PAGI YANG SUDAH PANAS. Vera dan Regis sudah tiba di parkiran Fakultas Ekonomi. Busana yang Regis pakai adalah kemeja hitam dengan garis-garis merah, dan celana denim berwarna hitam. Vera memakai blus biru muda lengan pendek, dengan celana kulot berwarna putih. Dia merasa tubuhnya ditusuk duri, banyak mahasiswa menontonnya turun dari mobil Regis.
“Kak Regis, aku duluan ke kelas ya,” kata Vera melambaikan tangan padanya.
Bibir Regis membentuk senyuman. Vera mematung kayak lagi menyaksikan pemandangan lukisan pedesaan.
“Semangat kuliahnya Vera.”
Ucapannya itu menjadikan tubuh Vera seperti dilempar ke jurang.
“Aduh mau meninggal dengar ucapannya,” komentar Merpati terlalu lebay.
Vera berusaha membuka mulut.
“Terima kasih, Kak Regis,” jawabnya tersenyum juga.
Kaki Vera bergerak menuju kelas. Di lorong kelas yang sepi, Vera tersentak mendengar suara di belakang.
“Kau punya kekuatan ya?”
Vera menoleh ke belakang. Seorang cewek, terlihat seumuran dengan Vera. Rambutnya hitam panjang bergelombang. Setelan busana yang cewek itu pakai yaitu Zalia Smocked Peplum Top berwarna biru laut.
“Maaf kau tadi ngomong apa ya?” tanya Vera pura-pura bego.
Ekspresi cewek di depan Vera berubah menjadi orang yang curigaan.
“Jangan pura-pura, kemarin aku lihat kau mengeluarkan kekuatan angin untuk menolong kating cowok yang hampir ketimpa batang kayu.”
Vera tidak bisa berkutik. Perasaannya serupa kena tatapan guru saat menyontek.
“Yah ketahuan,” lontar Merpati.
Cewek itu tersenyum. “Kau sama sepertiku.”
Tangan kanannya meraih sesuatu di saku pakaian. Ternyata dia mengeluarkan sebuah batang kayu yang ramping mirip sumpit.
“Batang kayu itu kayak tongkat sihir,” kata Merpati terpana.
Cewek itu mengayunkan tongkat sihirnya ke saluran air di samping lantai lorong kelas. Vera merasa menonton atraksi sirkus, ketika air mengucur deras keluar di ujung tongkat sihirnya. Kepala Vera memeriksa sekeliling, masih sepi. Kalau tidak, orang-orang akan mengerumuni mereka seperti meminta tanda tangan artis. Cewek itu pun berhenti mengeluarkan kekuatan airnya. Dia menyimpan tongkat sihir ke saku pakaian, lalu mengeluarkan sesuatu yang baru.
“Kalau kau berminat, gabung saja dengan organisasi ini,” ucapnya menyodorkan sebuah brosur pada Vera.
Tangan Vera mengambil brosur itu. Judul brosur itu terpampang jelas di mata.
Para Pejuang Unsri
Vera memasang ekspresi bingung di wajah.
“Ini organisasi apa?”
“Organisasi untuk orang yang punya kekuatan seperti kita,” bisiknya, sebab suasana mulai ramai.
Mulut Vera ingin membuka suara. Namun, ponsel Vera berdering. Dia mengambil ponsel di dalam tas. Nama Inggrid tertulis di layar. Jari telunjuk Vera menekan tombol hijau. Telinga Vera ibarat dipukul mendengar suara nyaring Inggrid.
“Vera cepat masuk ke kelas sekarang! Dosen mau masuk bentar lagi!”
“Astaga, iya-iya ini aku udah di kampus.”
Vera menekan tombol merah di layar ponsel. Bola mata Vera mengamati cewek di depannya.
“Maaf ya, aku harus masuk ke kelas sekarang.”
Bibirnya tersenyum kecil.
“Iya nggak papa kok. Kalau berminat gabung, datang saja ke Neng's Cafe di perpustakaan.”
“Iya makasih infonya.”
Vera lari menuju kelas seakan-akan menjadi orang yang dikejar polisi.
***
Selesai kuliah, Vera berjalan kaki sendirian menuju perpustakaan. Jarak dari Fakultas Ekonomi ke perpustakaan sekitar 400 meter. Lima menit berjalan santai, Vera mengusap peluh dan bernapas lega karena sudah sampai. Suhu di dalam perpustakaan lumayan sejuk dibandingkan di luar yang panas. Mahasiswa dan dosen terlihat mondar-mandir di sekitar Vera.
“Wangi apa ini, Vera?” tanya Merpati di pundak kiri Vera.
“Itu wanginya dari sana.” Vera menjawab, menunjuk etalase roti di dalam Neng’s Cafe.
Kaki Vera melangkah menuju kafe tersebut.
“Hm...aku jadi lapar,” aku Merpati tertawa kecil.
Vera ikut terkekeh. Dia memandang sekeliling.
Di mana tempat kumpulnya? Hanya orang-orang yang lagi makan roti di sini, Vera membatin.
Vera menilik brosur di genggaman tangan. Tidak ada petunjuk apapun. Hanya sejarah organisasi ini didirikan pada tahun 1965.
“Gak ada nomor kontaknya lagi di brosur,” gumam Vera kayak anak kecil yang tersesat di mal.
Mahasiswa cowok bertubuh tinggi berjalan di depan Vera. Rambut hitamnya lebat. Dia berjalan tegap menuju meja kasir. Vera merasa aneh, cowok itu berbisik kepada petugas kasir cewek.
“Tingkah mereka aneh.” Merpati berkomentar.
Vera penasaran dan mendekati mereka. Cewek kasir itu mengajak cowok tersebut ke sebuah pintu di samping meja kasir. Tangan cewek kasir itu menekan tombol merah di sebelah pintu. Lantas cowok itu pun membuka pintu dan masuk ke dalam sana. Selanjutnya cewek kasir itu menutup pintu dan kembali ke meja kasir.