Para Joki

Farida Zulkaidah Pane
Chapter #2

A. Joko Menerima Tawaran Jordy

UAS akan segera tiba. Bukan hanya masalah tugas menumpuk dan bayangan sederet soal-soal ajaib yang membuat hati Joko gelisah. Uang untuk membayar semester depan belum juga cukup dikumpulkan kedua orang tuanya.

"Jok, kamu itu kan, mahasiswa pintar. Apa iya, enggak ada pekerjaan yang bisa kamu lakoni buat menambal biaya kuliahmu besok? Bapak sering dengar kalau mahasiswa itu biasanya menyambi kerjaan. Apa lagi di jurusanmu. Katanya banyak proyek dari dosen?" tukas bapak Joko dengan nada tetap datar.

"Iya, sih, Pak. Tapi kan, ya enggak semua mahasiswa bisa dapat. Biasanya yang ditawari proyek itu yang nilainya bagus, dekat sama dosen, atau sudah senior," keluh Joko merasa tidak berdaya.

"Ya, kamu belajar yang lebih giat lagi, Jok. Biar bisa jadi yang paling pintar, biar dilirik dosen. Memangnya, di angkatanmu enggak ada yang ditawari pekerjaan, ya?" tanya bapak Joko.

"Ada sih, Pak. Cuma ya, gitu. Kan, tempatnya terbatas. Beberapa aja yang bisa masuk kerja di situ," jawab Joko semakin serba salah.

"Sudahlah, Pak. Jangan terlalu dipaksa anakmu itu. Joko selama ini sudah berusaha keras, lho! Mau bagaimana lagi kalau memang belum rezekinya," ibu Joko mencoba menengahi.

"Aku ini juga paham, Bu. Sebenarnya, kasihan juga lihat selama ini Joko banting buku buat belajar selama di rumah. Kalau memang bisa biayai kuliahnya, aku juga enggak bakal nuntut dia macam-macam, kok," sahut bapak Joko tidak mau kalah.

Kedua telapak tangannya mengusap wajah, kemudian menghela napas berat sambil menggeleng-geleng sebelum melanjutkan ucapannya, "Cuma kan, kamu tahu sendiri. Tahun ini kita butuh uang lebih buat mendaftarkan Dara masuk SMA. Kita enggak sanggup membayar sekaligus sekolah mereka. Buat biayanya Dara saja kita masih ngos-ngosan menambal kekurangannya."

Ibu Joko yang sedari tadi sibuk mondar-mandir membereskan meja makan, ikut duduk bersama Joko dan bapaknya karena pekerjaannya sudah selesai. Sambil bersedekap di atas meja, ibu Joko menatap putranya itu lekat-lekat.

"Kami sudah mendiskusikan masalah ini semalam. Akhirnya, bapak dan ibumu ini berpikir, kalau memang tidak ada pemasukan tambahan, ya terpaksa kamu ambil cuti kuliah dulu saja ya, Le. Kan, kuliahmu masih bisa dilanjutkan tahun depan. Biar bapakmu tahun ini bisa ambegan1 sedikit gitu lho, Le," tutur Beliau hati-hati.

"Iya, Jok. Kan, enggak mungkin adikmu yang disuruh berkorban. Dia bakal malu kalau masuk sekolahnya ditunda. Sedangkan mahasiswa, sudah biasa to, kuliahnya molor? Apa lagi anak laki-laki. Ya, wajar kalau sudah sibuk kerja sejak muda," dalih bapak Joko meminta persetujuan.

Joko jadi gelagapan. Ia tidak menyangka kalau dampak yang akan diterimanya akan sedahsyat itu. "Aku usahakan lagilah, Pak, Bu. Kalau memang enggak dapat kerjaan juga, ya mau bagaimana lagi. Aku cuma bisa manut2 sama orang tua," jawab Joko sambil menunduk.

Ia tidak berani menatap mata keduanya. Disembunyikannya kesedihan yang terlampau mendalam. Alangkah dininya dia harus berkorban. Baru saja tahun kemarin kebanggaan itu direguknya saat diterima di jurusan bergengsi. Kini, ia sudah harus mengerem dulu semangat berkuliahnya demi sang adik.

Entah apakah ia masih bisa menegakkan kepalanya saat ternyata harus benar-benar cuti dulu selama setahun. Alasan apa yang bisa diberikan jika nanti ditanya teman-teman? Sibuk bekerja? Bagaimana kalau pekerjaan itu tidak kunjung didapatnya?

Lihat selengkapnya