Papillon

Noura Publishing
Chapter #1

Buku Catatan Pertama Tersungkur ke Neraka

MAHKAMAH

Itu adalah sebuah pukulan KO—hantaman yang begitu menyakitkan hingga aku tidak bisa kembali berdiri di atas kakiku selama empat belas tahun. Dan demi mengirimkan pukulan seperti itu, mereka melewati berbagai macam kesulitan.

Saat itu 26 Oktober 1931. Pukul delapan pagi, mereka mengeluarkanku dari sel yang kutinggali selama setahun di Conciergerie. Aku baru bercukur dan berpakaian rapi. Setelanku buatan penjahit bagus dan membuat penampilanku tampak elegan. Kemeja putih serta dasi kupu-kupu berwarna biru pucat ditambahkan sebagai sentuhan terakhir.

Usiaku saat itu dua puluh lima tahun, tetapi tampak seperti dua puluh. Para petugas polisi agak terkesan dengan penampilanku yang elegan dan memperlakukanku dengan sopan. Mereka mele-paskan borgolku. Kami berenam, lima polisi dan aku, duduk di dua bangku dalam ruang tunggu kosong Palais de Justice de la Seine, Paris. Pintu-pintu di depan kami mengarah ke ruang pengadilan. Di luar, cuaca mendung kelabu.

Aku akan disidang karena pembunuhan. Pengacaraku, Raymond Hubert, datang menyapaku. “Mereka tidak punya bukti kuat,” katanya. “Aku yakin kita akan dibebaskan.” Aku tersenyum mendengar kata “kita”. Bukan dia terdakwanya, melainkan aku. Dan, jika di antara kami ada yang akan dipenjara, itu bukan dia.

Seorang penjaga muncul dan memberi isyarat agar kami masuk. Pintu ganda berayun lebar. Diapit empat petugas polisi dan seorang sersan, aku memasuki ruangan besar itu. Demi membuatku semakin lemah saat menerima pukulan, segalanya semerah darah: karpet, tirai di atas jendela besar, bahkan jubah para hakim yang akan segera duduk mengadiliku.

“Majelis hakim memasuki ruangan, hadirin dimohon ber-diri!”

Dari pintu di sebelah kanan, enam pria muncul satu demi satu: hakim ketua, kemudian kelima hakim anggota, semuanya mengenakan topi. Hakim ketua berhenti di depan kursi tengah, para hakim lainnya mengambil tempat masing-masing di kanan kirinya.

Keheningan mengisi ruangan. Semua orang tetap berdiri, termasuk aku. Kemudian, majelis hakim duduk dan kami semua mengikuti.

Hakim ketua adalah pria tembam dengan pipi merah muda dan mata dingin. Namanya Bevin. Dia menatapku tanpa jejak emosi. Kelak, dia akan memimpin persidangan dengan ketidakberpihakan yang ketat, dan sikapnya akan membuat semua orang memahami bahwa, sebagai hakim, dia tidak sepenuhnya teryakinkan oleh ketulusan para saksi maupun para polisi. Tidak, dia tidak akan bertanggung jawab atas pukulan ini, dia hanya akan mengumumkan vonisnya.

Jaksa penuntut umum adalah Pradel. Dia memiliki reputasi bengis sebagai pemasok guillotine serta penjara-penjara domestik maupun kolonial “nomor satu”. Prudel merupakan personifikasi balas dendam publik: pendakwa resmi, tanpa tanda-tanda kemanusiaan. Dia me-representasikan hukum dan keadilan, dan dalam kekuasaannya, dia akan melakukan apa pun untuk membelokkan hukum sesuai keinginan. Mata burung bangkainya menatapku intens—menunduk, karena dia duduk di atasku, dan juga karena tingginya. Paling tidak, dia setinggi 192 sentimeter—dan pembawaannya arogan. Dia tetap mengenakan jubah merahnya, tetapi menaruh topi di hadapannya dan menahan tubuh dengan tangan sebesar dayung. Cincin emas memperlihatkan bahwa dia sudah menikah, dan di jari kelingkingnya, dia mengenakan cincin dari kuku tapal kuda yang sangat halus.

