MELARIKAN DIRI DARI RUMAH SAKIT
Malam itu aku mengajak Dega berbicara, lalu Fernandez. Dega berkata dia tidak yakin terhadap rencana tersebut, tetapi dia akan membayar berapa pun demi melepaskan status tahanan diasing-kan. Dia memintaku menyurati Sierra, memberi tahu lelaki itu segala hal yang telah disarankan dan meminta pendapat apakah semua itu mungkin untuk dilakukan. Pada hari yang sama, Chatal memberikan jawabannya: “Jangan membayar siapa pun untuk melepaskan status tahanan diasingkan. Itu harus datang langsung dari Prancis, dan tidak seorang pun, bahkan direktur penjara, bisa melakukannya. Kalau kau putus asa, kau bisa berusaha melarikan diri, tapi hanya sehari setelah kapal—Mana—pergi ke pulau.”
Kami memiliki waktu delapan hari sebelum berangkat ke pulau, dan aku mulai berpikir bahwa akan lebih baik melarikan diri dari sana daripada dari kamar kami di rumah sakit. Dalam surat yang sama, Sierra berkata jika aku mau, dia bisa mengirim seorang tahanan yang sudah dibebaskan untuk berbicara dengan-ku dan membantuku menyiapkan kapal di belakang rumah sakit. Dia dari Toulouse, namanya Jésus, dan dia pernah menyiapkan pelarian diri Dr. Bougrat dua tahun lalu. Jika ingin bertemu dengannya, aku harus melakukan pemotretan sinar X di gedung lain. Tempat ini dibangun menyatu ke dinding rumah sakit; para libéré diberi akses masuk palsu.
Dia memperingatkanku sebelum difoto sinar X, aku harus mengeluarkan plan-ku, karena dokter mungkin akan melihatnya jika dia mengambil foto di bawah paru-paruku. Aku mengirim surat kepada Sierra, menyuruhnya mengirim Jésus untuk foto sinar X dan bekerja sama dengan Chatal untuk mengirimku juga. Malam itu juga, Sierra memberitahuku bahwa itu akan dilakukan lusa, pukul sembilan.
Keesokan harinya, Dega dan Fernandez diminta untuk me-ninggalkan rumah sakit. Mana telah berlayar pagi itu. Mereka berharap bisa melarikan diri dari sel mereka di kamp. Aku ber-harap mereka mujur; rencanaku tidak berubah.
Aku bertemu Jésus. Dia seorang libéré tua, sekering ikan asap, dengan dua bekas luka melintang di wajahnya yang keriput. Satu mata yang terus berair. Wajahnya buruk rupa dan ekspresinya juga. Dia tidak membuatku merasa ingin memercayainya, dan kelak aku membuktikan bahwa aku benar. Kami berbicara cepat-cepat.
“Aku bisa menyediakan sebuah perahu untuk empat atau paling banyak lima orang. Satu tong air, makanan, kopi, dan tembakau. Tiga dayung, karung tepung kosong, jarum dan benang untuk membuat layar utama dan sebuah layar topang. Sebuah kompas, kapak, pisau, lima liter rum. Semuanya dua ribu lima ratus francs. Tidak akan ada bulan dalam tiga hari. Kita akan mulai pada hari keempat, kalau kau setuju. Aku akan menunggumu di perahu setiap malam selama delapan hari dari pukul sebelas sampai pukul tiga pagi. Begitu bulan memperlihat-kan kuartal pertama, aku akan berhenti menunggu. Perahu itu akan ditempatkan di seberang belokan dinding rumah sakit. Pandu dirimu sendiri dengan meraba-raba dinding, karena kau tidak akan bisa melihatnya walaupun jaraknya cuma dua meter.”
Aku tidak memercayainya, tetapi aku tetap berkata ya.
“Bagaimana dengan uangnya?” tanya Jésus.
“Aku akan mengirimnya lewat Sierra.”
Kami berpisah tanpa berjabat tangan. Bukan awal yang baik.
Pukul tiga, Chatal pergi ke kamp untuk menyerahkan uang kepada Sierra: dua ribu lima ratus francs. Berkat Galgani, aku punya uang untuk dipertaruhkan, dan ini berisiko. Asalkan dia tidak menghabiskan semuanya hanya untuk rum.
Clousiot bersemangat; dia sangat yakin—kepada dirinya sendiri, kepadaku, dan kepada proyek ini. Hanya satu hal yang mengganggunya: orang Arab itu tidak datang setiap malam, dan saat datang, biasanya pada waktu yang lebih awal. Kemudian, ada masalah lain: siapa yang akan dipilih untuk menjadi orang ketiga?
Ada orang Corsica dari dunia hitam Nice bernama Biaggi. Dia sudah di bagne sejak 1929 dan sekarang berada dalam bangsal dengan keamanan maksimal karena dicurigai telah membunuh seorang pria. Clousiot dan aku mendiskusikan apakah kami harus berbicara dengannya dan kapan.
Sementara kami mengobrol, seorang pemuda delapan belas tahun menghampiri kami. Dia secantik anak perempuan. Namanya Maturette dan dihukum mati karena membunuh sopir taksi, kemu-dian mendapatkan penangguhan hukuman karena usianya—saat itu, tujuh belas tahun. Ada dua orang—enam belas dan tujuh belas tahun—dan saat mereka muncul di pengadilan, keduanya menyatakan bahwa dia memang membunuh si pengemudi taksi. Namun, sopir itu hanya terkena satu peluru. Tindak-tanduk mereka di pengadilanlah yang telah menimbulkan simpati para tahanan.
