-Fragmen si kembar
Kedua tangannya meletakkan kotak kecil berwarna merah di kepala tempat tidur Silvi. Ia tersenyum menatap kotak itu. Silvi pasti senang begitu mendapatinya besok pagi.
Sepelan mungkin, Calvin melangkah keluar dari kamar bernuansa soft pink itu. Tubuhnya penat, namun hatinya terasa ringan. Bahagia karena sekali lagi ia berikan kejutan manis untuk putri kesayangannya.
Calvin terinspirasi dari kado Natal. Ia buat hari-hari gelap Silvi menjadi berseri dengan hadiah-hadiah kecil yang diletakkannya di kepala tempat tidur setiap hari. Ada saja pemberian Calvin. Permen coklat, manisan, gelang, gantungan kunci, pembatas buku, jepit rambut, dan hadiah kecil lainnya.
Minggu pertama Calvin melakukan kebiasaan itu, Adica sempat ragu. Ia menduga Calvin dan Silvi akan bosan memberi dan menerima. Betapa kelirunya dia. Calvin sangat menikmati bisa memberikan hadiah kecil nan manis untuk Silvi setiap hari. Sementara itu, Silvi selalu tak sabar menunggu pagi. Menerka-nerka kejutan apa lagi yang akan didapatnya.
Hadiah Calvin tak termasuk sebuket lily putih. Ia masih rutin memberikan bunga lily untuk putri kesayangannya kala pagi tiba. Makin hari, Calvin makin mirip florist profesional. Ia jadi tahu banyak tentang bunga lily.
“Masih belum bosan juga?”
Satu kakinya melayang di anak tangga teratas. Calvin mengurungkan niatnya turun tangga saat mendapati Adica berdiri di sisinya.
“Memangnya kenapa?” tanyanya balik.
“Hadiah itu spesial, Calvin. Masa hal spesial diberikan setiap hari? Jatuhnya jadi membosankan,” Adica beralasan.
“Itu, kan, menurutmu. Kalau kita bisa menjadikan setiap hari spesial dan penuh kasih sayang, kenapa tidak?” bantah Calvin diplomatis.
Adica menghempas nafas tak sabar. Susahnya bicara dengan penganut aliran romantis sejati.
“Ya sudahlah, pilihanmu. Turun yuk. Temani aku minum teh.”
Si kembar beranjak turun ke lantai bawah. Calvin menawarkan diri membuatkan dua cangkir Earl Grey. Hanya orang kurang waras yang menolak tawaran itu. Adica tahu, makanan dan minuman apa pun yang diracik kakak kembarnya selalu enak.
Keduanya berpisah jalan di lorong. Calvin ke pantry, Adica ke ruang santai yang terletak bersebelahan dengan pantry. Feeling menuntun Adica untuk tidak menutup pintu.
TV menyala menampilkan seorang pembaca berita berwajah simpatik. Berita yang dibacakannya tak sesejuk parasnya. Bagaimana tidak, ia membacakan berita kasus korupsi yang dilakukan pejabat negara.
Kesal, Adica menyambar remote. Digantinya tayangan berita malam dengan film. Suguhan film yang terpampang di layar tak menghiburnya. Bagaimana tidak, filmnya bergenre romance. Sejak putus dari Asyifa, Adica otomatis menghindari film genre satu itu.
“Calvin mana sih? Dia bikin teh atau meditasi? Lama amat.” gerutu Adica seraya berpaling dari layar TV. Biarlah, biarlah TV yang menontonnya.
Prang!
Suara apa itu? Datangnya dari ruang sebelah. Dengan hati berkecamuk, Adica berpindah dari posisi nyamannya.
Hati Adica mencelos. Teko porselen pecah. Serpihannya bertebaran di lantai. Botol susu menggelinding ke bawah meja dapur. Calvin berdiri di tengah serpihan beling, satu tangannya mencengkeram dada.
“Calvin!”
Ditingkahi seruan tertahan, Adica menghambur ke sisi kakak kembarnya. Memapah pria tinggi berparas pucat itu. Calvin terbatuk beberapa kali. Seperti ada tangan besi menarik tulang punggungnya.
“Adica...mual.” Calvin mengerang.
Adica memapah Calvin ke wastafel. Air mengucur dari mulut keran. Calvin muntah darah. Cairan pekat berwarna merah membasahi bagian putih wastafel.
Tak ada waktu lagi. Segera saja Adica melarikan Calvin ke rumah sakit sebelum kakak kembarnya kehilangan banyak darah.
**
Dokter Tian menyampirkan jas dokternya ke punggung kursi. Stetoskop ia lepas. Akhirnya, durasi kerjanya selesai. Dokter pengganti telah datang. Sebentar lagi ia bisa pulang.
Namun, benarkah tugas Dokter Tian telah usai? Baru beberapa langkah kakinya terayun menuju lobi, ia terhenti. Dua orang perawat mendorong brankar dengan tergesa. Matanya melebar tak percaya.
“Calvin kenapa?” tanya Dokter Tian cemas.
