SAINT-MARTIN-DE-RÉ
Malam harinya, Batton menyelipkan tiga batang Gauloises dan secarik kertas bertuliskan: “Papillon, aku tahu kau akan pergi dengan kenangan indah tentangku. Barangkali aku memang seorang trusty, tapi aku berusaha sebisa mungkin agar tidak menyakiti tahanan lain. Aku mengambil pekerjaan itu karena aku punya sembilan anak dan aku ingin segera keluar. Aku berusaha memenangi pengampunan tanpa banyak masalah. Selamat ting-gal. Semoga beruntung. Konvoi akan berangkat lusa.”
Keesokan harinya, kami dikumpulkan dalam kelompok ber-jumlah tiga puluh orang di depan lorong bagian disiplin. Petugas medis datang dari Caen untuk memvaksin kami melawan penyakit-penyakit daerah tropis. Masing-masing kami diberi tiga suntikan dan dua liter susu. Dega berdiri di dekatku. Kami tidak lagi me-matuhi aturan untuk diam karena kami tahu kami tidak akan di-kembalikan ke penjara bawah tanah begitu kami disuntik. Kami berbicara dalam suara pelan di depan para penjaga; mereka tidak berani mengatakan apa pun di hadapan petugas medis dari kota.
Dega tampak cemas. “Apa akan ada cukup mobil van polisi untuk membawa kita sekaligus?” tanyanya.
“Aku tidak tahu.”
“Saint-Martin-de-Ré agak jauh dari sini, dan kalau mereka membawa enam puluh orang sehari, akan butuh waktu sepuluh hari. Di sini saja sudah ada hampir enam ratus orang.”
“Hal terpenting adalah kita sudah disuntik. Artinya, kita berada dalam daftar dan akan segera pergi ke bagne. Cerialah, Dega, kita berada dalam putaran baru. Kau bisa mengandalkanku; aku mengandalkanmu.”
Dia menatapku dan matanya berbinar dengan kepuasan. Dia meletakkan tangannya di tanganku dan berkata, “Dalam hidup dan mati, Papi.”
Konvoi itu tidak penting untuk diceritakan kecuali fakta bahwa kami sesak napas dalam kandang kecil kami di dalam van. Para penjaga menolak udara masuk, bahkan untuk sedikit membuka pintu sekalipun. Saat kami sampai di La Rochelle, dua orang mati karena sesak napas.
Orang-orang berkerumun di dermaga menyaksikan setan-setan malang—Saint-Martin-de-Ré adalah sebuah pulau dan kami harus menggunakan perahu untuk menyeberangi kanal. Mereka tidak memperlihatkan rasa dengki. Para polisi membawa mayat-mayat ke atas perahu bersama kami, karena mereka harus dikirim ke sisi lain dalam keadaan hidup atau mati.
Menyeberangi kanal tidak memakan waktu lama, tetapi mem-beri kami kesempatan untuk menghidu udara laut yang baik. Aku berkata kepada Dega, “Baunya seperi cavale.” Dia tersenyum. Dan Julot, yang berdiri di sebelah kami, berkata, “Ya, baunya memang seperti cavale. Sebaiknya kita terus bersama. Di Saint-Martin, mereka memilih sepuluh orang secara acak untuk ditempatkan dalam satu sel.”
Julot keliru. Saat kami sampai, dia dan dua orang lain di-panggil dan ditempatkan terpisah. Mereka semua adalah para narapidana yang melarikan diri dari bagne; mereka dijemput di Prancis dan akan kembali ke sana untuk kali kedua.
Dalam sel kami yang berisi sepuluh orang, kami mulai hidup dalam penantian. Kami diperbolehkan mengobrol, merokok, dan mereka memberi kami makan dengan baik. Satu-satunya bahaya adalah plan. Tiba-tiba saja kau mungkin disuruh melepas pakaian tanpa alasan, kemudian kau akan diperiksa secara saksama. Per-tama-tama, setiap inci tubuhmu hingga telapak kakimu, kemudian pakaianmu. Akhirnya, “Berpakaian!” lalu kembali ke dalam sel.
Seperti itulah hidup kami: sel, aula mes, halaman tempat kami menghabiskan berjam-jam berjalan dalam barisan. Satu, dua! Satu, dua! Satu, dua! Kami berbaris dalam kelompok berisi seratus lima puluh orang. Antreannya panjang dan sepatu kayu kami berkelotak. Kami diharuskan diam.