Maturette mendekati kami dan dengan suaranya yang seperti perempuan, meminta api. Kami memberinya dan aku melempar hadiah empat sigaret serta sekotak korek api. Dia berterima kasih dengan senyuman menggoda dan kami membiarkannya pergi.
Mendadak Clousiot berkata, “Papi, kita diselamatkan. Aku tahu cara membuat orang Arab itu ke sini sesering dan kapan pun kita suka. Anak itu.”
“Bagaimana bisa?”
“Mudah saja. Kita minta anak itu, Maturette, agar membuat si orang Arab jatuh cinta kepadanya. Orang Arab suka anak lela-ki, kau tahu. Pasti si Arab itu mau dengannya. Bocah itu tinggal berpura-pura ketakutan, dan kita bisa membuat si Arab datang pada saat kita menginginkannya.”
“Ayo kita coba.”
Aku mendekati Maturette, dia menerimaku dengan senyuman menggoda. Dia pikir aku berhasil membuatku terangsang dengan senyuman pertama. Aku langsung berkata, “Aku hanya ingin ber-bicara denganmu. Ayo ke toilet.”
Kami masuk dan aku berkata, “Kalau kau membocorkan satu kata pun tentang hal yang akan kukatakan, kau mati. Begini.” Aku memberitahukan rencanaku kepadanya dan bertanya berapa banyak uang yang dia inginkan, atau apakah dia ingin melarikan diri bersama kami.
“Aku ingin melarikan diri dengamu.”
Setuju. Kami berjabat tangan.
Dia pergi tidur, dan setelah mengobrol beberapa saat dengan Clousiot, aku juga tidur. Keesokan malamnya, pukul delapan, Maturette duduk di samping jendela. Orang Arab itu tidak perlu dipanggil. Dia datang sendiri dan mereka bercakap-cakap dalam suara rendah. Pukul sepuluh, Maturette tidur.
Kami berbaring di ranjang dengan sebelah mata terbuka se-jak pukul sembilan. Si Arab masuk kamar, berkeliling dua kali, menemukan satu orang mati. Dia mengetuk pintu, dan tak berapa lama kemudian dua pembawa tandu masuk dan membawa mayat itu. Mayat-mayat ternyata berguna untuk memberi alasan seringnya kunjungan si Arab pada pukul berapa pun pada malam hari. Mengikuti saran kami, Maturette membuat janji temu keesokan harinya pukul sebelas. Si turnkey datang tepat waktu, melewati tempat tidur anak itu dan menarik kakinya untuk membangunkannya, lalu pergi ke toilet. Maturette mengikuti. Lima belas menit kemudian, si turnkey keluar, langsung ke pintu dan pergi. Pada saat bersamaan, Maturette kembali ke tempat tidurnya tanpa berkata-kata.
Hal yang sama kembali berlangsung keesokan harinya, tetapi pada tengah malam. Semuanya berjalan lancar, nyaris seperti mimpi. Si Arab datang kapan pun anak lelaki itu memintanya.
Pukul empat sore pada 27 November 1913, dengan dua kaki tempat tidur siap digunakan sebagai pemukul, aku menunggu pesan dari Sierra. Chatal si perawat muncul, tetapi tanpa surat. Dia hanya berkata, “François Sierra menyuruhku memberitahumu bahwa Jésus sudah menunggu di tempat yang telah ditentukan. Semoga beruntung.”
Pukul delapan malam harinya, Maturette berkata kepada si Arab, “Datanglah setelah tengah malam agar kita bisa berduaan lebih lama.”
Si Arab berkata dia akan melakukannya. Tepat tengah malam, kami sudah siap. Si Arab datang pukul dua belas seperempat, langsung ke tempat tidur Maturette, menarik kakinya, lalu pergi ke toilet. Maturette mengikutinya. Aku menarik kaki ranjang dan membuat suara berkelontang saat benda itu terjatuh. Clousiot tidak mengeluarkan suara saat menarik kaki ranjangnya. Aku berdiri di balik pintu dan Clousiot akan berjalan menuju si Arab demi menarik perhatiannya. Setelah menunggu dua puluh menit, semua berlangsung sangat cepat. Si Arab keluar dari toilet dan, terkejut melihat Clousiot, berkata, “Apa yang kau lakukan di tengah-tengah kamar pukul segini? Kembali ke tempat tidur.”
Kemudian, aku memukul kepalanya dan dia jatuh tanpa suara. Aku buru-buru memakai seragam dan sepatunya. Kami menyeretnya ke kolong tempat tidur dan persis sebelum kami benar-benar mendorongnya ke bawah, aku memukul bagian belakang lehernya sekali lagi. Sekarang, dia benar-benar pingsan.
Tak seorang pun orang di ruangan itu terganggu. Aku lang-sung pergi ke pintu, diikuti Clousiot dan Maturette, keduanya dalam jubah rumah sakit mereka. Aku mengetuk pintu, seorang penjaga membukanya, dan aku langsung mengayunkan kaki besi-ku ke kepalanya. Seorang penjaga lain melihat kami menjatuhkan karabinnya; sepertinya dia tadi tertidur. Sebelum dia sempat be-reaksi, aku memukulnya. Tidak satu pun penjaga yang kupukul bersuara, tetapi penjaga yang dipukul Clousiot berseru, “Ah!” sebelum jatuh ke lantai.
