Februari 2008
“Benar ‘kan dugaanku? Kau selingkuh dengan laki-laki bernama Priyatno itu?!”
Suara perempuan itu melengking di tengah semilir angin yang menerobos tanpa kesulitan melalui jendela kamar.
Suasana malam hari di Simpang Empat terasa dingin. Lebih dingin dari pertama kali aku menghirup aroma kota kelahiran ayah. Atau mungkin saja karena hujan yang mengguyur sejak sore tadi. Semua benar-benar dingin, tidak ketinggalan di dalam sini.
Zona nyamanku hanya dibatasi oleh pintu papan triplek. Di balik papan triplek itu, ada dunia lain. Dunia milik orang yang katanya dewasa. Kedua orang dewasa itu saling bersahutan seperti pertunjukkan opera di kepalaku.
Aku mengusap poni ke belakang. Rasa dingin sudah bersemayam pula di jemari ini, merambat ke sela-sela kulit kepala. Kehangatan seperti apa yang bisa kau harapkan dari dua orang yang kerap bertengkar?
Jangan jawab. Aku lebih tahu jawabannya. Demi menghilangkan semua rasa penat gendang telinga ini, semakin kutenggelamkan rubanah ke novel The Sycamore, pemberian Bu Hefni—guru Bahasa Indonesia—karena cerpenku masuk tabloid remaja terbitan ibu kota.
The Sycamore. Pohon yang buahnya kerap disamakan dengan buah ara padahal berbeda. Pohon yang banyak rantingnya. Di ranting itulah, cerita bermula. Seorang lelaki tua menggantungkan diri di dahan pohon Sycamore. Kematiannya menjadi undangan resmi untuk mengumpulkan keluarga yang tercerai berai. Hartanya menjadi pemantik kecurigaan atas niat semua orang, bahkan pada perawatnya.
Mungkin John Grisham ingin menyelipkan salah satu petuah klasik. Kaya tak membuat hidup lebih mudah. Namun, aku tetap ingin memilih menjadi kaya. Kaya artinya punya uang, bukan? Bisa jadi ada orang yang tidak bahagia dan tetap akan berselisih karena uang. Akan tetapi, jika keluargaku memilikinya, opera di luar sana akan berhenti seketika.
Di luar pintu kamar, dunia itulah yang sangat dekat dan sering kulihat. Namun, hanya sebatas itu kutahu. Dunia kemiskinan memicu semua sumpah serapah di dalam gubuk ini. Suara pertengkaran itu semakin memanas saat kudengar suara ayah menyinggung tentang perselingkuhan. Aku—yang bagi mereka masih anak kecil di usia menjelang delapan belas tahun—hanya bisa memutar bola mata.
Jenuh.
Kejenuhanku bukan tentang pertengkaran dua orang yang mengaku pernah saling jatuh cinta itu. Aku jenuh lebih pada merasakan getaran di jantung dan keringat dingin yang kerap muncul begitu mendengar teriakan umak dan apak.
Ada peluh sebesar jagung yang membuat dadaku sesak. Ujung jari gemetar tak karuan. Ah, perasaan itu selalu membuat napasku terpaksa digantung.
Bagaimana jika apak mendobrak pintu tipis itu dan sosok umaklah yang muncul tersungkur? Bagaimana kalau saat pintu terbuka, justru sebilah pisau yang mengacung di tangan umak? Pikiran-pikiran jelek bergantian mengambil panggung di kepalaku.
Mata yang terpaku pada lembaran usang berusaha tetap fokus. Kuenyahkan semua hal-hal buruk yang mungkin terjadi. Aku terlalu sering berkutat dengan fiksi. Mungkin seharusnya kubuat cerita thriller dengan lakon umak dan apakku sendiri.
Awalnya, aku hanya iseng saja menulis. Bu Hefni menemukannya dalam buku tugas.
“Aku hanya iseng, Bu.” Itu kataku saat beliau menanyakannya.