahkah bila aku tak bisa melihat? Salahkah bila kini kondisiku berbeda dari mereka? Apakah aku sebegitu merepotkan di mata mereka? Toh aku berusaha sebisa mungkin untuk mandiri. Aku juga tidak ingin menyusahkan siapa pun.
Dan lihatlah, pagi ini aku berdiri di sekolah keenam. Sebuah sekolah negeri yang katanya mau mencoba menerimaku. Hmmm, menerima murid kok coba-coba? Memangnya anak sepertiku kelinci percobaan buat bahan penelitian?
“Ayah, gimana kalau aku ditolak juga? Gimana kalau teman-temannya jahat sama aku?” bisikku ragu.
Kudengar Ayah menghela nafas. Walau tak terkatakan, aku bisa merasakan kegamangan Ayahku. Genggaman tangan Ayah begitu hangat.
“Meski seisi dunia menolakmu, Ayah akan selalu menerima kamu. Tenang ya, Sayang. Kita coba...” kata Ayah lembut. Perkataannya berhasil membius hatiku dengan ketenteraman.
Kepala sekolah mempersilakan kami masuk. Aku tak bisa menangkap detail semua pembicaraan mereka. Yang jelas, sekolah negeri itu tetap merasa kerepotan. Mereka tak tahu bagaimana cara mengajar dan memberikan tugas pada anak buta sepertiku. Ayah meyakinkan kepala sekolah bahwa aku bukan anak yang merepotkan. Kudengar lembar-lembar kertas dibalik. Sepertinya, Ayah menunjukkan catatan prestasiku selama ini.
Hatiku berteriak tak rela. Kenapa sebagian besar seolah angkat tangan dengan kebutaanku? Dokter-dokter di rumah sakit, Suster Kepala, Catharina, OSIS, dan sekolah-sekolah yang menolakku, semuanya bekerjasama untuk menjauhiku. Apakah orang dengan kondisi berbeda harus dijauhi?
Melihat keadaanku, kepala sekolah tak berkutik. Ia sepertinya ragu hendak menerimaku. Keputusasaan menjalari hatiku. Aku berbisik sedih pada Ayah.
“Ayah, aku nggak mau sekolah. Kita pulang aja ya. Nggak ada sekolah yang terima aku. Aku mau belajar di rumah aja sama Ayah.”
Ayah memelukku kuat-kuat. Sambil memelukku, dia terus membujuk kepala sekolah agar membuat kebijakan khusus untukku. Akhirnya, kepala sekolah mengizinkanku merasakan sejenak pengalaman bersekolah sebagai murid berkebutuhan khusus. Namun, aku hanya diizinkan mengikuti ujian akhir semester sebagai persyaratan formalitas. Semester berikutnya, aku akan home schooling.
Selesai sudah urusan sekolah. Aku bersiap mengikuti ujian akhir semester. Seorang guru bersuara dingin ditugaskan sebagai pembaca soal. Sebelum masuk ruangan ujian yang khusus disiapkan untukku, aku sempat melewati halaman sekolah. Kudengar dengung bisik-bisik di sekitarku.
“Ya ampun, kita kedatangan murid baru ya? Cantik sih, tapi buta. Muka Katolik lagi.”
“Aduh, ngapain sih sekolah kita kebebanan murid kayak gitu? Matanya bagus sih, kayak mata orang Barat. Tapi, buat apa kalau buta?”
“Nyogok kali ortunya, biar dia diterima di sini.”
“Amit-amit, jangan sampai deh dia masuk kelas kita.”
Mereka berbisik sambil tertawa mengejekku. Hatiku berdenyut sakit seperti kedua bola mataku. Ayah memahami perasaanku. Katanya, aku tak perlu mempedulikan ejekan mereka. Aku hanya sebentar di sekolah ini agar punya rapor semester ganjil. Kalau aku tak punya rapor, kemungkinan tahun depan aku tak bisa naik kelas. Makanya, aku harus bertahan.
Pintu ruangan berdebam menutup. Aku takut ditinggal berdua saja dengan orang baru. Jujur saja, aku tak mudah menerima orang baru. Kupaksakan hatiku untuk tenang. Aku menjalani ujian ini demi Ayah, dan demi Papa.
