Setelah sekolah selesai, Irfan melangkahkan kaki keluar dari gerbang sekolah dengan perasaan ringan. Matahari sore mulai meredup, menguningkan langit dengan semburat oranye lembut. Ia memutuskan untuk singgah sejenak di warung langganannya, warung sederhana milik Wa Inah, yang terletak tidak jauh dari sekolah. Warung ini selalu menjadi tempat pelarian Irfan setelah hari-hari panjang di sekolah. Suasana hangat dan keramahan Wa Inah membuatnya merasa nyaman seolah berada di rumah sendiri.
Sesampainya di warung, Irfan disambut oleh aroma nasi goreng dan sambal yang mengepul dari dapur. Wa Inah, pemilik warung yang sudah dikenal baik oleh Irfan, sedang sibuk di belakang konter, mengaduk-aduk panci sambil sesekali melirik ke arah pintu. Irfan menaruh tasnya di kursi kayu yang terletak dekat jendela dan melangkah menuju meja di sudut yang sudah menjadi tempat favoritnya. Di meja itu, ia bisa menikmati pemandangan jalanan kecil yang ramai dengan pejalan kaki dan kendaraan yang berlalu-lalang.
Tapi hari ini, suasana di warung terasa berbeda. Ada tiga ibu-ibu yang duduk di meja dekat jendela, tampak sedang terlibat dalam percakapan serius. Irfan mengamati mereka sekilas sambil menyapanya. "Selamat sore, Wa Inah," katanya, lalu duduk di kursinya.
Wa Inah mengangguk dan membalas dengan senyum ramah. "Selamat sore, Pong. Nasi goreng atau mie ayam?"
"Nasi goreng, Wa," jawab Irfan sambil membuka buku catatannya. Ia mulai menulis beberapa catatan kecil untuk pelajaran yang baru saja dipelajarinya.
Di meja sebelah, perbincangan ibu-ibu tersebut semakin memanas. Irfan bisa mendengar sedikit demi sedikit potongan percakapan mereka.
"Ibu-ibu, anak saya, si Aisyah, baru saja lulus dari universitas," kata ibu yang tampaknya menjadi pusat perhatian. Wajahnya dipenuhi dengan kebanggaan. "Saya sangat bangga dia akhirnya mencapai titik ini. Tapi, sekarang dia malah bingung mau melanjutkan kemana. Sudah kuliah tinggi, tapi masih belum ada pekerjaan yang sesuai."
"Memang, Bu, pendidikan tinggi tidak selalu menjamin pekerjaan yang sesuai. Tapi, pendidikan tetap penting," sahut ibu yang duduk di sebelah kiri. "Si Andi, anak saya, misalnya, dia lulusan perguruan tinggi dan sekarang bekerja di perusahaan besar."
Ibu yang berbicara tadi mengangguk, tapi tampaknya masih merasa kurang puas. "Ya, tapi saya merasa, kadang-kadang, pendidikan tinggi itu tidak sepenting keahlian praktis. Lihatlah anak saya, Farhan. Dia hanya lulus SMP, tapi sekarang sudah punya bisnis yang berkembang pesat."