WAJAH KAKAKNYA YANG BARU DATANG, menyamai putihnya bubur baru saja di masak. Tadi dia merasakan dadanya bak ditusuk pedang berkali-kali. Melihat senyuman Kakaknya, rasa sakit itu reda. Regis mendekat dan mencubit pipi Marina. Rasa kesalnya memuncak seolah menjadi gunung meletus.
“Kakak gak jelas, datang ke sini langsung cubit,” gerutu Marina.
Dia pun batuk-batuk. Seperti ingin mengeluarkan sesuatu di kerongkongan. Mama sedang duduk di sofa, turut berdeham seakan bisa menghentikan batuk Marina. Dia pun membetulkan posisi bantal. Wajah Regis yang tadi mirip bubur sebelum diaduk, sekarang menjadi bubur yang sudah diaduk. Tangan Marina cepat-cepat memengang tangan hangat Regis. Kakaknya ibarat melihat kejadian kecelakaan saja.
“Kamu nggak papa, Dek?” tanya Regis khawatir.
Marina berusaha tersenyum walaupun terhalang selang kateter nasal. Dia tidak mau dikhawatirkan Kakak, Mama, maupun Papa. Marina juga tidak mau dikasihani. Penyakit dideritanya sudah menjadi bagian jalan hidup. Tiupan pendingin ruangan bak menjilati kepala plontos Marina. Regis tersenyum dan mengelus punggung tangan Adiknya.
“Besok ada kejutan buat kamu,” kata Regis kembali berwajah mirip bubur putih.
Marina tertawa kecil. Dia ingat, besok adalah ulang tahunnya ke 16 tahun. Dua tahun lalu, dia masih merayakan ulang tahun bersama teman-teman dan keluarganya. Sekarang dia merayakan bersama keluarga saja. Tidak lagi dengan teman-teman, namun penyakitnya. Kalau saja dia bisa teriak. Marina mau berseru rindu. Dia rindu sekolah, pantai, dan bermain selancar bersama pelatihnya.
“Hadiahnya apa, Kak Regis?”
“Rahasia,” jawab Regis layaknya badut.
Dada Marina terasa ditusuk pedang lagi. Dia menyembunyikan rasa sakit itu dengan senyuman kecil.
“Oh iya Kak, gimana tadi selesai nonton udah nembak, Kak Vera?”