Dari balik pintu aku bahkan mendengar langkah kaki yang kuyakin menuju ke arahku. Dugaanku tepat, pintu itu akhirnya terbuka dan menampilkan wajah paling rupawan yang pernah tertangkap oleh pandangan mataku. Paquita, gadis cantik yang kucintai kini tersenyum di hadapanku.
“Hei,” dia menyapa dalam suara serak nan manja. “Apa kabar?” dia sedikit tertawa, agak dipaksakan kurasa, tapi memang begitulah dia. Dia akan tertawa seperti itu ketika dia menertawakan dirinya, menyadari betapa bodohnya dia, tapi siapa peduli, dia tetap Paquita, gadis yang kucintai, itu saja.
“Bagaimana harimu?” dia bertanya sambil merebahkan diri di sofa bermotif kotak yang nyaman, kini dia memeluk kedua kakinya serupa orang yang sedang kedinginan. Sejujurnya aku ingin berada di sampingnya sekarang, membiarkan dirinya bermanja-manja, mengikuti maunya, mendengarkannya bercerita dan menikmati tawa bersamanya.
Aku diam.
“Coba kutebak ….” Dia tengah memutar otak, aku senang memandang wajahnya ketika dia tengah berpikir keras; keningnya mengerut dan bibirnya mengerucut. “Membosankan … seperti biasa!” dia memutar bola matanya dengan sebal.
Aku masih diam.
“Oh … aku menyerah, aku lupa sekarang kamu telah berubah menjadi Pangeran Es dari Kutub!” Dia meraih bantal sofa yang nyaman ke dalam pelukannya dan mulai membenamkan kepalanya di sana. Beberapa helai rambutnya membandel terlepas dari balik telinganya, biasanya dengan spontan dia langsung merapikan rambutnya.
“Aku merindukanmu. Sungguh-sungguh ….” Suaranya tak lagi terdengar ceria. “Tahukah kamu, betapa menyakitkannya merindukanmu? Karena kamu yang kurindukan telah pergi jauh. Hei, aku merindukan dirimu yang dulu.” Dia menghela napas.
Dia terdiam di sana, duduk sambil tetap memeluk kedua kakinya, bantal sofa tetap di pangkuannya, tapi kini kepalanya tak lagi terbenam. Kini dia menatapku, dengan ekor matanya dalam pandangan yang tidak kusukai karena air mata mulai menggenang di indra penglihatannya itu. Aku tahu dia berusaha, berusaha untuk tak meneteskan air mata yang membuatku turut merasakan pedih. Kini dia menatap langit-langit, itu hanya trik kuno agar air matanya tidak jatuh, tapi aku tahu pasti beberapa saat lagi air mata itu akan mengalir.
Dia membiarkan air matanya meleleh melintasi pipinya. Aku hanya menatapnya, tak melakukan apa pun untuk menghentikan sedihnya. Aku seperti makhluk tanpa nurani.
“Aku merindukanmu. Sungguh, sangat rindu,” diulang lagi kalimat itu. Hanya kali ini suaranya terdengar merdu di telingaku, tapi membuat hatiku merasakan pilu.
“Aku merindukan saat kita bersama melewati satu hari penuh tanpa terserang jenuh.” Dia terdiam, memberikan dirinya waktu untuk menikmati tangisan.