Dia sedikit mencondongkan tubuh agar bisa semakin mendo-minasiku, seolah sedang berkata, “Dengar, kawanku yang menye-nangkan dan dicintai, kalau kau pikir bisa lolos dariku, kau keliru. Kau mungkin tidak tahu, tapi kedua tanganku adalah cakar yang siap mencabik-cabikmu. Dan kalau para pengacara takut kepa-daku, itu karena aku tidak pernah membiarkan buruanku lolos.

“Bukan urusanku kau bersalah atau tidak; tugasku adalah menggunakan semua hal yang ada demi melawanmu: kehidupan ala bohemianmu di Montmartre, kesaksian yang diambil polisi dari para saksi, kesaksian para polisi. Dengan bukti menjijikkan yang dikumpulkan penyidik, aku harus membuatmu tampak sangat mengerikan hingga para juri akan mendepakmu dari masyarakat.”

Apakah aku hanya bermimpi atau dia benar-benar berbicara kepadaku? Apa pun itu, aku benar-benar terkesima oleh “pelahap manusia” ini.

“Jangan berusaha melawan, Tahanan. Bahkan, tidak usah berusaha membela diri. Bagaimanapun, aku akan tetap mengirimmu ke jalan terkutuk itu. Dan aku yakin kau sama sekali tidak me-mercayai para juri. Tidak usah ragu soal itu. Kedua belas orang itu sama sekali tidak tahu apa-apa soal hidup.

“Tatap mereka yang di hadapanmu. Apa kau bisa melihat mereka dengan jelas, selusin orang berkepala kosong yang dibawa ke Paris dari desa-desa yang jauh? Mereka hanyalah petits bourgeois, beberapa di antaranya pensiunan, yang lainnya pengusaha kecil. Tidak berharga untuk dibicarakan. Kau tidak bisa berharap mereka memahami usia dua puluh lima tahunmu dan hidup yang kau jalani di Montmartre. Bagi mereka, Pigalle dan Place Blanche adalah neraka itu sendiri, dan siapa pun yang masih terjaga pada separuh malam adalah musuh masyarakat. Para juri ini senang melayani, bahkan benar-benar bangga akan hal itu. Lebih jauh lagi, kuyakinkan kepadamu, mereka semua sangat menyadari makna hidup mereka yang kecil.

“Dan di sinilah kau, masih muda dan tampan. Kau tentunya sadar aku tidak akan menutup-nutupi saat aku menggambarkanmu sebagai Don Juan dari Montmartre? Aku akan langsung membuat mereka sebagai musuhmu. Kau berpakaian terlalu bagus. Seha-rusnya, kau mengenakan busana yang lebih sederhana. Ah, itu adalah kesalahan taktis yang cukup besar. Apa kau tidak sadar mereka iri melihat pakaianmu? Mereka membeli setelan mereka di Samaritaine. Mereka tidak pernah pergi ke penjahit, bahkan dalam mimpi sekalipun.”

Saat itu pukul sepuluh, dan sidang akan segera dimulai. Di hadapanku ada enam hakim, salah satunya jaksa agresif yang akan menggunakan semua kekuasaan ala Machiavelli-nya dan kecerdasannya untuk meyakinkan kedua belas penjaga toko ini bahwa aku bersalah. Dan, satu-satunya hukuman yang layak adalah penjara atau guillotine.

Aku akan diadili atas pembunuhan seorang muncikari dan informan kepolisian yang beroperasi di Montmartre. Tidak ada bukti, tetapi para polisi—mereka mendapatkan promosi setiap kali mereka menangkap penjahat—bersikeras bahwa aku bersalah. Mereka akan berkata mereka memiliki informasi “rahasia” yang mereka simpan di luar bayang-bayang atau keraguan untuk menjawab kurangnya bukti. Mereka memiliki saksi kunci—pita perekam berjalan di Markas Polisi bernama Polein—dan dia akan menjadi elemen paling efektif dalam penuntutan. Karena aku bersikeras mengatakan tidak mengenal saksi, sang hakim ketua berkata kepadaku dengan ketidakberpihakan: “Anda berkata saksi ini berbohong. Baiklah. Tapi, kenapa dia harus berbohong?”

