Pedih dan perih!
Entah mengapa, perasaan demikian itulah yang senantiasa menyergap seluruh benak dan kalbu ‘Abdul Malik bin ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz selepas ayahandanya menjadi penguasa Dinasti Umawiyyah yang ke-8.
‘Abdul Malik bin ‘Umar tahu, Ayahandanya dipilih berdasarkan prestasi dan kepribadiannya selama menjadi Gubernur Madinah dan Mekah. Selama menjabat sebagai gubernur di dua Tanah Suci itu, kedua wilayah tersebut menjadi kawasan yang stabil dan aman. Juga, didasarkan harapan kiranya selama menjadi orang nomor sang ayahandanya juga dapat mengendalikan pemerintahannya dengan sikap yang adil, bersih, dan bijak.
Meski demikian, ‘Abdul Malik bin ‘Umar tetap menyesal atas kesediaan sang ayahanda menerima amanah itu. Bukan karena menyesali perubahan gaya hidup sang ayahanda yang sebelumnya sarat dengan gemerlap duniawi dan kini berubah menjadi bagaikan seorang sufi. Tidak. Bukan itu. Dia menyesali tindakan tergesa sang ayahanda yang menerima amanah itu tanpa permusyarawatan kaum Muslim lebih dahulu. Menurutnya, tindakan sang ayahanda tidak dapat dibenarkan.
Selepas merenung, merenung, dan merenung, ‘Abdul Malik bin ‘Umar akhirnya memutuskan akan menyampaikan seluruh gelegak pikiran dan hatinya. Karena itu, suatu hari, ketika melihat sang ayahanda sedang tidak terlalu disibukkan dengan tugas kenegaraan yang tersangga di pundaknya, dia pun bergegas menemuinya.