Keesokan harinya, setelah obrolan singkat dengan Irfan semalam, Hasan merasa ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Ia akan berangkat bekerja ke tempat yang jauh, dan itu berarti kesempatan untuk bertemu dengan Wati akan semakin terbatas. Walaupun hari-harinya banyak hal bagi mereka yang menyenangkan, namun ada yang belum Hasan lakukan, sesuatu yang penting untuk menunjukkan betapa ia sayang pada Wati. Tanda mata. Sesuatu yang bisa mengungkapkan perasaannya dengan cara yang lebih nyata daripada kata-kata.
Tanpa membuang waktu, Hasan pun bergegas menuju rumah Irfan. Ia tahu, sahabatnya itu bisa memberinya saran—meskipun terkadang saran-saran dari Irfan lebih kepada hal-hal yang tidak terduga. Sejak tadi pagi, ia sudah berusaha berpikir keras tentang apa yang bisa ia berikan kepada Wati. Namun ide-ide itu selalu saja kalah dengan keraguan. Apakah Wati akan menyukainya? Apakah hadiah itu cukup berarti?
Saat Hasan sampai di rumah Irfan, ia langsung memasuki kamarnya. Irfan sedang duduk santai di atas kasur, menatap layar ponselnya.
"Cong, ada yang mau aku tanya nih," ujar Hasan, sambil duduk di sisi Irfan.
Irfan menoleh. "Serius amat kayanya?"
"Apa ya, hadiah apa si yang cocok buat Wati?" tanya Hasan ragu, wajahnya sedikit memerah. "Kayaknya aku harus kasih sesuatu sebelum aku nanti berangkat ke Kalimantan."
Irfan mengerutkan kening. "Hadiah? Hmm…" Ia mulai berpikir, namun setelah beberapa detik, ia hanya mengangkat bahu. "Aku sih enggak pernah kepikiran kaya gitu. Soalnya aku enggak pernah ngasih hadiah ke cewek, apalagi ke pacar. Jadi, enggak tahu."
Hasan terlihat kecewa, tetapi segera berusaha tenang. "Kasih apa ya?"
Irfan tertawa kecil. "Eh, bentar deh, aing ada sesuatu nih di lemari. Coba nanti lihat." Irfan bangkit dan menuju ke lemari kayu di sudut ruangan. Ia membuka pintunya dan mengambil sesuatu dari dalam. Ternyata, itu adalah sebuah boneka kecil yang sudah agak usang, hanya sedikit berdebu, namun masih layak untuk dijadikan hadiah.
Hasan memandang boneka itu dengan heran. "Apa ini? Kenapa kamu simpen di sini? Buat siapa, Pong?"
Irfan tampak sedikit kikuk. "Dulu sih, tadinya aku mau ngasih boneka ini ke cewek yang aku suka. Tapi entah kenapa, sampai sekarang aku belum nemuin cewek yang pas. Jadi ya, boneka ini masih di simpen aja, di lemari. Mau enggak?"
Hasan terdiam sejenak, memandangi boneka itu. "Hmm… boleh juga, nih. Berarti aku ngasih ini ke Wati?" katanya dengan semangat.