“Yang Mulia, kalau aku terus terjaga sejak penangkapanku, itu bukan karena aku menyesal telah membunuh Roland le Petit—aku tidak membunuhnya. Melainkan karena aku terus berusaha mencari tahu motif saksi ini, kenapa dia begitu bertekad mencelakaiku sedemikian rupa, dan kenapa, setiap kali penuntutan tampaknya akan gagal, dia menemukan sesuatu yang baru untuk melanjutkannya. Aku telah mengambil kesimpulan, Yang Mulia, polisi menangkap basah dia sedang melakukan kejahatan dan membuat kesepakatan dengannya: ‘Kami akan berpura-pura kau tidak bersalah kalau kau bersaksi melawan Papillon.’”

Aku tidak tahu sedekat apa diriku dengan kebenaran. Polein ditampilkan di pengadilan sebagai orang bermoral dengan rekam jejak bersih. Beberapa tahun kemudian, dia ditangkap dan divonis bersalah karena menjual kokain.

Hubert berusaha membelaku, tetapi dia tidak bisa bersaing dengan sang jaksa penuntut. Hanya satu saksi, Bouffray, mendi-dih dalam kemarahan, membuatnya kewalahan beberapa saat. Kecerdasan Pradel memenangi duel tersebut. Dan, seakan itu belum cukup, dia memuji para juri dan mereka membusung bangga karena diperlakukan sebagai kolaborator dan dianggap setara oleh sosok mengesankan ini.

Pada pukul sebelas malam itu, permainan berakhir. Sekakmat. Aku, yang tidak bersalah, dinyatakan bersalah.

Masyarakat Prancis, dalam sosok Penuntut Umum Pradel, telah berhasil menghapus kehidupan seorang pemuda dua puluh lima tahun. Dan tanpa pengurangan masa tahanan, yang benar saja! Semua ini disajikan kepadaku dalam suara datar milik Hakim Ketua Bevin.

“Terdakwa diharap berdiri.”

Aku berdiri. Seisi ruangan hening, semua orang menahan napas, jantungku berdetak lebih kencang. Para juri menatapku atau menundukkan kepala; mereka tampak malu.

“Para juri menjawab ‘ya’ untuk semua pertanyaan kecuali satu—bahwa pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja—kau dihukum kerja paksa seumur hidup. Ada yang ingin kau katakan?”

Aku tidak bergerak, hanya mencengkeram susuran kotak terdakwa lebih erat. “Yang Mulia, ya, aku ingin berkata aku benar-benar tidak bersalah, aku adalah korban yang dijebak oleh polisi.”

Gumaman terdengar dari sekelompok orang terutama para perempuan undangan yang duduk di belakang majelis hakim.

Tanpa meninggikan suaraku, aku berkata kepada mereka, “Diamlah, kalian para perempuan dengan perhiasan mutiara yang datang ke sini hanya untuk menikmati sajian drama. Sandiwara ini sudah selesai. Pembunuhan ini telah dipecahkan oleh polisi kalian dan keadilan kalian; seharusnya kalian puas.”

“Penjaga, bawa Terdakwa keluar,” kata Hakim Ketua.

Sebelum digiring pergi, aku mendengar sebuah suara berseru, “Jangan khawatir, Sayangku, aku akan mengikutimu ke sana!” Itu Nénette, yang meneriakkan cintanya. Kawan-kawanku dari dunia hitam yang berada di ruang sidang bertepuk tangan. Mereka mengetahui kebenaran tentang pembunuhan ini, dan itu cara mereka memperlihatkan bahwa mereka bangga kepadaku karena tidak melolong.

