REGIS MENONTON GELOMBANG ANGIN di sekitar tubuh Vera berotasi membentuk kubah raksasa. Bola meriam itu terpental ke langit-langit ruko. Suara ledakan menampar telinga. Botol ramuan itu jatuh ke lantai dan untungnya tidak pecah. Namun, langit-langit ruko mulai retak dan roboh. Vera tersungkur di lantai bak meja yang kehilangan kakinya. Sebuah plafon besar dari langit-langit ruko retak, lalu pecah, dan jatuh ingin menimpa tubuh Vera. Regis bimbang mau mengambil botol ramuan itu dulu atau menyelamatkan Vera.
“Selamatkan dia!” teriak Gajah memandang Regis.
Ternyata Gajah sudah sadar. Merpati tampak gembira menyaksikan sahabatnya. Sementara Regis terkejut dan takut melihat Gajah di hadapannya. Dia mendengar Gajah itu meraung.
“Dasar lambat!” sungut Gajah.
Dia berubah menjadi asap abu-abu lalu merasuki tubuh Regis. Ia merasakan tubuhnya seakan ditusuk bongkahan es. Kaki Regis bergerak sendiri mendekati Vera saat plafon itu sedikit lagi menimpa tubuhnya. Debu-debu berterbangan di sekitar. Vera yang berbaring di lantai terbatuk-batuk merasakan debu itu terhirup masuk ke paru-paru. Ketika debunya mulai menipis, Vera terpana mengamati Regis begitu kuat sekali menahan plafon itu dengan kedua tangannya yang mengeluarkan asap abu-abu. Regis melihat botol ramuan itu hancur ditimpa plafon. Dia mendesis menahan plafon yang beratnya mirip bantal. Kedua tangannya melemparkan plafon besar yang dia tahan ke depan.
“Kita pergi dari sini,” kata Regis seraya menggendong Vera serta membawa kedua kipas lipat yang lepas dari tangannya.
***
Hampa. Itulah yang Regis rasakan. Ramuan penyembuhan itu hancur. Pupuslah harapan Marina untuk sembuh. Wajahnya sudah kembali normal karena diberikan obat yang berasal dari kaum peri. Namun, rasa nyeri masih menempel di wajahnya. Di bed crank hadapan Regis. Terbaring Vera yang pingsan. Pikiran Regis masih terngiang-ngiang menyaksikan ramuan itu hancur. Tetapi, kalau dia menyelamatkan ramuan itu, Veralah yang akan tertimpa plafon.
“Dia sudah sadar,” kata Ria berdiri di samping Regis.
Begitu pun Daffa, Merpati, dan Tina. Vera membuka mata. Tangan kanan Regis bergerak menggenggam tangan Vera. Dia mengedarkan kepala sekeliling. Mereka semua berada di ruang kesehatan Para Pejuang Unsri. Regis merasakan pendingin ruangan terus bertiup kencang. Vera memasang wajah rasa bersalah pada Regis.
“Maaf, Kak Regis,” kata Vera dengan ada air mata yang mengalir di pipi.
Regis hanya tersenyum kecil dan menghapus air mata di pipi Vera dengan jarinya. Jantung Regis masih sempat-sempatnya berdenyut cepat. Telinganya juga mendengar Tina berdecak. Ponsel Regis pun berdering. Dia mengambil ponsel itu di saku celananya.
“Halo, Ma. Ada apa?”
“Cepat ke rumah sakit!”
Suara Mama terdengar cemas. Perut Regis serasa disayat silet. Matanya membelalak. Perasaannya turut tidak karuan bagaikan ada peperangan di sana.
“Baik, Ma. Aku pergi ke sana sekarang.”
“Apa Vera sama kamu juga Kak? Kalau iya ajak juga Vera ke sini ya Kak,” tutur Mama.
“Iya, nanti aku ajak Vera juga.”
“Ya sudah hati-hati.”
Ponsel pun dia matikan. Matanya menatap wajah Vera yang khawatir.
“Vera, kita ke rumah sakit sekarang,” ucap Regis.
Vera manggut-manggut. Regis membantunya beranjak dari bed crank. Vera menengok Tina, Ria, dan Daffa.
“Kami izin pergi dulu,” pamit Vera kepada mereka.
Ria dan Daffa mempersilakan. Tina tetap berekspresi datar menatapnya.