Kemudian, “Bubar barisan!” Semua orang duduk di tanah; kelompok-kelompok disusun berdasarkan kategori sosial. Pertama, orang-orang dunia hitam sungguhan dari berbagai tempat—Corsica, Marseilles, Toulouse, Brittany, Paris, dan lain-lain. Bahkan, ada satu orang dari Ardèche—aku. Dan aku harus berkata demi Ardèche bahwa hanya ada dua orang dalam konvoi berisi seribu sembilan ratus orang: seorang polisi yang membunuh istrinya, dan aku. Kesim-pulan: orang-orang dari Ardèche adalah orang baik. Sementara itu, kelompok lain sungguh mengejutkan, karena mereka hanyalah orang-orang amatir yang dikirim ke bagne dan jumlahnya lebih banyak daripada orang dari dunia hitam. Hari-hari menunggu itu disebut hari “observasi”. Dan itu benar; kami diamati sepanjang waktu.
Suatu siang, aku duduk di bawah matahari ketika seorang lelaki mendatangiku. Dia kurus kecil dan mengenakan kacamata. Aku berusaha mengenali dari mana asalnya, tetapi sulit dalam seragam kami.
“Apa kau Papillon?”
“Ya, aku Papillon. Apa yang kau inginkan?”
“Datanglah ke toilet,” katanya dan pergi.
“Itu adalah kelompok Corsica,” kata Dega. “Kemungkinan bandit gunung. Apa yang dia inginkan?”
“Itulah yang akan kucari tahu.”
Aku pergi ke toilet di tengah-tengah lapangan dan berpura-pura kencing. Lelaki itu berdiri di sebelahku, dalam posisi yang sama. Tanpa melihatku, dia berkata, “Aku ipar Pascal Matra. Saat dia datang mengunjungiku, dia berkata kalau aku membutuhkan bantuan, aku bisa datang kepadamu dan menggunakan namanya.”
“Ya, Pascal adalah temanku. Apa yang kau inginkan?”
“Aku tidak bisa membawa-bawa plan-ku lagi. Aku kena disentri. Aku tidak tahu siapa yang bisa kupercayai dan aku takut seseorang akan mencurinya atau penjaga akan menemukannya. Tolonglah, Papillon, bawakan untukku selama beberapa hari.” Dan dia memperlihatkan sebuah plan yang lebih besar daripada milikku. Aku takut ini adalah jebakan, bahwa dia menanyakan ini untuk mencari tahu apakah aku punya satu. Jika aku memberi-tahunya bahwa aku tidak yakin bisa membawa dua sekaligus, dia akan tahu. Jadi, aku bertanya kepadanya dengan datar, “Berapa isinya?”
“Dua puluh lima ribu francs.”
Tanpa kata, aku mengambil plan-nya. Benda itu sangat bersih, dan di hadapannya, aku menjejalkannya ke dalam duburku, ber-tanya-tanya apakah mungkin seseorang membawa dua plan. Aku tidak tahu. Aku berdiri, memasang kembali celanaku ... rasanya biasa saja. Itu tidak menggangguku.
“Namaku Ignace Galgani,” katanya sebelum pergi. “Terima kasih, Papillon.”
Aku kembali kepada Dega dan memberitahunya apa yang terjadi.
“Tidak terlalu berat?”
“Tidak.”
“Baiklah kalau begitu.”
Kami berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang pernah melarikan diri sebelumnya, jika mungkin dengan Julot atau Le Guitto. Kami haus akan informasi: seperti apa di sana, bagaimana mereka memperlakukanmu, bagaimana menyimpan plan, dan lain-lain.
Bisa dibilang, kami mujur karena bertemu dengan sosok yang sangat tidak biasa. Dia orang Corsica yang lahir di bagne. Ayahnya adalah penjaga yang tinggal dengan istrinya di Iles du Salut. Dia lahir di Ile Royale, salah satu dari tiga pulau, dua lagi disebut Saint-Joseph dan Diable (Pulau Setan), dan—oh sungguh nasib!—dia akan kembali ke sana bukan sebagai anak penjaga, melainkan narapidana.
Dia dihukum dua belas tahun kerja paksa karena perampokan dan masuk secara paksa. Usianya sembilan belas tahun, berwajah jujur, dengan mata jernih yang cemerlang. Kami langsung bisa tahu bahwa dia adalah korban keadaan. Dia tahu sangat sedikit tentang dunia hitam, tetapi dia akan sangat berguna dalam memberi kami informasi tentang apa yang akan kami hadapi ke depannya. Dia memberi tahu kami tentang kehidupan di pulau tempatnya tinggal selama empat belas tahun. Misalnya, kami tahu orang yang merawatnya di kepulauan adalah seorang narapidana, gangster terkenal yang membunuh Butte dalam duel memperebutkan mata indah Casque d’Or.
