Para Pencari Cinta

Topan We
Chapter #34

Kerikan Maut

Malam itu, Iwan menutup pintu rumah makan dengan hati-hati. Ia mengecek seluruh sudut restoran, memastikan tidak ada yang tertinggal. Tak ada lagi pelanggan yang datang sejak jam sepuluh tadi. Setelah menaruh kunci pada tempatnya, ia menoleh ke Lastri, teman kerjanya yang tengah mengikat rambutnya di dekat pintu keluar.

Lastri tersenyum kecil. "Ayo, Wok. Udah kelar semua kan?" tanyanya sambil menatap Iwan yang tengah menuruni tangga menuju ruang makan utama.

"Iya, udah. Semua aman. Ayo balik," jawab Iwan dengan senyum lebar. Sejak beberapa bulan lalu mereka bekerja bersama di rumah makan milik Pak Beni, hubungan mereka semakin akrab. Lastri adalah satu-satunya teman perempuan yang cukup dekat dengan Iwan di kontrakan mereka.

Pak Beni, pemilik rumah makan yang kini tengah berkembang pesat, memiliki kebijakan yang cukup unik. Ia menyediakan kontrakan khusus bagi karyawannya. Rumah dua lantai itu dibagi sesuai dengan jenis kelamin; lantai bawah dihuni oleh karyawan perempuan, sementara lantai atas dihuni oleh karyawan laki-laki. Sebuah bentuk perhatian yang praktis bagi Pak Beni, yang menginginkan karyawannya merasa nyaman saat bekerja.

Iwan dan Lastri tinggal di kontrakan yang tidak jauh dari tempat mereka bekerja. Meski malam itu kerjaan mereka tidak terlalu berat, Iwan merasakan kelelahan. Pengunjung yang datang ke rumah makan juga tidak seramai hari-hari sebelumnya. Setelah beberapa saat di jalanan, mereka tiba di kontrakan yang telah mereka anggap seperti rumah sendiri.

"Badanku kaya mau demam begini, Wok," kata Lastri dengan nada pelan saat mereka memasuki kontrakan.

Iwan menatapnya. "Yah pasti kecapean" kata Iwan sambil membuka sepatu.

"Ya udah, kamu istirahat aja dulu, biar aku yang beres-beres," kata Iwan, merasa sedikit cemas namun tidak tahu harus berbuat apa.

Sesampainya di kontrakan, suasana agak sepi. Beberapa teman mereka yang lain sudah pergi keluar. Iwan dan Lastri pun langsung menuju kamar masing-masing. Mereka biasanya tidak begitu lama berada di kontrakan setelah kerja, namun malam itu Lastri merasa ada yang berbeda.

Di dalam kamar, Iwan duduk di kasurnya, membuka ponsel, dan mulai membalas beberapa pesan dari gadis yang sedang ia dekati. Senyum tipis menghiasi wajahnya saat membaca kata-kata manis yang dikirimkan gadis itu, yang tak lain adalah Lia. Namun, ketenangan itu tidak bertahan lama.

Tiba-tiba, Iwan mendengar suara pintu terbuka pelan, dan ketika ia menoleh, Lastri sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Wajahnya tampak lesu, dan matanya menunjukkan tanda-tanda kelelahan.

"Kenapa, Las?" tanya Iwan sambil mengangkat alis, sedikit terkejut melihat Lastri sudah ada di kamarnya.

Lastri tersenyum lemah. "Bisa tolong... bantu aku enggak?" tanyanya pelan.

Iwan yang belum sepenuhnya memahami apa yang dimaksud, duduk lebih tegak di kasurnya. "Tolong apa?"

Lihat selengkapnya