Iwan duduk termenung di bawah pohon mangga yang rindang di halaman rumahnya. Di luar, angin sore bertiup sepoi-sepoi, membawa aroma tanah basah setelah hujan beberapa jam yang lalu. Suasana tenang di desa kecilnya tak mampu mengusir kegelisahan yang menguasai pikirannya. Pandangannya terarah pada dedaunan di sekitarnya, tapi hatinya kosong, terhimpit oleh beban hidup yang semakin berat.
Selama ini, ia hidup dengan neneknya yang sudah renta, dan kini sakit-sakitan. Kehidupan mereka yang sederhana semakin sulit karena harga bahan kebutuhan pokok yang terus merangkak naik.
Iwan sudah mencoba mencari pekerjaan di desa, tetapi peluangnya sangat terbatas. Beberapa kali ia bekerja serabutan, tetapi penghasilannya tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, apalagi untuk membeli obat bagi neneknya yang kondisinya semakin buruk.
Satu-satunya harapan Iwan adalah merantau. Ia mendengar kabar dari temannya, yang baru beberapa bulan lalu kembali dari Jakarta setelah bekerja di sana. Temannya bercerita bahwa di ibukota banyak pekerjaan yang bisa menghasilkan uang lebih banyak daripada di desa. Kata teman Iwan, meskipun Jakarta penuh dengan tantangan, peluang yang ada di sana jauh lebih besar. Iwan tak bisa menahan godaan untuk mengikuti langkah Hasan. Ia merasa inilah satu-satunya cara agar hidupnya bisa berubah.
Suatu sore, setelah beberapa minggu bertanya-tanya dan memikirkan langkah yang harus diambil, Iwan memutuskan untuk menghadap neneknya. Dengan hati berdebar, ia memberanikan diri untuk mengutarakan niatnya.
“Mak, Iwan kayanya bakal pergi ke Jakarta,” ujar Iwan dengan suara pelan, tapi tegas.
Neneknya yang sedang duduk di kursi menatapnya dengan mata yang sayu. Tak ada ekspresi yang jelas di wajahnya, hanya sedikit kerutan di dahi yang menandakan ia sedang memikirkan cucunya.
“Jakarta? Kamu mau kerja?” tanya neneknya, suaranya serak.
“Iya. Iwan ingin mencari kerja di sana, Mak. Iwan tahu kalau di desa susah. Kalau Iwan kerja di Jakarta, mungkin kebutuhan kita bisa sedikit lebih baik,” jawab Iwan dengan penuh keyakinan.
Neneknya terdiam, seolah merenung. Setelah beberapa saat, ia menghela napas panjang dan berkata, “Keputusan ada di tangan kamu. Kalau itu yang kamu pikirkan, pergilah. Ingat bekerjalah dengan baik dan hati-hati. Emak cuma bisa doain kamu.”
Iwan merasa terharu. Ia memeluk neneknya dengan erat, berjanji untuk mendengar nasihat sang nenek.
Sejak saat itu, Iwan mulai menyiapkan segala keperluannya untuk merantau. Uang yang ia kumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil kerja serabutan akhirnya bisa digunakan untuk bekal di Jakarta.