“Mengapa harus menjadi penguasa?”
Demikian gumam dan gerutu Mu‘awiyah bin Yazid selepas ditabalkan sebagai pengganti Yazid bin Mu‘awiyah, yang baru saja berpulang dalam usia yang relatif muda, 38 tahun, sebagai penguasa ke-3 Dinasti Umawiyyah dengan pusat pemerintahannya di Damaskus, Suriah.
Lahir pada Ahad, 21 Dzul Qa‘dah 40 H/28 Maret 661 M, putra pasangan Yazid ibn Mu‘awiyah dan seorang perempuan dari suku Quraisy ini tumbuh dewasa di lingkungan istana. Dunia perpuisian lebih menarik perhatiannya ketimbang bergaul dengan berbagai kalangan yang kerap datang ke istana yang ditempati ayahandanya. Oleh karena itu, namanya kurang “berpendar” dalam kalangan kaum Muslim pada masanya. Ketika ditabalkan sebagai penguasa, sekitar empat bulan selepas kepulangan ayahandanya, dia mewarisi kekuasaan yang sedang “terhuyung-huyung” karena sedang menghadapi pemberontakan yang sulit dipadamkan di Hijaz, di bawah pimpinan ‘Abdullah ibn Al-Zubair.
Betapa gelisah hatinya begitu menerima amanah yang terasa sangat berat. Bukan karena usianya yang masih muda, sekitar dua puluh tiga tahun. Namun, karena penguasa yang pernah menikah empat kali itu merasa pentas politik bukanlah dunianya. Dia menyadari, meski dia dibesarkan di lingkungan yang sarat kekuasaan, kemewahan, dan kemegahan, tetapi semua itu tidak membuatnya mabuk dengan kekuasaan duniawi.