Hari sudah merangkak malam ketika Hasan memandang jam di tangannya. Langit senja yang memerah menyambut mereka bertiga—Hasan, Iwan, dan Irfan—di pinggir jalan, menunggu waktu yang tepat untuk berangkat. Mereka sudah siap untuk perjalanan singkat ini. Motor milik Irfan terparkir di pinggir jalan, siap untuk menampung ketiganya dalam perjalanan malam ini.
"Jadi, Cong, apa kamu yakin si Wati akan ada di rumah?" tanya Iwan sambil memeriksa ponselnya, memastikan bahwa tidak ada pesan baru dari seseorang yang penting.
"Yakin, kok. Wati bilang dia di rumah malam ini. Makanya kita bisa langsung pergi sekarang," jawab Hasan dengan penuh keyakinan. Ia sudah merasa cukup akrab dengan Wati melalui chat di Facebook, dan malam ini adalah kesempatan emas untuk mempererat hubungan tersebut.
Irfan, yang menjadi pengendara motor malam ini, menghidupkan mesin dan memeriksa helmnya. "Ayo, kita berangkat. Keburu malam."
Dengan satu motor yang penuh sesak, mereka bertiga mulai melaju di malam yang tenang. Suara mesin motor dan hembusan angin menyertai perjalanan mereka. Mereka melintas jalanan desa yang sunyi, hanya diselingi oleh bunyi jangkrik dan gelegar suara dari pos ronda yang terletak di ujung jalan.
Sesampainya di depan pos ronda, Hasan memutuskan untuk turun dari motor. "Aing tanya dulu alamat rumah si Wati, ya. Biar kita enggak nyasar."
Iwan dan Irfan mengangguk. Hasan mendekati kelompok laki-laki yang sedang duduk di pos ronda. Mereka tampak sedang bercakap-cakap, tetapi segera berhenti saat Hasan mendekat.
"Punten, bapak-bapak. Maaf ganggu. Saya mau ke rumah Wati. Rumahnya disebelah mana ya pak?" tanya Hasan dengan sopan.
Seorang bapak yang lebih tua dari yang lainnya, dengan kumis lebat dan mata yang ramah, mengangkat kepalanya. "Oh, Wati. Anaknya pak Amin. Iya, rumahnya enggak jauh dari sini. Belok kiri di ujung jalan ini, lalu terus aja sampai ada pohon mangga besar dekat mushola. Rumahnya yang di pinggir mushola itu. Pokoknya warung itu rumah Wati."
"Hatur nuhun ya, Pak," kata Hasan sambil tersenyum. Ia kemudian kembali ke motor dan memberi tahu Iwan dan Irfan arah yang harus diambil.
Perjalanan dilanjutkan dengan suasana hati yang penuh semangat. Hasan sudah mempersiapkan beberapa hidangan kecil sebagai bentuk penghargaan atas sambutan mereka. Di salah satu plastik yang dibawanya, terdapat tiga loyang martabak manis yang menggugah selera. Sebagai tambahan, ia membawa dua bungkus rokok kretek sebagai hadiah kecil untuk bapak Wati.
Setibanya di depan mushola yang disebutkan, Hasan memandu Irfan untuk memasuki halaman rumah tersebut. Mereka melewati beberapa rumah sederhana dengan lampu yang redup, sampai akhirnya mereka tiba di rumah Wati. Rumah itu tampak sederhana, tetapi terasa hangat dengan lampu-lampu yang menyala di dalamnya.