Hari itu, Hasan merasa hatinya ringan. Setelah sepekan bekerja keras sebagai supir cadangan, atau lebih sering disebut kondektur, ia akhirnya bisa merasakan hasil jerih payahnya. Tak besar memang, hanya cukup untuk menutupi biaya sewa sepeda motor dan sedikit uang saku. Namun, bagi Hasan, itu adalah kemenangan kecil yang patut dirayakan. Ia tahu betul, setelah berbulan-bulan hidup pas-pasan, kesempatan seperti ini tidak datang setiap hari.
Hasan menatap lembaran uang yang ada di genggamannya. Sejenak, ia teringat akan Wati, gadis yang selama ini membuat hatinya berbunga-bunga. Ada satu rencana yang sudah disiapkan jauh-jauh hari. Dengan uang yang baru ia dapatkan, Hasan berniat mengajak Wati ke pantai. Tentu saja, ia tidak ingin pergi sendirian. Ia ingin membawa teman-temannya, Irfan dan Iwan, agar perjalanan itu lebih seru. Mungkin juga, sedikit banyak, dapat memperkenalkan Wati pada dunia yang lebih luas, jauh dari rutinitas sehari-hari mereka.
Di sebuah pos ronda tempat nongkrong mereka, Hasan bertemu dengan Irfan dan Iwan. Mereka duduk bersila, menikmati segelas kopi panas. “Gimana, Wok? Siap enggak?” tanya Hasan kepada Iwan, yang sejak tadi tampak gelisah memainkan ponsel Irfan yang sedari tadi dipinjam untuk mengabari Wati.
“Siap lah. Aing udah nyewa motor dua dari anak-anak. Tapi masalahnya, Wati bawa temennya gak?” jawab Iwan, matanya masih tertuju pada layar ponsel. Ia tahu, perjalanan ini bukan sekadar pelarian dari rutinitas, tetapi juga kesempatan untuk bertemu dengan orang baru.
“Bawa, tapi cuma satu. Temannya yang lain katanya susah diajak, banyak alasan,” kata Hasan, menggaruk kepalanya yang gatal. Ia memang berharap bisa membawa lebih banyak teman Wati, agar suasana lebih ramai. Namun, tak masalah. Yang penting, ia dan Iwan bisa membawa Wati dan temannya ke pantai.
Irfan yang sejak tadi diam, tiba-tiba menyela, “Aing mah gak ikut, deh. Gak punya uang buat jajanin cewek nanti.” Ia memang lebih memilih untuk tidak ikut daripada merasa serba salah di tengah perjalanan nanti. Bagaimanapun, Irfan merasa tak pantas berperan sebagai 'juru bayar' jika hanya ada satu gadis yang ikut.
“Aduh gimana ya, Pong. Ya udah deh. Nanti lain kali kalau ada kesempatan kita jalan lagi bareng, harus bawa cewek satu-satu,” jawab Hasan dengan tegas, berusaha meyakinkan teman-temannya. “Yang penting kita punya waktu dan uang kalau mau jalan-jalan.”
Irfan mengangguk dan memutuskan untuk tidak ikut. Ia lebih memilih untuk tetap di rumah, memikirkan rencana lain yang lebih sederhana.
Perjalanan dimulai setelah Hasan memastikan semuanya siap. Ia sudah menyiapkan dua sepeda motor yang disewa dari teman-temannya di kampung. Sepeda motor itu cukup untuk perjalanan menuju pantai, meskipun jalannya agak berliku dan menanjak. Wati sudah menunggu di rumahnya, bersama teman perempuannya yang bernama Munah. Saat Hasan dan Iwan tiba, mereka langsung meluncur, dengan Hasan membonceng Wati, dan Iwan membonceng Munah.
Wati tampak senang, meskipun sedikit canggung. Ia jarang pergi ke pantai, apalagi dengan seorang pacar. Namun, suasana hati Hasan yang ceria membuatnya sedikit lebih santai. Hasan selalu tahu bagaimana cara menghidupkan suasana, dengan guyonannya yang kadang-kadang lucu dan tanpa beban. Di sepanjang jalan, mereka berbicara banyak hal. Hasan bercerita tentang pengalaman kerjanya sebagai supir cadangan, tentang betapa sulitnya mencari uang, dan tentang impiannya suatu hari nanti bisa memiliki usaha sendiri. Wati hanya mendengarkan, sesekali tertawa atau memberikan tanggapan ringan.