Kedua penjaga yang kupukul masih di kursi mereka, yang ketiga telentang kaku. Kami menahan napas. Bagi kami, suara “Ah!” itu terdengar oleh seluruh dunia. Suara itu cukup keras, tetapi tidak seorang pun bergerak.
Kami meninggalkan mereka di tempat mereka terjatuh dan mengambil ketiga senapan mesin milik mereka. Clousiot berjalan paling depan, si bocah di tengah-tengah, dan aku terakhir. Kami berlari menuruni undakan yang bercahaya temaram. Clousiot meninggalkan kaki ranjangnya; aku memegangnya di tangan kiri, senapan di tangan kanan.
Di bawah, tidak ada apa pun. Sekeliling kami segelap tinta. Kami harus membuka mata lebar-lebar untuk mencari dinding di dekat sungai. Kami bergerak secepat mungkin. Begitu sampai di tembok, aku membuat sandaran kaki dengan tanganku. Clousiot memanjat, mengangkang di tembok, menarik Maturette naik, lalu aku.
Kami meluncur ke sisi lain. Clousiot jatuh ke sebuah lubang dan membuat kakinya terluka. Maturette dan aku berhasil mendarat tanpa masalah. Kami berdua bangkit, meninggalkan senapan sebelum meloncat. Namun, saat Clousiot berusaha berdiri, dia tidak bisa. Katanya kakinya patah. Aku menyuruh Maturette menemani Clousiot dan berlari ke belokan tembok, meraba-rabanya dengan tangan. Begitu gelap, hingga aku tidak bisa melihat saat aku sampai di ujung tembok, dan saat tanganku terus meraba-raba, aku jatuh terjerembap. Di sungai, aku mende-ngar sebuah suara:
“Apa itu kau?”
“Ya. Jésus?”
“Ya.”
Dia menyalakan korek api. Aku melangkah ke air dan menyeberang ke arahnya. Ada dua orang.
“Kau masuk dulu. Siapa kau?”
“Papillon.”
“Oke.”
“Kita harus kembali ke atas. Kaki temanku patah saat meloncat dari tembok.”
“Kalau begitu, ambil ini dan dayunglah.”
Tiga dayung masuk air dan perahu itu dengan cepat bergerak sekitar sembilan puluh meter ke lokasi yang kupikir merupakan tempat mereka berada—karena kami tidak bisa melihat apa pun. Aku berseru, “Clousiot!”
“Demi Tuhan, jangan bersuara! L’Enflé, gunakan korekmu!” Beberapa bunga api terbang; mereka terlihat. Clousiot bersiul di antara giginya—siulan khas Lyon, tidak lantang, tetapi kau bisa mendengarnya dengan jelas, seperti desisan ular. Dia terus bersiul sampai kami sejajar.
L’Enflé keluar dari perahu, menjemput Clousiot, dan menem-patkannya di perahu. Kemudian, Maturette memanjat masuk dan akhirnya L’Enflé. Kami berlima, dan air setinggi dua jari di bibir perahu.
“Tidak seorang pun bergerak tanpa memberi tahu,” kata Jésus. “Papillon, berhenti mendayung; taruh dayungmu di dekat lutut. Ayo berangkat, L’Enflé!”
Dibantu arus, perahu melaju dalam malam. Sembilan ratus me-ter ke bawah, kami melewati penjara. Kami berada di tengah-tengah sungai dan arus membawa kami dalam kecepatan menakjubkan. L’Enflé berhenti mendayung. Jésus menyeimbangkan perahu, pe-gangan dayungnya menempel di paha—tidak mendayung, hanya mengemudi.
Kemudian, Jésus berkata, “Sekarang kita boleh merokok. Kurasa ini berjalan dengan baik. Kau yakin kau tidak membunuh siapa pun?”
“Kurasa tidak.”
“Sialan! Kau menjebakku, Jésus?” kata L’Enflé. Kau bilang ini cuma cavale biasa. Sekarang tampaknya ini adalah cavale tahanan yang diasingkan.”
“Memang benar mereka tahanan yang diasingkan. Aku tidak memberitahumu karena kau tidak akan membantuku, L’Enflé, dan aku harus mencari orang lain. Santai. Kalau kita tertangkap, akulah yang akan disalahkan.”
“Sebaiknya begitu, Jésus. Untuk seratus francs yang kau ba-yarkan kepadaku, aku tidak akan mempertaruhkan leherku kalau seseorang sampai terbunuh atau terluka.”
Aku berkata, “L’Enflé, aku akan memberi kalian hadiah seribu francs untuk berdua.”
“Kalau begitu baiklah, Mec14. Itu cukup adil. Terima kasih. Kami di desa sekarat karena kelaparan. Dibebaskan lebih buruk daripada di penjara. Setidaknya kau dapat makanan dan pakaian setiap hari di penjara.”
“Mec,” tanya Jésus kepada Clousiot, “apa lukamu parah?”
“Tidak juga,” kata Clousiot. “Tapi, bagaimana kita bisa ber-hasil dengan kakiku yang patah, Papillon?”
“Kita lihat nanti. Kita mau pergi ke mana, Jésus?”
