Irfan duduk di sudut tempat tidurnya, memandangi layar ponsel yang seakan menjadi satu-satunya teman di hari libur yang panjang ini. Hari itu, seperti hari-hari sebelumnya, dia merasa terjebak dalam kebosanan yang menyengat. Tidak ada yang bisa dilakukan selain membuka Facebook, scrolling tanpa tujuan, melihat status orang-orang yang tampaknya lebih punya kehidupan yang menarik daripada dirinya.
Hari sudah siang, dan Irfan seharian hanya berada di kamar. Kamar yang sempit dan sedikit berantakan itu mulai terasa seperti sebuah penjara. Tangannya kembali mengusap layar ponsel, membuka beranda Facebook, dan tanpa sadar matanya melayang ke arah daftar teman-temannya. Di situ, nama Santi muncul di bagian atas daftar teman yang baru saja menambahkannya.
Irfan menarik napas panjang. Ia sudah cukup lama mengirimkan permintaan pertemanan pada Santi, namun baru beberapa hari yang lalu Santi mengonfirmasi permintaannya itu. Santi, gadis yang sudah lama ia kenal di kelasnya, namun belum pernah sekalipun berbicara langsung dengannya. Irfan sering kali melirik foto-foto Santi yang ia lihat di beranda, memandangi dengan rasa ingin mengenal lebih jauh. Ada rasa kagum yang begitu dalam terhadap Santi, yang baginya seolah memiliki kehidupan yang lebih berwarna, lebih penuh petualangan, dan tentunya jauh lebih menarik daripada hidupnya yang sederhana.
Sejak permintaan pertemanan itu diterima, Irfan merasakan ada semacam kesempatan baru terbuka. Tapi, rasa cemas dan keraguan segera menyergapnya. Apakah sudah saatnya untuk mengirim pesan kepadanya? Bagaimana jika Santi merasa terganggu atau justru menganggapnya aneh? Irfan berulang kali menimbang-nimbang. Ia tahu bahwa memulai percakapan pertama kali dengan seseorang yang belum begitu dikenalnya memang bukan hal yang mudah.
Akhirnya, setelah berjam-jam bergelut dengan pikirannya sendiri, Irfan memutuskan untuk menulis pesan. Jari-jarinya menari-nari di atas layar ponsel, merangkai kata demi kata, mencoba membuatnya terdengar santai dan tidak terlalu berlebihan. Ia merasa, jika ia langsung mengungkapkan sesuatu yang terlalu serius, mungkin Santi akan merasa canggung. Maka, ia menulis pesan yang sederhana.
"Hai Santi, selamat siang. Terima kasih udah di konfirmasi. Saya Irfan, kamu tahu saya kan? Kita belum pernah ngobrol sebelumnya ya?"
Irfan menatap pesan itu sejenak, mencerna kembali kata-kata yang baru saja diketiknya. Beberapa detik berlalu, dan detak jantungnya mulai terasa semakin cepat. Apakah Santi akan merespons? Bagaimana jika tidak? Rasa cemas semakin menyelimuti dirinya, tetapi ia memberanikan diri untuk menekan tombol kirim. Setelah itu, ia meletakkan ponselnya di atas meja, mencoba untuk tidak terlalu memikirkannya.
Ia kembali membuka beranda Facebook, menyegarkan halaman beberapa kali, seolah dengan cara itu ia bisa melihat balasan dari Santi lebih cepat. Namun, hingga beberapa menit berlalu, belum ada tanda-tanda balasan. Santi belum membalas. Irfan menghela napas, merasa aneh dengan dirinya sendiri. Kenapa ia merasa begitu gelisah hanya karena menunggu pesan yang belum dibalas?
Lama-kelamaan, perasaan gelisah itu perlahan-lahan mereda. Ia mencoba menenangkan diri dan berusaha tidak terlalu memikirkannya. Namun, rasa cemas itu tetap menggantung di atas kepalanya, membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang hilang. Kenapa tidak ada balasan? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah Santi membaca pesannya dan memutuskan untuk tidak membalasnya? Irfan merutuk dalam hati. Mungkin dia terlalu terburu-buru mengirim pesan.
Tapi, dia juga tahu, ini adalah bagian dari proses. Percakapan pertama memang selalu rumit. Tak ada yang bisa memastikan bagaimana reaksi orang lain, apalagi jika hubungan antara dua orang itu masih sangat baru. Irfan menyadari bahwa ia hanya bisa menunggu, meskipun itu terasa seperti penantian yang panjang.