BIBIR REGIS TERUS MEMBENTUK SENYUMAN. Pikirannya seakan bermain di pantai bersama Vera. Tapi hati Regis mengingatkan kalau itu hanya imajinasi di otaknya. Dia bingung. Kenapa Vera bisa membuatnya seperti ini. Tiupan pendingin udara menusuk sampai ke tulang. Aroma ruangan khas rumah sakit seolah menari-nari di hidung Regis.
“Kak Regis ini senyum-senyum terus, pasti ada sesuatu,” ujar si gadis cantik, yang terbaring di bed crank.
Nama si gadis cantik itu adalah Marina. Regis membayangkan rambut hitamnya yang panjang, masih menempel di kepala Marina. Pikiran Regis bagaikan terbawa angin ke kenangan masa lalu. Kaki Regis terasa digelitik memijak pasir pantai. Angin berembus kencang menggoyangkan baju pantai warna merah yang ia pakai. Hidungnya tersentil menghirup bau asin air laut.
Orang-orang di sekitar gembira bak di beri hadiah uang oleh presiden. Gelombang air laut yang setinggi meja sekolah menyapu pinggiran pantai. Regis menilik Marina dan pelatihnya bermain selancar. Mereka mampu melawan ombak itu, seperti singa ganas yang berhasil dijinakkan. Senyum Marina terlihat menawan, ibarat ada kristal yang timbul di bibirnya. Kalau ada pria melihat senyuman Adiknya. Mereka harus melewati tinju dari tangan kekar Regis.
“Kak Regis! Kok malah melamun sih,” gerutu Marina.
Telinga Regis serasa tersengat listrik. Dia pun terkekeh memandang Marina, seraya mencubit pelan pipinya. Suara kesal keluar dari mulut Marina.
“Kak Regis ngapain sih gak jelas. Mama, lihat Kak Regis kayak jadi orang gila senyum-senyum sendiri,” adu Marina menilik Mama yang duduk di sofa.
Mama berdecak ibarat meniup peluit.
“Sudah Kak, jangan ganggu Adikmu itu,” tegur Mama berdiri dan memukul pelan pundak Regis.