Ujian dimulai. Soal demi soal mata pelajaran kulahap habis. Untunglah selama di rumah sakit aku berusaha keras mengejar ketinggalan pelajaranku. Semua ini tentu tak lepas dari peran Ayah. Tiap malam, Ayah membacakan buku-buku pelajaran untukku. Beberapa materi pelajaran direkamnya agar bisa kuputar berulang kali. Ayah mengajariku dengan sabar.
Aku berkejaran dengan waktu. Sekolah hanya memberiku waktu sehari untuk ujian. Guru pembaca soal nampaknya jengkel dan tidak ramah padaku. Kuhadapi situasi ini setabah mungkin.
Menjelang akhir ujian, kudengar Ayah mencoba memasuki ruangan. Namun, guru bersuara dingin itu melarangnya. Aku sedih. Ayah hanya ingin mendampingiku. Aku tahu pasti Ayah tidak akan membantuku melakukan kecurangan.
Ujian selesai. Aku keluar ruangan disambut pelukan hangat Ayah. Tubuh dan otakku letih sekali. Keletihan membuat mataku berdenyut perih.
“Gimana ujiannya, Sayang?” Ayah menanyaiku lembut saat kami telah berada di mobil.
“Susah. Guru yang bacain soal nggak sabaran.” jawabku.
Ayah membesarkan hatiku. Kata Ayah, dia dan Papa akan tetap bangga denganku.
Kami tak langsung pulang. Ayah mengajakku menikmati ice lecy tea di sebuah cafe. Tangan hangatnya menuangkan gula ke gelasku, mengadukkan minumanku, dan menyuapkan potongan lecy ke mulutku. Sejak aku mengalami kebutaan, Ayah selalu menyuapiku. Aku tak dibiarkannya makan sendiri.
“Ayah, sekolah negeri itu jahat ya.” Ucapan itu meluncur lepas dari bibirku.
“Kenapa kamu bilang begitu?”
“Tadi mereka berbisik-bisik mengejekku. Kenapa orang diejek dan dihina hanya karena mereka berbeda?”
“Nggak semua orang bisa menerima perbedaan, Sayangku. Padahal perbedaan itu niscaya. Nggak ada manusia yang benar-benar sama, bahkan kembar sekalipun.”
Aku tercenung memikirkan kata-kata Ayah. Tidak semua orang bersedia hidup berdampingan dalam perbedaan. Tingkat toleransi orang berbeda-beda. Resistensi seseorang pada perbedaan pun tak bisa disamakan.
**
Sejak duniaku gelap, kondisi psikisku menjadi labil. Aku merasakan dunia tidak adil. Kenapa penglihatanku diambil?
Allah tega menutup mataku. Aku pernah protes padaNya. Namun, telingaNya seolah ditutup untuk mendengar keluhanku.
Kini, duniaku hanya diisi Ayah dan Papa. Kehadiran mereka menjadi pertanda datangnya pagi dan sore padaku. Aku tak bisa lagi mengenali cerahnya langit pagi dan indahnya langit senja. Sebagai gantinya, buket bunga lily yang dibawa Ayah dan ajakan Papa jalan-jalan di taman sepulang kantor menjadi penanda bergantinya waktu.
“Selamat pagi, Silvi Sayang.” Ayah menyapaku hangat. Lembut mencium keningku.
Bibirku mengatup rapat. Tak kubalas sapaannya. Entah kenapa, pagi ini aku ingin sekali mengakhiri hidup. Sudah beberapa kali aku melukai diri. Perbuatanku tercium Ayah, tetapi gagal terendus Papa. Ayah sangat sedih tiap kali aku terluka.
“Sayangku kenapa? Cerita sama Ayah.” bujuk Ayah lembut.
“Aku ingin bunuh diri,” ungkapku jujur.
Hening, hening sangat lama. Di sela keheningan yang berdering, dapat kudengar tarikan nafas Ayah.
“Yakin anak Ayah ingin pergi sekarang? Silvi, kan, harus antar Ayah dulu ke peristirahatan terakhir. Masa mau pergi sekarang?”