“Aku akan menyembunyikan kalian di teluk kecil sekitar sembilan belas kilometer dari mulut sungai. Kalian harus tinggal di sana selama delapan hari sampai para penjaga dan pemburu menyerah mencari. Kalian ingin mereka mengira bahwa kalian pergi ke Maroni dan langsung ke laut pada malam yang sama. Para pemburu akan menggunakan perahu tanpa mesin. Api, obrolan, ataupun batuk akan fatal kalau mereka ada di dekat kalian. Para penjaga menggunakan perahu mesin; benda itu ter-lalu besar untuk teluk kecil itu—mereka akan karam.”
Malam semakin terang. Hampir pukul empat pagi ketika, setelah pencarian panjang, kami akhirnya sampai ke tempat per-sembunyian yang hanya diketahui oleh Jésus. Kami benar-benar berada di semak belukar. Perahu meratakan semak-semak pendek, tetapi setelah melewatinya, semak itu kembali lurus, menyediakan pelindung tebal. Dibutuhkan seorang penyihir untuk mengetahui bahwa di sini ada cukup air untuk mengapungkan perahu. Kami memasuki teluk kecil, kemudian menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk menembus semak dan memisahkan cabang-cabang yang menghalangi jalan.
Mendadak, kami berada di semacam kanal dan kami pun ber-henti. Bantaran sungai rapi dan hijau dan pepohonannya tinggi, daun-daunnya begitu tebal sehingga cahaya matahari—saat ini pukul enam pagi—tidak dapat menembusnya. Ribuan hewan liar yang tidak pernah kami dengar tinggal dalam kanopi dedaunan yang luar biasa ini.
Jésus berkata, “Di sinilah kalian akan tinggal selama delapan hari. Pada hari ketujuh, aku akan datang dan membawakan perlengkapan.” Dia mengurai tumbuhan-tumbuhan tebal dan mengeluarkan sampan kecil dari batang pohon sepanjang satu koma delapan meter. Ada dua dayung di dalamnya. Itu adalah sampan yang akan dipakainya kembali ke Saint-Laurent pada saat pasang.
Waktunya melakukan sesuatu untuk Clousiot yang berbaring di bantaran sungai. Dia masih mengenakan jubah rumah sakit dan kakinya telanjang. Dengan kapak, kami memotong ranting-ranting kering untuk membuat bidai. L’Enflé menarik kakinya dan Clousiot bersimbah keringat. Tiba-tiba dia berkata, “Berhenti! Rasanya sudah tidak terlalu sakit. Tulangnya pasti sudah kembali ke tempatnya.”
Kami menyusun bidai dan mengikatnya dengan tali rami baru yang kami temukan di perahu. Rasa sakitnya berkurang. Jésus membawakan empat pasang celana, empat kemeja, dan empat sweter wol yang tadinya diperuntukkan bagi para relégué.
Maturette dan Clousiot memakainya; aku tetap dalam pakai-an si orang Arab. Kami meminum rum. Itu adalah botol kedua kami sejak keberangkatan. Minuman itu menghangatkan kami. Nyamuk menyerang tanpa ampun, memaksa kami mengorbankan sebungkus tembakau. Kami merendamnya dalam botol air dan mengoleskan air nikotin ke wajah, tangan, dan kaki kami. Sweter wol menghangatkan kami dalam kelembapan yang menggigilkan.
L’Enflé berkata, “Kami pergi. Mana uang seribu francs yang kau janjikan?” Aku pergi sebentar dan kembali dengan selembar uang seribu francs yang baru.
“Sampai jumpa. Jangan pindah dari sini selama delapan hari,” kata Jésus. “Kami akan kembali pada hari ketujuh. Pada hari kedelapan, pergilah ke laut. Sementara kalian menunggu, buatlah kain layar, layar topang, dan siapkan perahu. Letakkan segala sesuatu di tempatnya, perbaiki jarum kemudi dan susun di belakang. Kalau kami belum kembali juga dalam sepuluh hari, itu berarti kami telah ditangkap. Ada harga yang harus dibayar karena kau menyerang penjaga-penjaga itu.”
Kemudian, Clousiot berkata dia tidak meninggalkan sena-pan mesin yang dirampasnya di tanah dekat tembok. Dia melem-parkannya ke balik tembok dan ternyata sungai sangatlah dekat—yang belum dia ketahui sebelumnya, jadi benda itu pastilah jatuh ke air. Jésus bilang itu bagus, karena jika tidak ditemukan, para pemburu manusia itu akan mengira kami bersenjata. Kini, kami bisa bersantai sejenak; mereka hanya bersenjatakan revolver dan golok, dan jika mereka pikir kami punya senjata mesin, mereka tidak akan jauh-jauh mencari kami. Yah, sampai jumpa. Jika kami ditemukan dan harus meninggalkan perahu, kami tinggal mengikuti teluk ke hulu hingga kami menemukan tanah kering.
Kemudian, dengan bantuan kompas, kami akan terus ke utara. Ada peluang baik setelah dua atau tiga hari, kami akan sampai ke kamp kematian bernama Charvein. Begitu sampai di sana, kami harus menyuap seseorang untuk memberi tahu Jésus di mana kami berada.
Dua penjahat tua itu pergi. Beberapa menit kemudian, sampan mereka sudah menghilang. Kami tidak mendengar apa pun, melihat apa pun.
