Para Pejuang Indonesia Volume 1

Rachman Anrabel
Chapter #26

26. Vera

REGIS YANG MEMAKAI BUSANA SERBA HITAM, berjongkok memegang batu nisan bertuliskan nama Adiknya. Dia tampak berusaha menahan tangis. Vera yang memakai busana serba hitam juga berjongkok di samping Regis, menyentuh pundaknya. Langit mendung turut sedih atas kepergian Marina. Suasana pemakaman yang tadinya ramai sebelum Marina dikuburkan, dan sekarang menjadi sepi setelah dimakamkan. Yang bertahan di samping nisan Marina adalah Vera, Ibu, Regis, dan Tante Inez yang menangis di pelukan Om Ronald. Serta Tina, Merpati (berwujud burung), Ria, dan Daffa juga ikut menemani. Ada juga seorang pria bertubuh pendek berjubah hitam—melihat Vera, ditemani kedua orang tuanya. Angin terus bertiup mengelus pakaian hitam yang Vera pakai.

Marina, semoga kau bahagia di sana, Vera membatin.

Air mata mengalir di pipi Vera. Perasaan kehilangan itu persis ketika Ayah meninggal. Vera terus mengelus pundak Regis untuk mengalirkan rasa tenang kepadanya. Mata Regis menilik mata Vera. Tubuh Vera seakan jatuh ke kegelapan dengan melihat mata Regis berkaca-kaca. Air mata yang Regis tampung tidak bisa ditahan lagi. Dia pun langsung memeluk Vera begitu eratnya.

***

Sudah tiga hari Regis tidak kuliah. Dia yang biasanya mengantar-jemput Vera ke kampus, sekarang tidak lagi. Vera telepon dan mengirim pesan, dia tidak angkat maupun membalas. Perasaan Vera cemas tidak mengetahui keadaan Regis saat ini. Vera sekarang berkumpul bersama Daffa dan Ria di ruangan kumpulan pejuang. Tubuh Vera seolah kesetrum karena Daffa menyadarkan Vera dari lamunan.

“Kau cemas ya, dengan keadaan pacarmu saat ini?” kata Daffa yang selesai mengotak-atik laptopnya.

“Kau benar Daf. Vera jadi pemurung sekarang,” timpal Ria mengerling padanya.

“Dia sama seperti aku yang nggak masuk sekolah kelas 10 selama satu minggu saat Ayahku meninggal.”

Daffa tampak prihatin mendengar penjelasan Vera.

“Kau mau aku beri tahu lokasi keberadaan dia saat ini?”

Mata Vera melotot mendengar ucapan Daffa.

“Iya, aku mau. Beri tahu sekarang, Daffa,” pinta Merpati yang berwujud manusia.

Tampaknya Merpati tidak sabar ingin bertemu Gajah yang masih merasuki tubuh Regis. Daffa mengangguk. Lalu, dia mengeluarkan serbuk peri dan menaburkan di laptopnya. Adegan selanjutnya membuat Vera takjub. Tangan Daffa begitu cepat mengetik sesuatu di keyboard laptopnya. 

“Dapat!” serunya bak mendapat nilai A.

Merpati cepat-cepat mendekati Daffa untuk melihat laptopnya.

“Sekarang dia berada di pemakaman Adiknya,” ungkap Daffa.

Astaga, kenapa Vera tidak kepikiran? Dulu saat Ayahnya baru meninggal, Vera ingin selalu berada di makamnya. Berharap dia bangkit dari kubur dan memeluk Vera lagi.

“Pergilah, temui dia.” Daffa menyadarkan Vera seraya memberikan bola portal.

Vera mengambil bola portal itu di tangan Daffa. Mulut Vera berbisik di bola portal tersebut. Setelah itu, dia lemparkan bola itu ke depan. Lubang portal muncul. Tubuh Vera ditarik-tarik untuk masuk ke dalam portal. Sebelum ingin masuk portal, Ria menyodorkan dua topeng dansa berwarna kuning.

“Kelompok iblis itu masih berkeliaran. Aku takut dia menyerang kalian di tengah orang ramai,” kata Ria.

Vera tersenyum kecil dan mengambil dua topeng tersebut.

“Terima kasih, Ria.” Vera menyimpannya di tas yang dia bawa.

Langsung saja Vera dan Merpati masuk ke dalam portal. Cahaya putih memenuhi penglihatan. Satu detik berlalu, cahaya putih redup. Sinar matahari bersinar terang seakan membakar kulit. Suasana pemakaman lumayan ramai. Ibu-ibu dan anak-anak penjual bunga menawarkan dagangan mereka ke pengunjung yang datang. Saat ini Vera dan Merpati berada di sebuah tanah kosong. Untung saja orang-orang tidak melihat kemunculan mereka yang tiba-tiba. Vera dan Merpati menggerakkan kaki menuju makam Marina. Ternyata benar, Regis memakai pakaian hitam sedang menaburkan bunga di gundukan tanah makam Adiknya. Aroma bunga sontak menusuk hidung Vera. Regis menyadari ada yang datang. Dia memandang Vera. Matanya menghitam kurang tidur. Perasaan Vera sedih melihat kondisi Regis sekarang.

“Kak Regis,” kata Vera berjongkok di sebelahnya.

Regis mematung, dengan mata ke nisan Marina. Tiupan angin yang lewat membuat beberapa helai rambut Vera menutupi wajah. Tangannya membetulkan posisi rambut, lalu menyentuh pundak Regis.

“Aku tahu Kak, rasanya kehilangan seseorang,” kata Vera. “Ketika Ayahku meninggal, aku terus menangis. Hatiku hancur, Kak. Setiap hari aku datang ke makam Ayahku dan bolos sekolah. Namun, percuma saja. Ayahku tidak bisa memelukku lagi untuk menenangkanku.”

Regis terus diam menatap nisan. Air mata Vera mengalir karena mengingat Ayahnya.

Lihat selengkapnya