Kami kembali ke ruangan kecil tempat kami menunggu sebelum mahkamah. Di sana, polisi memborgolku, kemudian aku dirantai kepada salah seorang dari mereka, pergelangan ta-ngan kananku ke pergelangan tangan kirinya. Tak seorang pun berbicara. Aku meminta rokok. Penjaga memberiku satu dan menyalakannya. Setiap kali aku mengangkatnya ke mulutku atau menjauhkannya, sang petugas polisi harus menaikkan atau menurunkan lengannya demi mengikuti gerakanku. Aku sudah menghabiskan tiga perempat rokok. Masih tidak berkata-kata. Akhirnya, aku menatap penjaga dan berkata, “Mari kita pergi.”

Kami menuruni undakan, dikawal selusin petugas polisi dan keluar di lapangan bagian dalam Palais. Mobil van polisi telah menanti kami. Kami semua duduk di bangku. Sang sersan berkata: “Conciergerie.”

PENJARA CONCIERGERIE

Saat kami tiba di château Marie Antoinette terakhir, polisi menyerahkanku kepada kepala sipir yang menandatangani selembar kertas. Mereka pergi tanpa kata, tetapi beberapa saat sebelum berangkat, dengan terkejut, sersan menjabat tanganku yang terborgol.

Kepala sipir bertanya kepadaku, “Apa yang mereka berikan kepadamu?”

“Seumur hidup.”

“Aku tidak memercayainya.” Namun, dia menatap para polisi dan menyadari bahwa kata-kataku benar. Kemudian, sipir berusia lima puluh tahun yang telah melihat segalanya dan mengetahui kasusku dengan sangat baik itu menyampaikan kata-kata penghiburan ini kepadaku:

“Para bedebah itu! Mereka pasti sudah gila!”

Dengan lembut, dia melepas borgolku dan menemaniku ke sel yang dindingnya dilapisi bantalan, didesain khusus untuk terpidana dengan hukuman mati, orang sakit jiwa, tahanan yang sangat berbahaya, dan mereka yang dihukum kerja paksa.

“Tabahlah, Papillon,” ujarnya saat menutup pintu. “Mereka akan mengirimkan barang-barangmu dan makanan yang sama dengan yang kau dapatkan di sel lain. Kau harus tabah!”

“Terima kasih, Pak Kepala. Percayalah kepadaku, aku tabah dan kuharap mereka tersedak saat mengatakan ‘hukuman seumur hidup’.”

Beberapa menit kemudian, kudengar suara goresan di pintuku. “Ada apa?”

Sebuah suara menjawab, “Tidak ada apa-apa. Hanya aku. Aku menggantung tanda.”

“Kenapa? Tanda apa?”

“‘Kerja paksa seumur hidup’. Awasi baik-baik.”

Mereka benar-benar sinting, pikirku. Apa mereka benar-benar mengira pukulan yang baru menghantamku itu bisa membuatku berniat bunuh diri? Aku tabah dan akan terus begitu. Aku akan melawan mereka semua. Mulai besok, aku akan memulai aksi.

Saat meminum kopiku keesokan paginya, aku bertanya kepada diriku sendiri, haruskah kuajukan banding? Mungkinkah aku menda-pat keberuntungan di pengadilan lain? Dan, berapa banyak waktu yang harus kulewati demi melakukan itu? Satu tahun, mungkin delapan belas bulan ... dan untuk apa? Untuk mendapatkan dua puluh tahun penjara alih-alih seumur hidup?

Karena aku memutuskan untuk melarikan diri apa pun taru-hannya, berapa tahun pun tidak masalah. Aku mengingat kembali pertanyaan yang diajukan terdakwa lain kepada Hakim Ketua, “Yang Mulia, berapa lama kerja paksa seumur hidup berlangsung di Prancis?”

Aku berjalan mondar-mandir di selku. Aku sudah mengirim telegram hiburan kepada istriku dan telegram lain untuk saudari-ku yang, meski sendirian melawan dunia, telah berusaha membela saudaranya.