“Muntah darah, Dokter.” Adica, yang melangkah cepat di belakang tempat tidur beroda, menjawab pertanyaan itu.
Hematemesis, satu istilah medis itu berputar di otaknya. Rasa lelah menguap seketika. Dokter Tian bergerak cepat menangani pasien yang telah lama diobatinya.
Kondisi Calvin setengah sadar. Dalam keadaan lemah, ia masih bisa melempar pandang marah pada Adica. Si adik kembar tak marah ditatap begitu.
“Adica, aku mau pulang.” Calvin bergumam lirih.
“Nanti dulu, Calvin. Kamu masih sakit.” jelas Adica sabar.
Seorang suster memasangkan oksigen. Demi Tuhan, Calvin benci belalai-belalai plastik yang menempel di tubuhnya. Bukan hidup seperti ini yang dia inginkan. Perkataan Adica dan bisik lembut Dokter Tian tak mengobati kebenciannya pada alat penunjang hidup.
“Silvi membutuhkanku. Dia akan mencari-cariku. Aku harus pulang!” kata Calvin bandel.
“Anak kesayangan kita akan baik-baik saja. Dia...”
“Kalau kamu tidak mau mengantarku pulang, aku bisa pulang sendiri. Bahkan, aku masih bisa lari!”
Calvin berusaha bangkit. Daya tahannya melemah. Ia jatuh pingsan.
Mata Adica sembap. Kakak kembarnya amat nekat. Lihatlah, ia tak sadarkan diri karena kenekatan dan keinginannya selalu ada di samping Silvi.
Silvi. Hanya pemilik nama itu yang dipikirkan Calvin. Hanya Silvi yang ada dalam skala prioritasnya. Sering kali Adica malu. Malu karena ia tak sekuat Calvin dalam menempatkan Silvi sebagai prioritas.
**
'Ku tak akan mundur
'Ku tak akan goyah
Meyakinkan kamu
Mencintaiku
Tuhan, kucinta dia
Kuingin bersamanya
Kuingin habiskan nafas ini
Berdua dengannya
Jangan rubah takdirku
Satukanlah hatiku dengan hatinya
Bersama sampai akhir (Andmesh Kamaleng-Jangan Rubah Takdirku).
**
Malaikat tampan bermata sipit kesayangan Adica dan Silvi belum membuka mata sejak malam naas itu. Seminggu berlalu tak terasa. Sebagian besar waktu Adica habis di rumah sakit. Semua jadwal meeting ditangguhkan. Agenda perjalanan bisnis diwakilkan pada orang-orang kepercayaannya.
Meski sibuk merawat Calvin, Adica tak melupakan rutinitas barunya tiap sore. Ia pulang sesekali untuk mengajak Silvi jalan-jalan ke taman. Tiap kali Silvi bertanya tentang Calvin, Adica tak berani bicara jujur padanya.
Malam-malam di rumah sakit menjadi siksaan untuk Adica. Bukan karena ruang VIP itu kurang mewah, tetapi karena ia tak tega melihat Calvin terus terbaring dalam tidur panjangnya. Kini, Adica terbiasa tidur hanya tiga-empat jam sehari.
“Kapan kamu bangun, Calvin? Memangnya kamu betah tidur terus?” tanya Adica dengan suara bergetar di hari kesembilan.
Ia menatap sedih profil pucat Calvin. Wajah yang biasanya diselimuti ketenangan dan kehangatan itu seolah tak berdarah lagi. Helaan nafas Calvin begitu lemah. Elektrokardiograf berpacu pelan. Sekilas ia bisa dikira mayat andai saja orang tak menyadari detakan jantung dan tarikan nafasnya.
Kursi bergeser ke belakang. Adica mencuci tangannya, lalu mengambil peralatan mandi. Dia menjajarkan baki beralas, tiga helai handuk, dua washlap, kantong plastik besar tempat pakaian kotor, baju bersih, dan dua baskom berisi air hangat. Sebelum mulai, dikenakannya sepasang handscoon.
Sehelai handuk Adica letakkan di bawah kepala Calvin. Pelan-pelan dibersihkannya wajah kakak kembarnya, lalu ia keringkan dengan handuk. Ia semakin berhati-hati saat melepas pakaian bagian atas Calvin dan membersihkan area sekitar lengannya. Adica memulai dari lengan yang tidak terpasang infus, lalu berpindah ke lengan satunya. Saat Adica menggosokkan lotion ke punggung dengan lembut dari daerah sakral menuju scapula, Dokter Tian memasuki ruang rawat.
“Kamu telaten sekali ya, merawat kakak kembarmu.” puji Onkologis itu takjub.
“Kalau bukan saya, siapa lagi?” Adica menanggapi komplimen itu tanpa menoleh.
“Istrimu nanti pasti beruntung memiliki suami sepertimu.”
Mendengar kata istri, Adica tersenyum getir. Kemungkinan besar ia akan berakhir sama seperti Calvin: selibat.
“Adica, pernahkah terpikir olehmu untuk membiarkan Calvin berangkat?” tanya Dokter Tian serius setelah proses memandikan selesai.