Para Pencari Cinta

Topan We
Chapter #26

Kacong Meminta Restu Orang Tua Wati

Malam itu, udara di kampung terasa lebih sejuk dari biasanya. Angin semilir berhembus pelan, membawa bau tanah yang baru saja diguyur hujan. Hasan, berkunjung ke rumah Wati. Melaju dengan cepat, namun hatinya berdebar-debar. Malam ini berbeda dari malam-malam sebelumnya. Bukan hanya karena ia akan menemui orang tua Wati, tetapi juga karena malam ini adalah malam pertama ia menghadap mereka dengan niat yang lebih serius—meminta restu.

Sudah lebih 6 bulan sejak ia dan Wati berkenalan. Selama itu, mereka berbagi tawa, cerita, dan harapan. Wati, telah menjadi bagian dari kehidupan Hasan. Mereka berdua saling menjaga satu sama lain, tetapi di balik hubungan itu, ada satu hal yang selalu menjadi beban pikiran Hasan : uang.

Hasan tahu betul bahwa sebelum bisa melangkah lebih jauh dengan Wati, ia harus menyiapkan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata indah. Ia butuh modal untuk mempersiapkan pernikahan mereka kelak. Bukan hanya uang untuk pesta, tetapi juga untuk memulai kehidupan baru bersama Wati.

Setiap malam, setelah pulang kerja sebagai seorang pekerja panggilan, Hasan akan menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk menabung. Namun, rasanya uang yang terkumpul masih jauh dari cukup. Ia memutuskan untuk mengambil langkah lebih jauh lagi—bertani, menanam cabai dan terong. Ia membeli bahan-bahan, lalu memulainya sendiri, dan menjualnya ke warga sekitar kampung.

“Wati pasti akan bangga jika aku bisa menyediakan kehidupan yang baik untuknya nanti,” bisik Hasan dalam hati saat melangkah lebih cepat menuju rumah Wati.

Hari itu, ia membawa dua bungkus rokok kretek sebagai tanda penghormatan kepada bapak Wati, serta tiga loyang martabak manis yang ia harap bisa membuat suasana semakin hangat.

Hasan mengetuk pintu rumah Wati. Tak lama, pintu terbuka, dan Wati menyambutnya dengan senyum manis yang selalu membuat jantungnya berdebar. Wati mengenakan kain batik sederhana dengan rambut yang diikat rapi. Senyum Wati selalu membuat hati Hasan lebih tenang, tetapi malam ini, dia merasa cemas. Cemas dengan apa yang akan terjadi setelah percakapan ini.

"Aa! Selamat malam," sapanya dengan suara lembut.

"Selamat malam, Neng. Gimana kabar kamu?" tanya Hasan dengan senyum yang dipaksakan, meski dalam hatinya sedang berkecamuk.

"Alhamdulillah. Kenapa enggak datang sama 2 sahabatmu? Iwok dan Ipong?" Wati bertanya sambil melangkah mundur, memberi jalan bagi Hasan untuk masuk ke rumah.

"Ah, malam ini aku hanya ingin datang sendiri. Ada beberapa hal yang ingin aku bicarakan dengan orang tua kamu," jawab Hasan, sedikit ragu.

Lihat selengkapnya