Siang hari menerangi hutan semak dengan cara yang aneh. Seakan-akan kami berada di gang beratap tempat cahaya matahari sampai ke puncaknya, tetapi tidak membiarkan sinarnya masuk ke bawah. Rasanya mulai panas. Dan, kami sendirian. Refleks pertama kami adalah tertawa—peristiwa barusan berlangsung ce-pat sekali. Satu-satunya ketidaknyamanan adalah kaki Clousiot. Namun, dia berkata dengan bantuan bidai itu, dia akan baik-baik saja. Dia ingin kami membuat kopi dan kami melakukannya dengan cepat. Kami membuat api dan masing-masing meminum segelas kopi hitam dengan gula cokelat. Rasanya enak. Kami menghabiskan begitu banyak energi sejak malam sebelumnya hingga aku tidak punya tenaga untuk memeriksa perlengkapan kami ataupun perahu. Itu bisa dilakukan nanti.
Kami bebas, bebas, bebas.
Kami sampai di bagne tepat tiga puluh tujuh hari lalu. Jika cavale berhasil, hukuman seumur hidupku tidak akan terlalu pan-jang. Aku berkata, “Bapak Ketua, berapa lama hukuman kerja paksa di Prancis berlangsung?” Kemudian, aku meledak dalam tawa. Maturette yang juga mendapatkan hukuman seumur hidup ikut tertawa.
Clousiot berkata, “Jangan senang dulu. Colombia masih jauh, dan bagiku perahu ini tidak kelihatan cocok untuk diajak berlayar di lautan.”
Aku tidak menjawab karena hingga menit-menit terakhir, aku berpikir perahu ini hanya akan membawa kami ke perahu sebenarnya yang akan kami gunakan untuk kabur. Saat aku me-nyadari bahwa dugaanku salah, aku tidak berani mengatakan apa pun karena takut membuat teman-temanku marah. Lagi pula, karena Jésus tampaknya menganggap perahu ini normal, aku tidak mau memberi kesan bahwa aku tidak tahu jenis perahu seperti apa yang biasanya dipakai untuk kabur.
Kami menghabiskan hari pertama dengan bercakap-cakap dan membiasakan diri dengan tempat baru ini, hutan semak. Monyet-monyet dan spesies tupai kecil berjumpalitan di atas kami. Sekawanan babi kecil datang untuk mandi dan minum di teluk. Setidaknya, pastilah ada dua ribu ekor babi. Mereka turun ke teluk dan berenang, mematahkan akar-akar yang menggantung.
Seekor buaya muncul entah dari mana dan menangkap kaki salah satu babi itu. Ia mulai memekik seperti jiwa yang tersesat, dan babi-babi lain menyerang buaya tersebut, naik ke tubuhnya dan berusaha menggigit sudut-sudut mulutnya yang besar. De-ngan setiap sentakan ekornya, buaya itu membuat seekor babi melayang terbang. Salah satunya terbunuh dan mengapung di permukaan air dalam posisi menelentang. Kawan-kawan si buaya segera memakannya. Teluk itu penuh darah. Pemandangan itu berlangsung dua puluh menit, hingga si buaya menghilang ke dalam air. Kami tidak pernah melihatnya lagi.
Kami tidur nyenyak dan pagi harinya kami membuat kopi. Aku menanggalkan sweterku dan mencucinya dengan sepotong besar sabun Marseilles yang kutemukan di perahu. Maturette mencukur kasar janggutku dengan pisau bedah, lalu Clousiot. Maturette sendiri tidak berjanggut. Saat aku mengangkat sweterku dan memakainya lagi, seekor laba-laba hitam-violet jatuh. Hewan itu diselimuti rambut-rambut panjang yang memiliki bola-bola platina di ujungnya. Setidaknya hewan itu seberat setengah kilo-gram. Aku menginjaknya dengan jijik.
Kami mengosongkan perahu, termasuk tong air. Airnya berwarna ungu. Jésus pastilah mencampurkan terlalu banyak per-manganat15 untuk menjaganya agar tidak rusak. Kami menemukan korek api dan pemantiknya dalam botol-botol yang tertutup rapat. Kompasnya tidak lebih baik daripada milik anak-anak; benda itu hanya menunjukkan utara, selatan, timur, dan barat, dan tidak memperlihatkan apa pun di antaranya. Karena tiang perahu hanya setinggi dua meter, kami menjahit karung terigu dalam bentuk rekstok dengan tali di sekeliling ujungnya sebagai pusat kekuatan. Aku membuat layar topang kecil berbentuk segitiga sama kaki. Itu akan membantu kami menunjuk angin.
Saat kami siap memasang tiang perahu, aku melihat dasar perahu tidak solid: lubang untuk tiang perahu sudah usang. Saat aku memasukkan sekrup untuk pin yang seharusnya menyokong kemudi, benda itu langsung tembus—kayunya lembek seperti mentega. Perahu ini membusuk. Si Jésus keparat itu mengirim kami ke liang lahat. Dengan enggan, aku meminta yang lain ikut memeriksa; aku tidak punya hak menyembunyikan itu dari mereka. Apa yang harus kami lakukan? Saat Jésus kembali, kami akan membuatnya mencarikan perahu yang lebih baik. Kami akan melucutinya, lalu aku, bersenjatakan pisau dan kapak, akan pergi dengannya ke desa untuk mencari perahu lain.
Hal itu sangat berisiko, tetapi tidak lebih buruk jika berlayar di dalam peti mati ini. Setidaknya kami punya cukup makanan: sebotol besar minyak dan kotak-kotak tepung terigu serta tapioka. Dengan itu, kami bisa pergi jauh.
Pagi ini, kami menyaksikan pemandangan aneh: segerombol-an monyet berwajah kelabu mementaskan pertempuran melawan monyet berambut hitam. Sementara perkelahian terjadi, kepala Maturette tertimpa sepotong ranting dan kepalanya benjol sebe-sar kacang.
