Para Hyangan: Kastil Pemimpi

Nadya Christie
Chapter #2

1. The Illusionists

SETIAP KALI HUJAN turun, bara keinginan untuk membunuh ayahnya menghangat satu derajat.

Mungkin kalimat yang lebih tepat adalah "berharap agar orang itu mati saja". Meskipun begitu, adakah beda antara mengakhiri garis kehidupan seseorang dengan lisan dan kedua tangan sendiri?

Petir menyambar di langit, memberikan netranya yang bersembunyi di balik lensa kacamata yang sudah berembun itu sekilas visi atas genangan air di permukaan aspal yang sudah compang-camping. Juga pipa-pipa talang air yang hanya menambah gelombang pusing pada kepalanya yang terlindungi jas hujan plastik.

Gang berkelok itu membelah di hadapannya. Berseberangan dengan terminal bus lokal, di sanalah tempat tujuannya berada.

Bangunan tersebut tampak biasa saja. Tidak ada papan nama mahogani atau gemerlap lampu LED. Sepi. Tidak mencolok. Layaknya bekas bangunan kantor tua yang sudah usang. Hanya ada warung kopi sederhana di sampingnya.

"Sini ngopi dulu, Cantik! Nggak usah buru-buru!"

"Nggak usah, Bu Asta." tolak Mayesha dengan sopan. Tangannya dengan cepat mengeluarkan masker dan mengenakannya. "Saya cuma sebentar. Habis ini, masih harus balik lagi ke kafe."

Wanita paruh baya dengan tubuh gempal itu mengacungkan sebuah plastik hitam ke hadapannya, "Cepet simpen ke tas. Jangan sampai ketahuan."

Setelah menjejalkan pemberian itu ke dasar ranselnya, Mayesha bergegas memasuki bangunan usang di samping, mengangguk pada sosok lelaki tua yang bertugas jaga, lalu menuruni tangga menuju ke lantai dasar—jantung sebenarnya dari tempat ini.

Di tengah-tengah selusin manusia, berdiri tegak lingkaran pagar bambu setinggi lutut yang menjadi arena bagi dua ekor ayam jago saling menyerang bahkan sebelum peluit dibunyikan. Riuh kemenangan dan protes kekalahan beradu dengan musik pop kolot yang dimainkan melalui pengeras suara. Di sudut ruangan lain, meja-meja terisi penuh oleh mereka yang memilih untuk mengadu keberuntungan lewat tumpukan kartu gaple. Asap tembakau menggantung pekat di udara, berbaur dengan keringat, adrenalin, dan kotoran ayam yang dibiarkan begitu saja. Bahkan masker tiga lapis yang Mayesha pakai tidak mampu untuk menghadang semua aroma itu.

Beginilah cara menikmati waktu luang di PK. "Pusat Kesehatan" rukun warga setempat yang disulap menjadi pusat hiburan 24/7.

Siapa saja—laki-laki, perempuan, legal, minor, eksekutif muda, buruh pabrik—dipersilakan untuk datang berkunjung. Entah untuk sekadar melepas penat dengan merokok, menegak gelas-gelas minuman beralkohol, mengisap ganja, ataupun terlibat dalam berbagai variasi "judi" yang dapat ditemukan di sini. Sabung ayam, judi gaple, adu skor pertandingan sepak bola, taruhan hasil akhir pemilihan umum kepala negara yang akan dilaksanakan tiga bulan lagi.

Tentu saja, PK adalah wilayah bebas hukum. Otoritas dan aparat penegak hukum setempat melenggang keluar-masuk dengan langkah ringan di sini. Pertukaran informasi krusial tidak jarang terjadi di PK. Begitu pula dengan pertukaran apresiasi cuma-cuma yang masuk ke kantong para abdi negara dari para pemegang kuasa, yang sering kali turut mereka bagikan kepada para pengunjung PK yang lain. Dengan berpegangan pada prinsip "Dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat yang berpihak kepada mereka dan bersumpah untuk tidak menjadi ular".

Lagi pula, siapa yang mau mengusut dan menggeledah tempat ini? Terlalu merepotkan untuk imbalan yang tidak sebanding. Kasus remeh. Tidak ada yang berani mengusik karena PK adalah suaka bagi para pemujanya.

Tidak sulit untuk menemukan sosok itu. Dengan sebelah kaki terangkat dan sebatang rokok di sudut bibir, ia selalu memilih tempat duduk di samping bandar meja. Entah ia berharap agar mendapatkan keberuntungan ekstra atau ingin menghasut bandar agar memberinya hadiah lebih.

Sepertinya, malam ini, keberuntungan berpihak pada sosok itu.