Dia memberi kami beberapa nasihat tak ternilai: kami harus merencanakan pelarian kami dari Grande Terre. Akan mustahil melarikan diri jika kami melakukannya dari kepulauan. Kemudian, kami tidak boleh terdaftar sebagai narapidana berbahaya. Label tersebut akan membuat kami mendarat lebih cepat di Saint-Laurent-du-Maroni, tujuan kami, lalu diasingkan selama bertahun-tahun atau seumur hidup, tergantung seberapa berbahaya kami bagi mereka.
Secara umum, kurang dari lima persen tahanan diasingkan di pulau. Tahanan lainnya tinggal di Grande Terre. Pulau itu sehat, tetapi Grande Terre—seperti yang pernah Dega beri tahukan kepada kami—adalah tempat yang sangat jalang: semua jenis penyakit perlahan-lahan mengurangi jumlah narapidana, atau bertemu dengan berbagai bentuk kematian mendadak.
Kami berharap tidak akan diasingkan di pulau. Namun, aku merasa tenggorokanku tersekat. Bagaimana jika aku sudah dikategorikan sebagai tahanan berbahaya? Dengan hukuman se-umur hidupku, kejadian dengan Tribouillard dan direktur, aku tidak sepenuhnya aman.
Saint-Martin-de-Ré penuh sesak dengan narapidana. Ada dua kategori: sekitar seribu delapan ratus narapidana, dan sembilan ratus relégué. Untuk menjadi narapidana, kau harus melakukan sesuatu yang serius atau, paling tidak, dituduh telah melakukan sesuatu yang serius. Hukumannya berkisar antara tujuh tahun sampai seumur hidup kerja paksa. Atau diberikan penangguhan dari hukuman mati menjadi hukuman seumur hidup. Lain cerita-nya dengan relégué. Seseorang menjadi relégué setelah dua sampai lima kali hukuman.
Memang benar, mereka adalah para pencuri yang tidak bisa diperbaiki dan kau bisa memahami mengapa masyarakat harus melindungi diri. Di sisi lain, memalukan bagi manusia beradab untuk melakukan hukuman tambahan seperti ini. Para relégué adalah pencuri kelas teri—dan ceroboh, karena mereka sering sekali tertangkap—dan menjadi relégué di zamanku sama saja dengan hukuman seumur hidup. Tidak satu negara pun memiliki hak untuk membalas dengan mengeliminasi orang-orang hanya karena mereka menyebabkan kecemasan masyarakat. Seharusnya mereka disembuhkan alih-alih diberikan hukuman yang tidak manusiawi.
Kami sudah berada di Saint-Martin-de-Ré selama tujuh belas hari. Kami tahu nama kapal yang akan membawa kami ke bagne adalah La Martinière. Kapal itu akan membawa seribu delapan ratus tahanan. Sekitar delapan atau sembilan ratus tahanan ber-kumpul di halaman benteng. Kami sudah berdiri dalam sepuluh barisan selama sekitar satu jam, memenuhi halaman.
Sebuah pintu terbuka dan muncullah sekumpulan pria yang mengenakan pakaian yang berbeda dengan para penjaga. Mereka mengenakan seragam biru langit dengan potongan militer dan tampak sangat rapi dan gaya. Mereka bukan polisi dan mereka bukan prajurit. Semuanya mengenakan ikat pinggang lebar dengan sarung pistol tergantung dari sana; kami bisa melihat pegangan senjatanya. Ada sekitar delapan puluh orang. Beberapa dengan setrip-setrip di bagian lengan. Semuanya terbakar matahari dan tampak berusia antara tiga puluh lima sampai empat puluh tahun. Mereka yang lebih tua kelihatan simpatik; mereka yang lebih muda membusungkan dada dengan gaya sok penting.
Komandan kelompok itu didampingi Direktur Saint-Martin-de-Ré, seorang kolonel polisi, tiga atau empat dokter tentara da-lam pakaian kolonial, dan dua pendeta dalam jubah putih. Sang Kolonel Polisi menempatkan pengeras suara di depan mulutnya. Kami berharap akan mendengar “Perhatian!” tetapi bukan itu yang terjadi.
