Papercut

tane
Chapter #2

Chapter #2

Apak adalah mantan pemain orkes keliling. Sementara umak bekerja sebagai penyanyi orkes dangdut. Di sanalah keduanya—katanya—saling jatuh hati dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Setelah menikah, apak dan umak mengadu nasib ke Pekanbaru, bergabung dengan kelompok musik dangdut melayu yang lebih besar.

Sayang sekali, cinta mereka tak mampu mengalahkan keegoisan kebutuhan ekonomi keluarga ini. Apak berhutang ke sana kemari. Kami juga kerap pindah demi menghindari penagih.

Hingga akhirnya, angku meninggal dan mewariskan sepetak rumah dengan tanah. Seharusnya semuanya membaik. Namun, di sinilah pertengkaran semakin menjadi-jadi. Aku sudah di tingkat akhir SMA dan Hanan—adikku—lahir. Rasa-rasanya, menamai anak pertama mereka dengan “Cinta” dan anak kedua “Hanan” tidak lantas membuat keduanya mengerti makna cinta dan rahmat itu sendiri.

Penghasilan apak memang tidak besar. Sebelum kembali ke Pasaman Barat ini, beliau terpaksa menjual seluruh peralatan musik. Apak beralih profesi menjadi sopir travel Pasaman Barat – Padang.

Meskipun apak sudah berusaha mengepulkan asap di dapur, agaknya memang penghasilannya tak bisa menutupi kebutuhan yang lain. Kerap sebungkus mie duo instan dicampur dengan sayur kol dan sedikit daun bawang menjadi sarapan pagi, makan siang, dan … tidak cukup untuk makan malam bagi kami berempat. Atas dasar itu, umak berinisiatif untuk mencari nafkah sendiri dengan kembali menjadi penyanyi orkes dangdut di acara-acara hajatan pernikahan.

Priyatno, pria yang disebut-sebut sebagai selingkuhan umak itu adalah bos orkes dangdut tempat beliau bekerja. Tinggalnya di Jambak, singkatan suku yang ada di sana. Jawa, Minang, dan Batak.

Yang kudapat dari tuduhan apak, pria itu menyukai umak. Tentu saja, itu penyebab apak tak pernah menyetujui istrinya itu bekerja di sana. Aku pun begitu, tapi aku butuh uang untuk sekolah.

Terlebih lagi, umak memiliki sifat keras kepala dan apak juga tak kunjung bisa menambah pundi-pundi sejahtera. Itu menambah berjuta alasan lain untuk memulai pertengkaran. Kondisi semakin memburuk saat apak mulai meminjam uang pada rentenir—lagi.

Utang menumpuk, pendapatan berkurang. Apak mulai menghabiskan waktu di luar dan pulang dalam keadaan mabuk. Tak jarang pula, Dia membawa pulang botol-botol haram itu dan menikmatinya sambil menonton TV semalam suntuk. Jika sudah mabuk, ia seringkali tak ingat pernah bertengkar dengan umak. Masih untung, beliau ingat aku anaknya.

Bisa kau bayangkan menjalani kehidupan sepertiku?

Tidak. Kau tidak akan bisa membayangkannya. Imajinasi manusia tidak ada batasnya, tapi membayangkan seseorang di dunia nyata pernah menjalani situasi terburuk dalam hidupnya pasti akan membuatmu berpikir, “Ah, itu hanya fiksi.” Maka, kubiarkan kau berpikir demikian. Aku tidak rugi, begitu pun denganmu karena kita tidak saling mengenal.

“K … kau!” Umak terpekik.

Aku tersadar. Di tanganku botol bir bintang yang kerap diteguk apak pecah menghantam kepala apak, sedangkan apak tersungkur di samping umak. Umak—wanita yang kusayangi itu—sama terkejutnya denganku.

Jantungku berderap melihat apak ambruk. Matikah? Apak … mati?

Umak masih memegangi tubuh apak. Tak ada yang bersuara. Ia tiba-tiba berdiri dan berlari ke kamarnya. Aku menelan ludah dengan susah payah dan menyusul. Namun, pintu terkunci. Terdengar suara gaduh di dalam.

Umak?” panggilku cemas. Di lantai, apak masih diam saja.

Umak? Apak ... kita bawa ke rumah sakit?” tanyaku dengan bibir gemetar.

“Jangan!” Cepat sekali umak menjawab. Setengah membentak.

Hening.

“Dia tidak apa-apa. Hanya tidur. Besok dia juga lupa.” Suara umak lebih tenang.

Lihat selengkapnya