Irfan baru saja selesai mengikuti pelajaran di sekolah. Seperti biasa, ia mengendarai sepeda motor tua miliknya yang sudah mulai berisik suaranya. Jalanan menuju rumahnya cukup sepi, dengan matahari yang masih menyinari siang itu dengan terik.
Namun, ketika melewati halaman sekolah yang sudah mulai sepi, pandangannya tertumbuk pada sosok anak kecil yang duduk termenung di bawah pohon mangga yang besar. Anak itu tampak menangis, dengan wajah yang kusut dan pakaian yang kumal. Irfan memperlambat laju motornya dan berhenti tak jauh dari tempat anak itu duduk.
"Kenapa, boy? Kok bisa nangis di sini?" tanya Irfan, turun dari motornya dan menghampiri anak kecil itu.
Anak itu mengusap air matanya, mencoba menghilangkan kesan cemas di wajahnya. Namun, jelas sekali bahwa ia baru saja menangis. Dengan mata yang masih merah, ia menatap Irfan.
"Ada apa? Kenapa menangis?" tanya Irfan lagi, kini dengan nada yang lebih lembut.
Anak itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengangguk. "Tadi... ada dua anak sekolah yang minta uang sama saya A. Mereka bilang kalau enggak kasih, nanti mereka pukul saya," kata anak itu dengan suara parau, seperti baru saja melalui pengalaman yang menakutkan.
Irfan mengernyitkan dahi, semakin prihatin. "Lalu, berapa duit kamu yang mereka ambil?"
"Lima ribu A," jawab anak itu, terisak sedikit. "Emak nyuruh saya beli ikan asin. Tapi duitnya malah dipalak sama mereka. Saya bingung mau gimana. Nanti pulang saya dimarahin emak."
Irfan menatap anak itu lebih lama. Ia melihat tangan kecil yang gemetar dan wajah yang pucat. Anak itu jelas sangat ketakutan. Tak ada salahnya membantu, pikir Irfan. Namun, di sisi lain, ia juga merasa bingung. Dalam sakunya hanya ada sepuluh ribu rupiah, dan itu pun hanya cukup untuk membeli bensin motornya, yang sudah hampir habis.
Setelah beberapa detik berpikir, Irfan akhirnya memutuskan untuk membantu. Ia mengeluarkan lima ribu rupiah dari saku nya dan menyerahkannya kepada anak itu.
"Ini, ambil. Kamu langsung ke warung terus beli ikan asin buat dibawa pulang," kata Irfan sembari tersenyum.
Anak itu tampak terkejut. Ia memandang Irfan dengan tatapan tidak percaya, lalu pelan-pelan mengambil uang tersebut. Wajahnya yang tadinya cemas, kini berubah menjadi riang.
"Hatur nuhun, A! Saya mau langsung ke warung!" katanya, melompat-lompat kegirangan. "Makasih ya A."
Irfan tersenyum. Ia merasa sedikit lega telah membantu. "Hati-hati ya, kalau ada yang malak lagi jangan di kasih, kamu langsung lari."