Kami sudah di sini lima hari empat malam. Hujan turun de-ras sekali malam ini. Kami membuat perlindungan dengan daun-daun pisang. Air mengalir di atas permukaannya yang licin dan tubuh kami tetap kering kecuali kaki. Pagi ini, saat meminum kopi, aku memikirkan Jésus dan betapa berengsek dirinya. Mengambil keuntungan dari ketidaktahuan kami dan memberikan perahu sampah ini! Demi lima ratus ataupun seribu francs, dia akan mengirim tiga pria menuju kematian yang pasti. Aku bertanya-tanya apakah setelah aku membuatnya memberi kami perahu lain aku tidak usah membunuhnya.
Jeritan burung jay mengejutkan dunia kecil kami—pekikan yang tajam dan begitu mengerikan hingga aku menyuruh Maturette mengambil kapak dan mencari tahu apa yang terjadi. Dia kembali lima menit kemudian dan memintaku mengikutinya. Kami datang ke sebuah tempat sejauh seratus tiga puluh meter, dan di sana, tergantung di udara, ada seekor burung pegar atau semacam unggas air yang besarnya dua kali lipat ayam jantan besar. Hewan itu terkena laso dan cakarnya tergantung di sebuah dahan. Dengan satu sabetan golok, aku memotong le-hernya demi menghentikan suara yang memekakkan telinga itu. Aku memperkirakan beratnya sekitar enam kilogram. Kami memutuskan untuk memakannya, tetapi kemudian baru terpikir bahwa perangkap itu pastilah telah dipasang oleh seseorang dan mungkin saja ada lebih dari satu.
Kami pergi untuk mencari tahu dan menemukan hal aneh: palang setinggi tiga puluh sentimeter terbuat dari dedaunan dan sulur menjalar yang dianyam, sekitar sembilan meter dari teluk dan sejajar dengan air. Di sana sini ada pintu, dan di pintu itu, tersamarkan oleh ranting-ranting, ada laso dari benang kuningan, menempel ke sisi lain dahan yang ditekuk ke bawah. Aku membayangkan hewan itu berlari ke palang, kemudian berjalan menyusurinya, mencari pintu. Saat dia menemukan pintu, dia melewatinya, tetapi cakarnya menyenggol benang kuningan yang akan membuat dahan itu kembali terlontar. Hewan itu akan tergantung di udara sampai pemilik jebakan datang mengambilnya.
Penemuan itu sungguh mengganggu. Palang tersebut tampak dipelihara dengan baik dan tampak baru; kami bisa ditemukan. Kami tidak boleh membuat api pada siang hari, hanya saat malam ketika si pemburu tidak akan mendatangi jebakannya. Kami memutuskan membuat giliran jaga untuk mengawasinya. Kami menyembunyikan perahu di bawah cabang-cabang dan me-rahasiakan letak persediaan makanan kami di semak-semak.
Keesokan harinya, pukul sepuluh, adalah giliran jagaku. Se-malam, kami sudah memakan burung pegar, atau apa pun itu. Kaldunya lezat sekali dan dagingnya, walaupun hanya direbus, sangat enak. Kami makan dua mangkuk penuh masing-masing.
Jadi, di sanalah aku, seharusnya berjaga, tetapi aku malah terpaku melihat semut tapioka hitam besar, masing-masing mem-bawa sepotong besar daun menuju bukit semut besar. Panjang semut-semut itu lebih dari enam milimeter dan berdiri sangat tinggi di kaki mereka.
Kuikuti mereka ke tanaman yang sedang mereka gunduli dan aku melihat organisasi kerja yang besar. Pertama-tama, ada pemotong, yang tidak melakukan apa pun selain memotong-motong daun. Dengan kecepatan tinggi, mereka merobek dedaunan besar yang sama dengan daun pisang, memotongnya dengan ketangkasan luar biasa menjadi potongan-potongan berukuran sama persis, lalu membiarkannya jatuh ke tanah.
Di bawah mereka, ada barisan semut dalam spesies yang pada umumnya sama, tetapi sedikit berbeda. Mereka memiliki garis kelabu di sisi rahang. Semut-semut ini membentuk separuh lingkaran dan mengamati para pengangkut.
Para pengangkut mendekat dalam barisan dari kanan, lalu menuju bukit semut di sebelah kiri. Pertama-tama, mereka meng-angkut, lalu masuk antrean. Namun, dari waktu ke waktu, mere-ka terburu-buru mengambil angkutan mereka dan kembali ke barisan hingga terjadi kemacetan. Para polisi semut keluar dan mendorong para pekerja ke tempat yang benar. Aku tidak tahu kesalahan fatal apa yang dilakukan salah satu semut pekerja, tetapi ia ditarik dari barisan dan dua polisi semut mengambil alih, salah satunya memenggal kepalanya, yang lainnya membelah tubuhnya jadi dua. Kemudian, si polisi menghentikan dua semut pekerja yang langsung menjatuhkan daun mereka dan membuat lubang di tanah dengan kaki mereka. Tiga bagian semut tadi—kepala, dada, dan sisanya—dikubur dan ditutupi tanah.
Aku begitu asyik mengamati dunia kecil ini dan ingin tahu apakah para polisi akan terus mengawasi sampai ke bukit semut hingga aku tersentak kaget saat mendengar sebuah suara: “Jangan bergerak atau mati. Berbalik.”
