Hari itu perasaan hati Ani begitu bahagia. Seorang gadis desa yang sudah lama menjadi idaman seorang pria. Desa yang tidak begitu besar, namun tenang dan damai. Pagi-pagi, Ani sudah keluar rumah, menuju kebun milik keluarganya yang terletak tak jauh dari rumah. Rambut panjangnya yang tergerai tertiup angin sepoi-sepoi, dan wajah manisnya semakin memancar di bawah sinar matahari pagi.
Namun, yang lebih menarik perhatian Ani hari itu bukanlah aktivitasnya di kebun, melainkan pesan inbox di handphone-nya. Itu adalah pesan dari Irfan, seorang pemuda yang berasal dari desa sebelah yang entah kenapa sudah cukup sering menghubunginya belakangan ini.
Irfan, pemuda yang tidak begitu ia kenal sebelumnya, tiba-tiba muncul dalam hidupnya beberapa bulan terakhir. Ia memulai perkenalan melalui Facebook. Awalnya, Ani merasa ragu. Bagaimana bisa seseorang yang berasal dari desa yang berbeda, bahkan sekolahnya pun tak sama, tiba-tiba tertarik padanya? Namun, rasa penasaran itu perlahan-lahan mengalahkan keraguannya. Lagi pula, siapa yang tidak tertarik jika ada seseorang yang memberi perhatian?
Pesan yang baru saja masuk adalah sebuah ajakan untuk bertemu lagi. Tertulis sederhana, “Hai Ani, ada waktu kosong enggak? Nanti aku mau ketemu kamu sebentar.”
Irfan, yang dikenal sebagai sosok introvert, selalu berbicara dengan hati-hati. Tidak pernah terburu-buru dalam melakukan apa pun. Awalnya, Ani mengira mungkin ini hanya sebuah percakapan biasa. Namun seiring berjalannya waktu, mereka semakin sering berbicara, baik lewat chat inbox maupun sesekali bertemu di tempat yang tidak terduga.
Meskipun berasal dari kampung sebelah, Irfan tidak pernah merasa canggung untuk datang. Kadang tanpa pemberitahuan sebelumnya, ia muncul di jalan setapak yang menghubungkan kedua desa mereka. Ani tidak pernah merasa terganggu. Justru, ia mulai menantikan pertemuan-pertemuan tak terduga itu.
Pada pertemuan pertama, Irfan terlihat gugup, matanya tidak bisa diam. Namun, dalam kesederhanaannya, Ani bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam diri Irfan. Ia bukanlah tipe cowok yang suka berbicara banyak. Tapi sekali mengeluarkan gombalan mautnya, Irfan akan mampu meluluhkan perasaan wanita yang ia idamkan, termasuk Ani.
Irfan memang memiliki cara yang berbeda dibandingkan dengan cowok-cowok di desa Ani yang cenderung banyak bicara dan suka menggoda. Walaupun wajahnya biasa saja, tapi Ani merasa ada ketenangan dalam diri Irfan yang cukup memikat.
Setelah mengenal lebih jauh, Ani sudah mengetahui bahwa Irfan sebelumnya sempat dekat dengan Santi, gadis yang satu sekolah dengan Irfan di desa sebelah, Ani tidak merasa canggung. Santi adalah orang yang terkenal di kalangan teman-teman mereka, sementara Ani hanyalah gadis desa biasa. Tetapi Irfan selalu menunjukkan sikap yang berbeda padanya.
Ani bisa merasakan bahwa walaupun Irfan sempat kecewa karena cintanya ditolak oleh Santi, ia tetap mencoba membangun hubungan yang lebih baik dengan Ani. Itu terasa jelas dari setiap pesan yang dikirimkannya. Tidak ada yang terburu-buru. Semua berlangsung secara alami, tanpa paksaan.
Satu hal yang sangat berbeda antara Ani dan Santi, di mata Irfan, adalah cara mereka mendengarkan. Santi, yang selalu tampak penuh percaya diri, kadang malah terkesan lebih sibuk dengan dirinya sendiri. Sementara Ani, meski tidak begitu banyak bicara, selalu mendengarkan dengan penuh perhatian. Irfan merasa nyaman dalam percakapan-percakapan sederhana itu.
Bulan demi bulan berlalu. Irfan yang dulu dikenal sebagai sosok yang sering menyendiri kini menjadi lebih terbuka. Kadang, ia datang menemui Ani hanya untuk sekadar duduk berdua, menikmati suasana alam yang masih asri sambil berbicara hal-hal ringan. Dari sana, perlahan-lahan rasa saling tertarik tumbuh.
Hari itu, ketika mereka bertemu lagi di sebuah kebun di tepi desa, Ani merasakan ada yang berbeda dalam diri Irfan. Matanya tampak lebih bercahaya, dan bibirnya seolah ingin mengungkapkan sesuatu. Sebelumnya, meskipun mereka sering menghabiskan obrolan lewat Facebook, Irfan selalu berhati-hati. Tidak pernah ada pembicaraan serius tentang hubungan mereka.
Namun, Ani bisa merasakan ada yang berubah.
“Irfan, kamu kenapa? Ada yang ingin kamu bicarakan?” tanya Ani, sedikit khawatir.
Irfan menatapnya sejenak. Dengan pelan, ia berkata, “Iya. Aku sebenarnya udah lama ingin mengungkapkan sesuatu, tapi aku bingung harus mulai dari mana.”
“Apa itu?” tanya Ani, semakin penasaran.
Irfan menghela napas. “Aku... aku suka sama kamu. Sejak aku tahu kamu. Dari situ mulai tumbuh kekaguman dan perasaan lebih kepada kamu.”