“Dengar baik-baik,” kata sang Kolonel. “Mulai saat ini, kalian semua berada dalam yurisdiksi pejabat Kementerian Kehakiman yang mewakili Administrasi Pidana Guyana Prancis, yang kantor administrasinya berada di Kota Cayenne. Sipir Barrot, saya serahkan delapan ratus narapidana yang ada dan terdaftar di sini. Dapatkah Anda menyatakan bahwa mereka semua hadir?”
Pengabsenan dimulai. “Si anu, hadir; si anu, hadir.” Semua itu menghabiskan waktu dua jam; segalanya sesuai prosedur.Kemudian, kami menyaksikan pertukaran tanda tangan antara kedua administrasi di sebuah meja kecil yang disiapkan untuk peristiwa tersebut.
Sipir Barrot (dia memiliki setrip sama banyaknya dengan Kolonel, walaupun miliknya berwarna-warni alih-alih perak) mengambil alih pengeras suara. “Transportee, mulai saat ini seperti itulah kalian akan dipanggil—Transportee anu, atau Transportee nomor sekian, apa pun yang diberikan kepada kalian. Mulai saat ini, kalian berada dalam undang-undang, peraturan, dan pengadilan internal khusus bagne yang, ketika digelar, akan membuat keputusan yang dirasa perlu. Pengadilan otonom ini dapat menghukum kalian, tergantung pelanggaran yang kalian lakukan di bagne, mulai dari hukuman penjara sederhana sampai hukuman mati. Hukuman disip-lin ini, entah penjara atau kurungan soliter, akan dilakukan di salah satu tempat milik Administrasi. Para polisi yang berada di hadapan kalian adalah para sipir. Saat kalian menyapa mereka, kalian harus memanggil dengan sebutan ‘Tuan Sipir’. Setelah makan malam, kalian akan menerima bungkusan biru laut berisi seragam bagne. Semua telah disiapkan; hanya inilah benda-benda yang akan kalian butuhkan. Besok, kalian akan berlayar ke La Martinière. Kita akan melakukan perjalanan ini bersama-sama. Jangan menyesal; kalian lebih baik berada di bagne daripada penjara di Prancis. Kalian bisa mengobrol, bermain kartu, menyanyi, merokok. Jangan cemas akan diperlakukan dengan buruk selama kalian berperilaku baik. Aku meminta kalian untuk menunggu sampai kalian berada di bagne untuk menyelesaikan masalah pribadi apa pun yang mungkin kalian miliki. Disiplin selama perjalanan harus sangat ketat dan aku yakin kalian mengerti kenapa. Kalau ada dari kalian yang merasa tidak sehat untuk melakukan perjalanan, pergilah ke klinik. Di sana, kalian akan diperiksa oleh kapten medis yang menemani konvoi ini. Semoga perjalanan kalian menyenangkan.”
Acara formal pun selesai.
“Jadi, Dega, bagaimana menurutmu?”
“Papillon temanku, kupikir aku benar saat memberitahumu bahwa bahaya paling besar datang dari tahanan lain. Apa yang dikatakannya soal ‘menunggu sampai kalian berada di bagne untuk menyelesaikan masalah pribadi apa pun’ sudah cukup jelas. Pastilah banyak pembunuhan!”
“Jangan cemaskan hal itu. Percaya saja kepadaku.”
Aku mencari François la Passe dan bertanya, “Apakah sauda-ramu masih menjadi perawat?”
“Ya, dia seorang relégué.”
“Pergilah cari dia sesegera mungkin dan minta dia untuk membe-rimu pisau bedah. Kalau dia mau uang, tanyakan berapa dan aku akan membayarnya.”
Dua jam kemudian, aku adalah pemilik pisau bedah dengan handel baja yang sangat kuat. Satu-satunya kelemahannya adalah, pisau itu terlalu panjang, tetapi itu senjata yang menakutkan.
Aku duduk di dekat kloset di tengah-tengah lapangan dan mengirim seseorang untuk mencari Galgani agar aku dapat me-ngembalikan plan-nya, tetapi pastilah sulit menemukannya dalam kerumunan delapan ratus orang yang terus bergerak di lapangan yang sangat besar. Kami belum melihat Julot, Le Guittou, ataupun Santini sejak kami tiba.