Sudah berakhir. Tirai sudah ditutup. Orang-orang yang kusa-yangi akan lebih menderita dibanding aku, dan betapa malang ayahku, yang berada di provinsi jauh dan harus menanggung be-ban ini.

Aku mendadak tersadar. Kau tidak bersalah, tentu saja, tetapi siapa yang memercayaimu? Aku bertanya sendiri. Berhentilah luntang-lantung mengklaim bahwa dirimu tidak bersalah, mereka hanya akan mentertawaimu. Dipenjara seumur hidup demi se-orang muncikari dan menyatakan bahwa orang lainlah yang me-lakukan itu—terlalu bodoh. Lebih baik kau tutup mulut.

Cukup sudah. Hal pertama yang harus kulakukan adalah menghubungi tahanan lain yang ingin melarikan diri.

Aku memikirkan seorang pria dari Marseilles yang dipanggil Dega. Barangkali aku akan bertemu dengannya di tukang cukur. Dia pergi bercukur setiap hari. Aku juga meminta untuk pergi. Saat aku sampai di sana, dia sedang menghadap tembok. Kuperhatikan bahwa dia diam-diam membiarkan gilirannya disela agar memiliki waktu lebih lama dalam antrean. Aku duduk di sampingnya, memaksa pria lain menyingkir. Aku berbicara sangat cepat, dengan napas tertahan.

“Hai, Dega, bagaimana kabarmu?”

“Baik, Papi. Aku dapat lima belas tahun. Bagaimana dengan-mu? Kudengar mereka benar-benar mengacaukanmu.”

“Ya. Aku dihukum seumur hidup.”

“Apa kau akan naik banding?”

“Tidak. Aku akan makan dan menjaga kebugaran. Kau harus kuat, Dega. Suatu hari nanti kita akan membutuhkan otot yang kuat. Kau punya uang?”

“Ya. Sepuluh ribu francs dalam bentuk pound sterling5. Bagaimana denganmu?”

“Tidak satu sou6 pun.”

“Mau dengar saranku? Cari uang, dapatkan dengan cepat. Pengacaramu si Hubert itu? Dia itu berengsek, tidak akan mem-bantu karena dia malas. Kirim istrimu ke Dante dengan plan7 penuh. Beri tahu dia untuk memberikannya kepada Dominique-le-Riche dan aku jamin kau akan mendapatkannya.”

“Ssst. Penjaga sedang melihat kita.”

“Kalian sedang bercakap-cakap?”

“Oh, tidak ada yang menarik,” jawab Dega. “Dia bilang agak sakit.”

“Sakit apa dia? Sembelit pengadilan?” Si bedebah itu meledak dalam tawa.

Yah, begitulah. Lagi pula, aku sudah berada di jalan terku-tuk. Seorang pria membuat lelucon dan tertawa sinting dengan mengorbankan seorang anak dua puluh lima tahun yang dihukum seumur hidup.

Aku mendapatkan plan-ku. Benda itu adalah sebuah tabung aluminium yang sangat halus dengan bukaan membujur di tengah yang saling mengunci jika ditutup. Isinya 5.600 francs dalam uang kertas baru. Saat mendapatkannya, aku menciumnya. Ya, aku mencium tabung kecil sepanjang dua setengah inci dan setebal ibu jari itu sebelum menjejalkannya ke anusku. Aku menarik napas dalam-dalam agar benda itu tersangkut di usus. Benda itu adalah kotak kekuatanku. Orang-orang itu bisa saja membuatku menanggalkan semua pakaianku, meregangkan ka-kiku, membuatku terbatuk-batuk atau membungkuk, apa pun yang mereka inginkan. Plan tersebut berada jauh di usus besar. Menjadi bagian dari diriku. Di dalam tubuhku, aku membawa hidupku, kebebasanku ... jalanku menuju pembalasan dendam. Karena hanya itulah yang ada di benakku. Balas dendam. Bahkan, itulah satu-satunya yang kupikirkan.

