Iwan berdiri di depan cermin kecil di kamarnya, menatap bayangan dirinya dengan tatapan kosong. Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, cermin yang sama memantulkan sosok yang lelah dan putus asa. Tetapi kali ini, Iwan tahu ada sesuatu yang harus berubah. Keputusan sudah matang dalam benaknya : hari ini adalah hari terakhirnya di toko bangunan tempatnya bekerja.
Sudah hampir satu tahun Iwan bekerja di toko tersebut, dan selama itu pula dia merasakan perubahan yang signifikan dalam dirinya. Awalnya, pekerjaan itu tampak seperti jawaban atas kebutuhannya: pekerjaan yang stabil, gaji yang cukup, dan rekan-rekan kerja yang ramah. Namun, belakangan ini, ada satu sosok yang membuat segala sesuatu terasa sangat berbeda—Wahid.
Wahid adalah salah satu pekerja senior di toko bangunan tersebut. Usianya hampir lima puluh tahun, dan meskipun fisiknya mulai menua, dia masih memiliki otoritas dan pengalaman yang dihormati oleh banyak orang di toko. Sayangnya, pengalaman dan otoritas tersebut tampaknya mengarah pada sikap yang kurang bersahabat terhadap Iwan.
Setiap hari, Iwan merasa seolah-olah dirinya selalu menjadi target dari kebencian Wahid. Entah itu pekerjaan tambahan, tugas yang tidak berhubungan dengan deskripsi pekerjaan, atau sekadar komentar pedas tentang kinerjanya—Wahid selalu menemukan cara untuk membuat Iwan merasa tidak nyaman. Iwan sering kali pulang dalam keadaan stress, terbayang-bayang dengan kata-kata Wahid dan merasa bahwa semua kesalahan, besar atau kecil, menjadi tanggung jawabnya.
"Wok, tolong bersihkan gudang. Barang-barang di sana berantakan," kata Wahid satu hari dengan nada yang keras. Iwan tahu betul bahwa seharusnya pekerjaan tersebut tidak termasuk dalam tugasnya, tetapi dia hanya bisa mengangguk dan melakukannya, berharap bisa menghindari konflik lebih lanjut.
Hari itu, Iwan baru saja selesai membersihkan gudang yang berantakan. Ketika dia kembali ke area toko, Wahid sudah menunggunya dengan tatapan tajam. "Kenapa maneh lama sekali? Seharusnya udah selesai lebih cepat dari ini. Kalau kerja enggak serius, nanti kamu malah bikin repot semua orang," Wahid menyalahkan dengan nada sinis.
Setiap hari seperti ini. Iwan merasa semakin tertekan, dan rasa hormatnya terhadap Wahid semakin berkurang. Dia merasa diperlakukan tidak adil, padahal bosnya, Kang Dedi, jauh lebih memahami dan tidak separah Wahid dalam memberikan instruksi. Meskipun Kang Dedi terkadang menambahkan tugas tambahan, dia selalu melakukannya dengan cara yang menghargai kerja keras Iwan.
Iwan mulai mengumpulkan keberanian untuk berbicara dengan Kang Dedi tentang ketidaknyamanannya. Dia ingin memastikan bahwa semua ini tidak menjadi masalah besar, tetapi hanya ingin diselesaikan dengan cara yang baik. Namun, setiap kali dia berpikir untuk berbicara, keraguan selalu menghalanginya. Apakah Kang Dedi akan memahami situasinya? Atau dia akan malah menyalahkan Iwan karena tidak mampu menghadapi tekanan?
Akhir pekan itu, Iwan memutuskan untuk pergi ke warung kopi di dekat tempat kerjanya itu, tempat di mana dia bisa merenung dengan tenang. Dengan secangkir kopi hitam di tangan, Iwan duduk di sudut warung yang sunyi, memandang keluar jendela ke arah jalan yang ramai. Hatinya dipenuhi oleh kebimbangan dan rasa frustrasi.
Dia ingat hari-hari awal ketika dia pertama kali bekerja di toko bangunan. Dia datang dengan semangat dan harapan tinggi, percaya bahwa pekerjaan ini akan menjadi batu loncatan untuk masa depan yang lebih baik. Namun, harapan itu mulai pudar ketika dia harus menghadapi sikap Wahid yang tidak menyenangkan.
Saat itu, seorang pria tua yang duduk di meja sebelah menatap Iwan dengan cermat. "Maneh kaya orang yang sedang memiliki masalah besar," kata pria itu. Suaranya lembut dan penuh perhatian, kontras dengan kebisingan di luar.