Di hadapanku, berdiri seorang pria bertelanjang dada, me-ngenakan celana pendek khaki dan sepatu bot kulit warna merah, membawa senapan berlaras ganda. Dia botak, terbakar matahari, tinggi sedang, gempal, dan mata serta hidungnya ditutupi tato biru terang. Seekor kecoak dirajah di tengah-tengah keningnya.
“Apa kau bersenjata?”
“Tidak.”
“Apa kau sendirian?”
“Tidak.”
“Ada berapa orang?”
“Tiga.”
“Bawa aku kepada teman-temanmu.”
“Aku tidak bisa, karena salah seorang dari mereka punya senjata mesin dan aku tidak ingin kau terbunuh sebelum aku tahu niatmu.”
“Ah! Kalau begitu, jangan bergerak dan bicara pelan-pelan saja. Apa kalian bertiga orang-orang yang melarikan diri dari rumah sakit?”
“Ya.”
“Yang mana bernama Papillon?”
“Aku.”
“Wah, pelarianmu mengakibatkan revolusi dalam desa! Separuh libéré ditahan di kantor polisi.” Dia mendekat dan mengarahkan laras senapannya ke tanah, lalu mengulurkan tangan. “Aku Breton16 Bertopeng,” katanya. “Kau pernah mendengar tentangku?”
“Tidak, tapi aku bisa melihat kau bukan bagian dari para pemburu.”
“Benar. Aku memasang jebakan untuk menangkap hoccos. Seekor kucing pastilah menghabiskannya, kecuali kalianlah yang melakukannya.”
“Memang kami.”
“Mau kopi?” Dia mengeluarkan termos dari tas punggungnya, memberiku seteguk, lalu meminum sisanya.
Aku berkata, “Mari bertemu teman-temanku.”
Dia mengikutiku dan duduk dengan kami. Dia tertawa dengan ancaman yang kuberikan soal senapan mesin. Dia berkata, “Aku memercayaimu karena para pemburu tidak akan mengejarmu saat mereka tahu kau pergi dengan senapan mesin.”
Dia menjelaskan dirinya sudah berada di Guyana selama dua puluh tahun dan telah dibebaskan selama lima tahun. Usianya empat puluh lima. Bodohnya, dia memakai tato topeng di wajah, jadi dia melepaskan keinginan untuk kembali ke Prancis. Dia me-nyukai hutan semak dan seluruh hidupnya berpusat pada tempat itu: ular dan kulit jaguar, mengumpulkan kupu-kupu dan, kegiatan utamanya: menangkap hoccos—burung yang kami makan—hidup-hidup. Dia menjualnya seharga dua ratus sampai dua ratus lima puluh francs. Aku menawarkan untuk membayarnya, tetapi dia menolak dengan marah.
Dia bercerita tentang hoccos. “Burung liar itu adalah ayam jantan dari semak belukar. Secara alamiah, ia tidak pernah melihat ayam betina, ayam jantan, ataupun manusia. Jadi, aku menangkap satu, membawanya ke desa, dan menjualnya kepada seseorang yang punya kandang ayam. Permintaan akan mereka sangat tinggi. Kau tidak menjepit sayapnya, kau tidak melakukan apa pun kepadanya, kau hanya tinggal menaruhnya di kandang ayam pada malam hari dan paginya, saat kau membuka pintu, dia berada di depan, tampak seakan-akan baru menghitung ayam betina dan jantan saat mereka berbaris keluar.
“Ia mengikuti mereka, dan saat ia mematuk-matuki tanah dengan mereka, ia terbang tinggi, rendah, atau mengelilingi semak. Ia anjing penjaga terbaik. Malam harinya, ia berjaga di depan pintu kandang ayam. Bagaimana ia bisa tahu ada satu atau dua ayam hilang adalah sebuah misteri, tapi ia mengetahuinya dan pergi mencarinya. Lalu, ayam betina ataupun jantan, akan digiringnya kembali dengan patukan tajam paruhnya untuk mengajari mereka bahwa itu adalah waktunya untuk pulang.
“Ia membunuh tikus, ular, tikus mondok, laba-laba, lipan, dan begitu burung pemburu terlihat di langit, ia mengirim semuanya berlarian ke bawah rumput sementara ia mengawasi. Dan, yang paling penting, ia tidak pernah melarikan diri.”
Dan, kami memakan burung luar biasa tersebut seakan itu hanyalah ayam jantan biasa.
Si Breton memberi tahu kami bahwa Jésus, L’Enflé, dan sekitar tiga puluh libérés lainnya ditahan di kantor polisi Saint-Laurent dan diinterogasi tentang pelarian kami. Si Arab juga di-tahan karena dicurigai sebagai kaki tangan. Dua pukulan yang membuatnya pingsan tidak membuat kerusakan apa pun, tetapi kepala para penjaga itu sedikit bengkak. “Tidak seorang pun menggangguku karena semua orang tahu aku tidak pernah terlibat dalam cavale.” Dia memberi tahu kami bahwa Jésus itu berengsek. Saat kuberitahukan soal perahu, dia bertanya apakah dia boleh melihatnya.
Saat dia melihat perahu itu, dia berseru, “Dia mengirimmu ke liang lahat, si keparat itu! Di laut, perahu ini tidak akan bertahan satu jam. Ombak besar pertama akan membelahnya jadi dua. Apa pun yang kau lakukan, jangan pergi dengan benda itu; sama saja artinya dengan bunuh diri.”