"JOSSSSS!!!" Dengan penuh kegirangan, ayahnya melemparkan kartu-kartu miliknya ke meja.

Seorang lelaki berusia empat puluh tahun dengan topi merah usang yang berada di ujung meja berkomentar, "Tumben nggak boncos."

"Lo lihat ini tangan?" Kedua tangan ayahnya terangkat ke depan muka lelaki dengan topi merah itu. "Wangi duit, nih, Bos!"

Sang bandar meja yang Mayesha kenali bernama Gusto itu, mencibir pelan. "Si Yos menang gara-gara ada anaknya aja itu."

Barulah Yos menyadari keberadaan Mayesha yang berdiri tidak jauh di belakangnya. "May!" serunya dengan napas yang berbau asam kecut. "Makan enak kita nanti malam! Mau apa? Setoko-tokonya juga bisa!"

"Titipan tadi." Mayesha menyerahkan payung, lalu bermaksud untuk segera pergi dari tempat itu ketika Yos menahannya.

"Ehhh, buru-buru amat. Pesta dulu lah kita!" Dengan langkah terseok, Yos menghampiri Mayesha dan berbisik di dekat telinganya, "Awas kalau lo cepuin gue ada di sini."

Mayesha mendengus malas.

"Bagi sepuluh ribu, dong. Buat bensin. Hadiahnya pecahan gede semua."

Dalam diam, Mayesha mengamati Yos yang hanya memakai kaus oblong dan celana pendek longgar selutut yang menonjolkan tulang-tulang kurus keringnya. Entah kapan terakhir kali tubuh itu diisi oleh asupan yang bernutrisi selain dari tembakau, alkohol, goreng-gorengan, dan arogansi setinggi langit ketujuh.

"Dipanggil sama Bang Gusto tuh." Ia menunjuk ke balik bahu Yos, kemudian berbalik pergi.

Belum ada beberapa langkah, seseorang kembali menghadangnya. Kali ini, ditambah dengan remasan di lengannya.

"Siapa ini?" Remasan itu menjalar naik ke bahu Mayesha. "Lagi sakit, Cantik? Buka maskernya, dong. Main dulu sama Om sini." Dan semakin naik ke rambutnya yang dikuncir kuda. "Mau baju atau sepatu, sebut aja. Om bisa kasih. Bonus dari pusat baru cair."

Selama sedetik yang terlalu mengerikan, tubuh Mayesha hanya bisa membeku. Sebelum akhirnya, kesadarannya kembali dan ia segera menepis tangan kotor itu dari tubuhnya. Tanpa perlu sedikit pun peduli siapakah gerangan sosok itu, ia segera mengambil langkah lebar-lebar dan keluar dari sana.

Setelah kedua kakinya menyentuh trotoar, barulah ia membiarkan diri untuk melepas masker dan menarik napas dalam-dalam. Membiarkan angin senja meresap ke pori-porinya yang tiba-tiba saja bercucuran keringat. Yang ia tahu pasti, bukan disebabkan oleh pengap dari ruangan di bawah sana.

"Aman, Cantik?" tanya Asta, yang baru saja selesai mengantarkan pesanan kepada para pelanggan di warung kopinya. "Si Yos nggak aneh-aneh, 'kan?"

Mayesha hanya mampu tersenyum tipis dengan setengah terengah, "Duluan ya, Bu. Makasih buat bingkisannya."

"Tasnya taro di depan, Cantik! Copet paling suka main di jam segini!"

Dengan ransel yang tersampir di dada dan tudung jas hujan plastik yang kembali terpasang, Mayesha segera berjalan cepat menembus hujan yang masih saja awet. Sayang sekali, tidak satupun bus yang ada di halte ini beroperasi ke arah tujuannya. Alhasil, ia harus kembali menyusuri setapak yang ia lalui tadi terlebih dulu, sebelum menaiki bus dari halte lain.

***

"Selamat datang di The Illusionists!"

Lonceng yang terpasang di pintu bergemerincing, menyambut sekelompok remaja berseragam sekolah menengah atas memasuki kafe. Setelah mengantarkan mereka ke meja kosong di dekat jendela dan menjelaskan sistem pemesanan melalui pindaian kode QR, Mayesha pun kembali ke balik meja kasir.

"Kak Mayeee! Makasih udah jagain di bawah, yaaa!" seru Lin. Rambut marunnya yang dikuncir kuda berayun ke kiri dan kanan. "Gila! Mie goreng yang kita coba kemarin beneran sepedes klaim di Tikgram!"

"Perutnya udah enakan sekarang?"

Lihat selengkapnya