Di luar gelap. Aku sendirian di dalam selku. Cahaya terang menyorot dari langit-langit agar penjaga bisa melihatku lewat lubang kecil di pintu. Sinar menyilaukan itu membutakanku. Aku menempelkan saputangan terlipat ke mataku yang sakit. Kuregangkan tubuh di matras ranjang besiku dan berbaring di sana tanpa bantal, mengingat kembali detail-detail pengadilan yang mengerikan itu.

Agar kau memahami kisah panjang ini hingga satu demi satu bagiannya terkuak dan mengetahui apa yang membuatku terus berjuang, barangkali aku harus agak bertele-tele sekarang. Aku harus memberitahukan semua hal yang terjadi dan apa yang kulihat di benakku selama hari-hari pertama setelah aku dikubur hidup-hidup.

Apa yang akan kulakukan setelah aku berhasil kabur? Karena sekarang aku punya plan, aku tidak ragu sekejap pun bahwa aku akan melarikan diri.

Yah, aku akan kembali ke Paris secepat mungkin. Dan orang pertama yang akan kubunuh tentu saja si informan, Polein. Kemudian dua pengadu itu. Namun, mereka saja tidak cukup, aku harus membunuh semua pengadu. Atau, paling tidak, sebanyak mungkin. Aku akan mengisi sebuah koper dengan peledak hingga penuh. Aku tidak tahu berapa banyak tepatnya: sepuluh, dua be-las, lima belas kilogram? Aku berusaha mencari tahu apa yang kubutuhkan demi menimbulkan banyak korban.

Aku tetap memejamkan mata dengan saputangan menutupi-nya sebagai perlindungan, dan aku dapat melihat koper itu dengan jelas, tampak begitu tak berdosa, tetapi penuh dengan peledak. Pemicunya disiapkan dengan hati-hati untuk meledakkannya. Tunggu dulu ... koper itu harus meledak tepat pukul sepuluh pagi, di ruang penugasan lantai dua Markas Kepolisian, 36 Quai des Orfèvres. Pada jam tersebut, setidaknya akan ada seratus lima puluh polisi di ruangan tersebut, menerima penugasan hari itu dan mendengarkan laporan. Berapa banyak undakan yang harus dinaiki? Aku harus benar-benar yakin.

Aku harus mengetahui berapa tepatnya waktu yang dibutuh-kan untuk membawa koper itu dari jalan ke tujuannya pada detik yang tepat untuk meledak. Dan siapa yang akan membawa koper itu? Baik, jadilah pemberani. Aku akan sampai dengan taksi tepat di pintu depan, dan dengan suara yang menunjukkan kekuasaan, aku akan memberi tahu kedua penjaga, “Bawa koper ini ke ruang penugasan. Aku akan segera menyusul. Beri tahu Komisaris Dupont bahwa Kepala Inspektur Dubois yang mengirimnya dan aku akan segera sampai.”

Namun, apa mereka akan menurut? Bagaimana jika dari semua idiot itu, aku malah memilih dua orang cerdas dalam kesa-tuan? Aku bisa tamat. Aku harus memikirkan pilihan lain. Dan aku berpikir dan terus berpikir. Aku tidak akan mengakui bahwa tidak ada yang bisa kuyakini seratus persen.

Aku bangkit untuk mengambil air minum. Berpikir begitu keras membuat kepalaku sakit.

Aku kembali berbaring tanpa penutup mata. Menit demi menit terasa menjemukan. Dan cahaya itu, cahaya sialan itu! Aku membasahi saputangan dan menempelkannya lagi di mataku. Air dingin terasa nyaman dan beratnya membuat kain menempel ke mataku. Sejak saat itu, aku selalu melakukannya.

Jam-jam panjang yang kuhabiskan untuk memikirkan rencana balas dendamku pada masa depan begitu intens hingga aku mulai merasa seakan-akan proyek tersebut sudah dimulai. Setiap malam, bahkan beberapa saat pada siang hari, aku berjalan-jalan di Paris seakan-akan pelarianku telah menjadi kenyataan: aku akan kabur dan aku akan kembali ke Paris.

Lihat selengkapnya