“Jadi, apa yang harus kami lakukan?”
“Kau punya uang?”
“Ya.”
“Aku akan memberitahumu apa yang harus kau lakukan, atau bahkan lebih baik lagi, aku akan membantumu. Kau berhak mendapatkannya. Dan aku akan melakukannya secara cuma-cuma karena aku ingin melihat kau dan teman-temanmu berhasil. Pertama, jangan mendekati desa, apa pun yang terjadi. Untuk mendapatkan perahu, kau harus pergi ke Ile aux Pigeons. Sekitar dua ratus penderita kusta tinggal di pulau. Tidak ada penjaga di sana dan tidak ada orang sehat yang pergi ke darat, bahkan dokter. Setiap pagi, pada pukul delapan, sebuah kapal membawakan persediaan makanan untuk dua puluh empat jam. Perawat di rumah sakit memberikan sepeti obat-obatan kepada dua perawat di pulau—mereka juga penderita kusta. Mereka sendirian merawat penduduk pulau. Ti-dak seorang pun—baik penjaga, pemburu, ataupun pendeta—pergi ke pulau itu. Para penderita kusta hidup di gubuk-gubuk jerami kecil yang mereka buat sendiri dan mereka punya ruang berkumpul.
“Mereka memelihara ayam dan bebek sebagai tambahan makanan. Secara resmi, mereka tidak bisa menjual apa pun ke luar pulau, tapi mereka punya pasar gelap dengan Saint-Laurent dan Saint-Jean serta orang-orang Cina di Albina di Guyana Belanda. Mereka semua pembunuh. Mereka tidak sering membunuh satu sama lain, tapi mereka melakukan banyak kejahatan saat berada di luar pulau, lalu mereka kembali untuk berlindung.
“Untuk ekspedisi ini, mereka memiliki beberapa perahu yang dicuri dari desa-desa tetangga. Pelanggaran terburuk yang bisa mere-ka lakukan adalah memiliki perahu. Para penjaga akan menembak apa pun yang mereka lihat datang atau pergi dari Ile aux Pigeons.
“Para penderita kusta menenggelamkan perahu-perahu mereka dengan cara mengisinya dengan batu. Saat mereka membutuhkannya lagi, mereka menyelam, membuang batu-batu, dan perahu-perahu kembali mengapung ke permukaan. Ada berbagai jenis orang di pulau, berbagai ras, dan dari semua tempat di Prancis. Perahumu hanya bisa dibawa ke Maroni, dan diisi beban ringan. Kalau ingin pergi ke laut, kau harus mencari perahu lain, dan tempat terbaik adalah Ile aux Pigeons.”
“Bagaimana cara kita sampai ke sana?”
“Aku akan pergi dengan kalian menyusuri sungai sampai kita melihat pulau itu. Kau tidak akan pernah menemukannya sendirian, atau kau mungkin akan keliru. Letaknya sekitar sem-bilan puluh enam kilometer dari mulut sungai, jadi kau harus mundur. Jaraknya lebih kurang sekitar tiga puluh dua kilometer di luar Saint-Laurent. Kita akan menempelkan perahuku ke pera-humu. Aku akan membawamu sedekat mungkin lalu aku akan kembali ke perahuku sendiri. Setelah itu, pergilah ke pulau.”
“Kenapa kau tidak ikut ke pulau bersama kami?”
“Oh, Tuhan,” kata si Breton, “yang kubutuhkan hanyalah menjejakkan satu kaki di dermaga tempat perahu Administrasi berlabuh. Saat itu siang bolong, tapi yang kulihat sudah cukup. Maafkan aku, Papi, tapi aku tidak akan menginjakkan kaki di pulau itu lagi. Aku tidak akan mampu menyembunyikan perasaanku. Aku akan membebanimu alih-alih membantumu.”
“Kapan kita akan berangkat?”
“Saat senja.”
“Pukul berapa sekarang, Breton?”
“Pukul tiga.”
“Oke. Aku akan tidur dulu.”
“Tidak, kau tidak boleh tidur. Kau harus mengisi perahu.”
“Tidak, aku akan mengosongkan perahu. Lalu, aku akan kembali menjemput Clousiot yang akan tinggal dan menjaga barang-barang kami,”
“Mustahil. Kau tidak akan menemukan tempat ini lagi, bah-kan pada siang bolong sekalipun. Dan jangan berada di sungai pada siang hari, mereka masih mencarimu. Sungai masih sangat berbahaya.”
Saat petang, Breton pergi mencari perahunya dan kami meng-ikatnya ke perahu kami. Clousiot duduk di sebelah Breton yang memegang kemudi. Maturette duduk di tengah. Aku di depan. Kami kesulitan keluar dari teluk dan saat kami sampai di sungai, malam sudah turun. Matahari yang merah kecokelatan berkobar-kobar di cakrawala seberang lautan. Kami dapat melihat dengan jelas. Dua puluh kilometer di depan, muara sungai yang megah bekerlap-kerlip merah muda dan perak, mengalir ke lautan.
Breton berkata, “Pasang. Dalam satu jam, air akan mulai naik. Kita akan memanfaatkannya untuk kembali ke Maroni. Dengan begitu, kita akan sampai di pulau dengan lebih sedikit usaha.”
Tiba-tiba sudah malam saja.
“Dorong,” Breton berkata. “Dayung yang kencang sampai tengah sungai. Dan jangan merokok.”