Irfan Maulana duduk di bangku paling belakang kelas 11, di salah satu sekolah menengah swasta di desa nya. Pagi itu, sinar matahari yang menerobos jendela kelas memantulkan cahaya ke kertas ujian bahasa Indonesia yang ada di hadapannya. Ia menghela napas panjang, matanya menatap kosong ke soal-soal yang terasa semakin sulit dipahami. Teman-temannya sudah mulai sibuk mengisi lembar jawaban, sementara Irfan masih merangkai jawaban di pikirannya.
Irfan Maulana adalah anak bungsu dari tiga bersaudara. Kakak pertamanya, Irma, sudah menikah dan tinggal bersama Irfan. Sementara kakak keduanya, Rini, yang tinggal di ibukota. Ibu dan bapak Irfan tinggal di ibukota juga, menjalankan usaha daging yang sudah bertahan selama puluhan tahun. Bapak Irfan, Pak Syarif, adalah seorang pedagang daging yang terkenal di pasar. Ibu Irfan, Bu Siti, selalu membantu di toko daging mereka, memastikan semuanya berjalan lancar.
Irfan tinggal bersama Irma sejak dua tahun lalu, ketika ia memutuskan untuk melanjutkan sekolah di salah satu sekolah swasta yang reputasinya sangat baik. Irma dan suaminya, Kang Hadi, menyambut Irfan dengan tangan terbuka. Rumah orang tua Irfan cukup luas, dengan halaman belakang yang sering menjadi tempat bermain kedua anak mereka.
"Pong! Sudah selesai?" bisik Dani, teman sebangkunya, yang sudah mulai menggulung lembar jawaban. Irfan hanya mengangguk pelan. Ia sadar waktu ujian semakin sedikit, jadi ia berusaha fokus menyelesaikan soal-soal yang tersisa.
Setelah bel berbunyi, tanda waktu ujian habis, Irfan menghela napas lega. Ia mengumpulkan lembar jawabannya dan berjalan keluar kelas bersama Dani. Di luar kelas, teman-temannya sudah menunggu, siap membicarakan rencana mereka untuk akhir pekan.
"Irfan, main ke rumahku yuk besok. Kita mau nonton film baru," ajak Raka, salah satu teman dekatnya.
Irfan menggeleng pelan. "Maaf, aing mesti bantu teh Irma di rumah. Besok ada acara keluarga."
Raka mengerutkan kening. "Ah, kamu ini selalu aja sibuk di rumah. Main sekali-kali gak apa-apa kali."
"Dia kan anak rumahan, Ra," sela Dika sambil tertawa. "Makanya gak pernah kelihatan kalau akhir pekan."
Irfan tersenyum kecut. Ia sudah terbiasa dengan olokan seperti itu. Sejak kecil, ia memang sering berada di rumah, membantu kakak iparnya. Pak Syarif mendidiknya dengan disiplin yang ketat. Setiap pagi, sebelum berangkat sekolah, Irfan harus membantu kakak iparnya menyiapkan dagangan.