Hasan duduk di ruang makan yang sederhana, menatap piring berisi nasi dan lauk di depannya. Suara kakak perempuannya yang tertua, Uum, terdengar lantang dan penuh emosi dari ruang tamu.
“Hasan, sia sampai kapan mau kaya gini terus?” suara Uum meninggi dengan logat Sunda, “Sia punya kemampuan, tapi kenapa nggak mau cari kerja? Sia pikir hidup ini bisa terus-terusan bergantung sama orang tua?”
Hasan hanya mengunyah makanan di mulutnya tanpa menjawab. Ia tahu Uum marah bukan tanpa alasan. Uum juga sempat menjadi tulang punggung keluarga setelah ayah mereka tua, dan beban itu seolah bertambah berat setiap hari.
“Dengar, Hasan!” Uum melangkah ke ruang makan, berdiri di depan Hasan yang masih sibuk dengan makanannya. “maneh kan bisa menyetir, coba ikut siapa ke. Minta kerjaan sama yang lain."
Hasan mengangkat wajahnya, menatap kakaknya dengan mata yang kosong. “saya tahu, Teh. Tapi...”
“gak ada tapi!” Uum memotong. “maneh nggak bisa terus-terusan begini. Harus bangkit dan melakukan sesuatu!”
Hasan menundukkan kepala lagi, merasakan beban berat di dadanya. Setelah makanannya habis, ia lalu bangkit untuk mencuci piring. Belum sempat ia bergerak, adiknya yang masih kecil, Sani, datang berlari-lari mendekatinya.
“Kak Hasan, aku mau uang jajan,” pintanya dengan manja.
Hasan menghela napas panjang. Ia merogoh saku celananya, tapi tidak menemukan uang sepeser pun. “Gak ada. Kakak nggak punya uang sekarang.”