Keuntungan hidup dalam komunitas adalah kami tinggal, berbicara, dan menjadi bagian dari sebuah masyarakat baru, jika kau bisa menyebutnya masyarakat. Banyak hal yang bisa dikatakan, didengarkan, dan dilakukan hingga tidak ada waktu untuk berpikir. Saat aku menyadari betapa masa lalu telah memu-dar dan disimpan ke tempat kedua dalam hubungannya dengan kehidupanku sekarang, aku menyadari bahwa begitu kau tiba di bagne, kau mungkin akan melupakan siapa dirimu sebelumnya dan mengapa kau ada di sana karena kau hanya berkonsentrasi pada satu hal saja—melarikan diri. Namun, aku salah. Selama ini, hal yang paling menyedot perhatian adalah tetap hidup. Di mana para polisi, juri, para hakim, istriku, ayahku, teman-temanku? Mereka ada di sana, masih hidup, dan mereka semua memiliki tempat di hatiku. Namun, karena semangat akan berangkat, lom-patan tinggi menuju sesuatu yang tidak diketahui, teman-teman dan kenalan baru, orang-orang itu tidak lagi memiliki tempat pen-ting seperti sebelumnya. Namun, hanya rasanya saja demikian. Begitu aku menginginkannya, ketika otakku siap membuka laci tempat mereka berada, mereka akan kembali berada di sana.
Mereka membawakan Galgani kepadaku, yang, meski dengan kacamata tebalnya pun, hampir tidak bisa melihat. Dia kelihatannya sehat. Dia mendekatiku, dan tanpa berkata-kata, dia meremas tanganku.
“Aku ingin mengembalikan plan-mu,” ujarku. “Sekarang, karena kau sudah sehat, kau bisa membawanya sendiri. Terlalu banyak tanggung jawab untukku selama perjalanan ini, dan siapa yang tahu kapan kita akan bertemu lagi atau apakah kita bahkan akan bertemu lagi di bagne. Jadi, sebaiknya kau membawanya.”
Galgani tampak tidak senang.
“Mari. Ayo masuk toilet dan biarkan aku mengembalikan plan milikmu.”
“Tidak, aku tidak menginginkannya. Kau simpan saja. Aku memberikannya kepadamu sebagai hadiah. Itu milikmu.”
“Kenapa kau mengatakan itu?”
“Aku tidak ingin dibunuh karena plan itu. Aku lebih baik hidup tanpa uang daripada dibunuh karena uang. Aku memberikannya kepadamu karena, bagaimanapun, tidak ada gunanya mempertaruh-kan nyawamu demi mempertahankan uangku. Dengan cara ini, kalau kau mempertaruhkan nyawa, itu untuk kepentinganmu sendiri.”
“Kau ketakutan, Galgani. Apa ada orang yang mengancam-mu?”
“Ya. Tiga Arab membuntutiku sepanjang waktu. Aku tidak datang menemuimu karena aku tidak mau mereka mencurigai kita bekerja sama. Setiap kali aku pergi ke toilet, siang atau malam, salah satu orang itu datang dan berdiri di dekatku. Aku berusaha menjelaskan bahwa aku tidak punya plan—tanpa membesar-besarkannya—tapi mereka terus mengawasiku. Aku yakin mereka pikir seseorang menyimpannya. Tidak tahu siapa mereka, tapi mereka mengikutiku ke mana pun untuk mengetahui apakah aku mendapatkannya kembali.”
Kutatap Galgani dan menyadari bahwa dia sangat ketakutan. Aku bertanya, “Mereka berkumpul di bagian lapangan sebelah mana?”
“Dekat dapur dan tempat cuci.”
“Baiklah. Kau diam di sini dan aku akan pergi .... Tidak, kau ikut denganku.” Aku mengeluarkan pisau bedah dari dalam topiku dan menyembunyikan bilahnya di lengan baju kananku, tanganku menggenggam pegangannya. Kami segera menemukan mereka. Kelompok itu berisi empat orang, tiga Arab dan seorang Corsica bernama Girando. Aku segera mengerti: si Corsica dileceh-kan orang-orang dunia hitam dan mengadu kepada orang-orang Arab. Dia pasti tahu Galgani adalah ipar Pascal Matra dan bisa dipastikan memiliki plan.
“Bagaimana kabarmu, Mokrana?”
“Baik, Papillon. Bagaimana denganmu?”
“Tidak terlalu baik. Aku datang untuk memberitahumu bahwa Galgani adalah temanku. Kalau sesuatu terjadi kepadanya, orang pertama yang akan kucari adalah kau, Girando. Yang lainnya mengikuti. Terserah kau.”
Mokrana berdiri. Tingginya hampir sama denganku—hampir seratus delapan puluh sentimeter—dan sama lebarnya. Dia siap berkelahi, tetapi aku mengeluarkan pisauku, baru dan mengilap. Aku menaruhnya di telapak tanganku dan berkata, “Kalau kau bergerak, aku akan membunuhmu seperti anjing.”
