Iwan melangkah gontai di sepanjang jalan setapak yang membentang di depan rumahnya, matanya terpejam sejenak, meresapi sisa hawa segar laut yang menghembuskan angin ke wajahnya. Setelah seharian menghabiskan waktu di pantai, tubuhnya terasa lelah. Tetapi ada satu hal yang mengganggu pikirannya, membayangi setiap langkah yang diambil. Sesampainya di rumah, aroma masakan neneknya tercium samar dari dalam rumah. Seperti biasa, nenek selalu sibuk di dapur, meskipun usia yang sudah menginjak senja.
Namun, begitu Iwan membuka pintu rumah, ia segera merasakan ada yang berbeda. Rumah itu sunyi. Tidak terdengar suara riang neneknya yang biasanya sibuk dengan kegiatan sehari-hari. Iwan melangkah masuk perlahan, lalu menemukan sang nenek terbaring lemah di tempat tidur, tubuhnya tampak pucat dan wajahnya terlihat sangat lesu. Ia buru-buru mendekat, hati Iwan mendadak cemas.
"Mak... Kenapa?" Iwan bertanya dengan nada khawatir, suaranya sedikit gemetar.
Nenek menoleh pelan, seakan berusaha tersenyum meskipun itu tampak sulit dilakukan. "Enggak apa-apa. Emak cuma merasa sedikit lelah," jawab nenek dengan suara pelan, mencoba menenangkan cucunya.
Namun, Iwan merasa tidak bisa tinggal diam. Ia tahu betul bahwa kondisi neneknya tidak seperti biasanya. Neneknya yang selalu kuat dan penuh semangat kini tampak sangat berbeda. Iwan mengamati wajah neneknya dengan seksama, dan sebuah perasaan takut menyelinap dalam dirinya.
"Mak, emak pasti sakit. Ini bukan cuma lelah biasa kan? Iwan harus bawa emak ke puskesmas." Namun Iwan merasa gelisah. Ia tidak punya uang, sedangkan gaji bulan lalu yang ia dapat sudah dipakai oleh banyak kebutuhan. Ditambah lagi ia baru saja berhenti bekerja. Tapi bagaimana pun Iwan mesti mencari uang agar bisa membawa neneknya berobat.
Nenek menggerakkan tangannya lemah, menepuk tangan Iwan dengan lembut. "Wan, jangan khawatirkan emak. Emak udah tua, ini cuma sakit biasa aja. Jangan terlalu khawatirkan emak, nanti juga sembuh," ujar nenek, mencoba tersenyum meskipun tubuhnya tampak sangat lemah.
Namun, Iwan tidak bisa begitu saja membiarkan neneknya terbaring lemah. Ia merasa perlu melakukan sesuatu, meski keadaan keuangan sedang sulit. Segera setelah itu, Iwan keluar dari rumah dan berjalan menuju rumah pamannya, yang tinggal tidak jauh dari situ. Iwan berharap pamannya bisa membantunya untuk membawa nenek berobat.
Sesampainya di rumah sang paman, Iwan langsung menceritakan kondisi neneknya yang sedang sakit. Dengan nada penuh harap, ia berkata, "Mang, tolong bantu Iwan. Emak sedang sakit. Iwan ingin bawa emak ke puskesmas, tapi Iwan lagi enggak pegang uang."
Paman yang sedang duduk di ruang tamu mendengarkan cerita Iwan dengan seksama. Namun sang paman justru tertunduk layu.
Keduanya paham betul bahwa mereka tidak memiliki uang. Paman Iwan, seorang pekerja serabutan yang kadang tidak menentu pendapatannya, juga tahu betapa sulitnya keadaan saat ini.
"Apa kamu yakin emak perlu segera dibawa ke puskesmas, Wok?" tanya paman, mencoba mencari tahu lebih banyak sebelum memberikan jawaban.
Iwan mengangguk. "Iya, Mang. Emak terlihat pucat sekali. Iwan nggak bisa tinggal diam. Iwan ingin membawanya berobat."
"Ya udah, nanti mamang coba cari pinjaman uang dulu. Setelah dapat mamang akan segera ke rumah." Kata pamannya yang membuat Iwan sedikit agak lega walau uang itu belum pasti di dapat.
Setelah dari rumah sang paman, Iwan juga menemui Hasan dan Irfan. Ia akan mencoba meminjam uang kepada sahabatnya. Ia harap kedua sahabatnya itu dapat menolong Iwan yang saat ini sedang dalam keadaan sulit.