Para Pencari Cinta

Topan We
Chapter #25

Menggadaikan Sweater

Pagi itu, Iwan duduk termenung di sebuah warung kopi kecil di pinggir jalan, menatap layar ponselnya yang menampilkan pesan singkat melalui inbox dari teman lama. Berita yang ia terima membuat hatinya bergejolak. Bapaknya, pria yang sudah lama tidak ia temui, baru saja menjual tanah warisan dari kakeknya. Tanah yang selama ini dianggap sebagai harta satu-satunya yang bisa membantu Iwan di tengah kesulitan hidupnya. Iwan sudah lama tidak memiliki hubungan baik dengan bapaknya. Sejak perpisahan orang tua mereka, hubungan mereka semakin renggang, dan Iwan, yang saat itu masih kecil, harus tinggal bersama ibunya yang berjuang sendirian untuk membesarkannya.

Iwan tahu, dengan uang hasil penjualan tanah itu, mungkin bisa mencukupi kebutuhan sehari-harinya bersama sang nenek. Ia bisa melunasi utang-utang yang semakin menumpuk, atau setidaknya bisa sedikit bernapas lega. Ia memutuskan untuk mengunjungi bapaknya dan meminta sebagian uang dari penjualan tanah tersebut.

"Pong, kamu bisa temani aku enggak?" Iwan bertanya kepada sahabatnya, Irfan, yang duduk di meja sebelah, sibuk dengan ponselnya.

Irfan menatap Iwan, agak terkejut mendengar ajakan itu. Mereka sudah lama tidak membicarakan tentang keluarga Iwan. Irfan tahu betul betapa rumitnya hubungan Iwan dengan bapaknya, namun ia juga tahu bahwa Iwan tidak pernah berhenti berharap bisa mendapatkan perhatian dari bapaknya.

"Ayo berangkat, Wok. Lagian, udah lama juga kan kamu enggak ke sana? Kalau enggak dicoba, kamu enggak akan tahu." Irfan menjawab, sambil meletakkan ponselnya dan berdiri.

"Ya udah ayo kita berangkat." Iwan tersenyum tipis, namun dalam hatinya, ia merasa cemas. Rasa cemas yang sudah bertahun-tahun ia pendam. Cemas tentang reaksi bapaknya, cemas tentang apakah ia akan mendapatkan apa yang ia harapkan, ataukah malah kembali menerima kekecewaan.

Perjalanan menuju rumah bapaknya membutuhkan waktu berjam-jam. Iwan dan Irfan berangkat dengan sepeda motor milik Irfan. Sepanjang perjalanan, hanya suara mesin motor dan angin yang berdesir di sekitar mereka. Iwan berkendara dengan konsentrasi penuh, meskipun pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi di sana.

"Wok, kamu yakin bakal dapet uang dari bapakmu?" tanya Irfan, memecah keheningan di perjalanan.

Iwan hanya mengangguk pelan. "Moga aja Pong. Aku enggak punya pilihan lain. Satu-satunya yang aku tahu, dia baru jual tanah itu. Mungkin dia bisa bantu."

Irfan diam sejenak, mencoba memahami perasaan sahabatnya. "Aing ngerti Wok. Tapi inget, apapun yang terjadi, jangan terlalu kecewa ya."

Iwan menatap jalanan yang terus terbentang, dan rasa cemasnya semakin dalam. Entah kenapa, ia merasa pertemuan itu tidak akan seperti yang ia harapkan. Seolah ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk benar-benar dekat, meskipun ia sudah sangat mengharapkan perhatian dari bapaknya.

Namun, perjalanan mereka tidak berjalan mulus. Tiba-tiba motor Iwan berhenti di tengah jalan. Mereka kehabisan bensin.

"Aduh, Wok, kayaknya bensin abis!" seru Irfan, menendang ringan kaki motor. Dan segera memeriksa tanki motornya. Dan benar saja. Sudah tidak terlihat sedikit pun bensin di dalam tanki.

Irfan menatap ke sekeliling, tak ada pom bensin di sekitar mereka, hanya jalan panjang yang sepi. Mereka berdua hanya bermodalkan nekad untuk datang ke rumah bapak Iwan, tidak membawa uang untuk bekal di perjalanan dan tidak ada pilihan lain selain mencari cara agar bisa melanjutkan perjalanan.

"Sweater kamu, Wok. Kayaknya sweater kamu masih bagus buat di gadein," kata Irfan setelah beberapa saat diam, sambil menatap sweater yang dipakai Iwan.

Lihat selengkapnya