Dia kaget karena aku memiliki senjata, mengingat kami diperiksa terus-menerus. Dan, terkesan dengan ketenanganku, belum lagi panjang pisau bedah itu, dia berkata, “Aku hanya ber-diri untuk berbicara, bukan berkelahi.”
Aku tahu itu tidak benar, tetapi karena tujuanku adalah menolongnya menyelamatkan muka di hadapan teman-temannya, aku memberinya jalan keluar yang mudah.
“Baiklah, karena kau berdiri untuk bicara ....”
“Aku tidak tahu Galgani temanmu. Kupikir dia amatir. Kau tahu seperti apa, Papillon, semua orang mencuri darimu di sini dan kau harus punya uang untuk cavale.”
“Oke, cukup adil. Kau punya hak untuk memperjuangkan hidupmu, Mokrana. Hanya saja, ingatlah, ini wilayah terlarang. Cari di tempat lain.”
Dia mengulurkan tangan dan aku menjabatnya. Tuhan, ham-pir saja. Jika aku benar-benar membunuh orang ini, aku yakin aku tidak akan berlayar ke mana pun besok.
Galgani berjalan kembali denganku. Aku berkata kepadanya, “Jangan beri tahu siapa pun soal ini. Aku tidak mau bermasalah dengan Papa Dega.” Aku berusaha membujuk Galgani untuk mengambil kembali plan-nya dan dia berkata, “Besok, sebelum kita pergi.” Namun, keesokan harinya, dia menyembunyikan diri dengan sangat baik hingga aku harus pergi ke bagne dengan kedua plan.
Malam itu, tak seorang pun berbicara di sel kami. Itu hari terakhir kami di tanah Prancis. Kami merasakan nostalgia kecil karena harus meninggalkan Prancis selamanya, menuju tanah tak dikenal dan cara hidup yang tidak diketahui.
Sepuluh dari sebelas orang dalam sel kami berasal dari dunia hitam, semua kecuali si bocah Corsica yang lahir di bagne. Semua orang ini berada dalam penangguhan, terpaksa hening karena gravitasi dan pentingnya momen itu. Asap rokok mengepul dari dalam sel ke koridor, dan kau harus duduk di bawah awan asap agar matamu tidak perih.
Sebuah film tentang kehidupanku terbentang di hadapanku: masa kecilku dalam keluarga yang penuh cinta—berpendidikan, sopan, mulia; bunga-bunga di ladang, desir sungai, rasa kacang, persik, dan prem yang dipanen di kebun kami; aroma mimosa yang mekar di pintu depan kami setiap musim semi; di bagian luar rumah kami, dan bagian dalamnya, penuh gerak-gerik istimewa keluargaku—semuanya mengisi benakku. Itu adalah film dengan suara: aku mendengar suara ibuku yang malang, yang sangat mencintaiku, kemudian ayahku—selalu lembut dan penyayang; gonggongan Clara (anjing betina penunjuk jalan ayahku) yang memanggilku dari kebun agar keluar dan bermain; anak-anak yang bermain denganku selama hari-hari paling bahagia dalam hidupku.
Aku tidak meminta untuk menonton film ini. Itu adalah proyeksi lentera ajaib yang dinyalakan oleh alam bawah sadarku, mengisi emosi malam ini, malam saat aku menunggu lompatan menuju ketidaktahuan yang besar.
Saatnya melakukan pemeriksaan. Aku dua puluh enam ta-hun, dalam kesehatan prima. Dalam ususku, ada uang lima ribu enam ratus francs milikku dan dua puluh lima ribu francs milik Galgani. Dega, di sebelahku, punya sepuluh ribu. Kurasa aku bisa menghitungnya jadi empat puluh ribu francs, karena jika Galgani tidak mampu mempertahankan uangnya di sini, akan lebih sulit di perahu, apalagi di Guyana. Dan dia mengetahuinya. Itu sebab-nya dia tidak datang mengambil kembali uangnya. Jadi, aku bisa mengandalkan uang ini, dan itu artinya Galgani bersamaku. Itu uangnya, dia tentu harus mendapatkan keuntungan juga. Aku akan menggunakannya demi kebaikan dia, walaupun secara tidak langsung aku juga akan diuntungkan. Empat puluh ribu francs sangat banyak; akan mudah membeli kaki tangan dengan uang tersebut—tahanan, narapidana yang melarikan diri, juga para penjaga.