Iwan menatap layar ponselnya yang gelap, berusaha mencari informasi yang bisa memberi petunjuk tentang ke mana langkah selanjutnya harus dia tuju. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Pak Agan, seorang polisi yang selama ini selalu membantunya dalam menjalankan misinya yang berbahaya. Pesan itu mengingatkan Iwan akan ancaman yang mengintai dirinya. Preman-preman yang selama ini ada di bawah kendali bandar obat-obatan terlarang yang sering Iwan laporkan kepada polisi kini sedang mencari dirinya. Mereka pasti tahu betul bahwa Iwan adalah sumber informasi yang paling sering memberi mereka petunjuk berharga. Tak ada waktu lagi untuk ragu. Iwan tahu, ancaman kali ini jauh lebih serius.
Iwan hanyalah seorang karyawan di sebuah rumah makan, yang pada pandangan banyak orang mungkin hidupnya biasa-biasa saja. Namun, apa yang tidak diketahui oleh banyak orang, termasuk keluarganya, adalah peran penting yang dia mainkan dalam penangkapan sejumlah bandar narkoba besar di ibukota. Semua berawal dari rasa bosan dengan hidup yang biasa-biasa saja. Iwan merasa gajinya sebagai seorang karyawan rumah makan yang tidak seberapa, terlalu kecil untuk memenuhi semua kebutuhan dan harapannya. Ia ingin lebih. Iwan pun mulai melibatkan diri dalam dunia gelap yang penuh risiko. Tanpa pikir panjang, ia bekerjasama dengan aparat kepolisian yang membutuhkan orang di lapangan untuk mengumpulkan informasi.
Iwan sadar, apa yang ia lakukan berbahaya. Namun, kegelisahan akan kehidupan yang stagnan di kota besar ini membuatnya nekat. Ia tidak pernah memberitahukan keluarganya mengenai hal tersebut. Bahkan sahabat-sahabatnya, Hasan dan Irfan, tidak tahu apa-apa tentang keterlibatannya dengan kepolisian. Semua terasa berjalan mulus—setiap informasi yang ia berikan selalu berhasil menangkap para pelaku kejahatan, dan setiap kali itu pula Iwan mendapat bayaran yang jauh lebih besar dari gajinya sebagai karyawan rumah makan. Namun, keberhasilannya ini akhirnya menimbulkan masalah besar, yang kini ia hadapi.
Malam itu, rumah makan tempatnya bekerja sudah tutup. Iwan sudah menutup pintu dan mulai membereskan sedikit barang-barang pribadi yang ia tinggalkan di sudut meja kerjanya. Ketika ponselnya kembali bergetar, Iwan langsung merasa ada yang tidak beres. Pesan dari Pak Agan membuat perasaan Iwan semakin cemas. Pak Agan memberitahunya bahwa preman-preman yang sedang dia laporkan ke polisi telah mengetahui keberadaan Iwan dan sedang mencarinya. Bahkan, mereka mencari hingga ke rumah makan tempat Iwan bekerja. Ini adalah ancaman serius yang bisa mengancam keselamatan hidupnya. Hati Iwan berdebar kencang.
Pak Agan tidak banyak bicara, hanya mengatakan satu hal: "Iwan, segera pergi dari sini, kamu dalam bahaya. Saya sarankan kamu pulang ke kampung."
Iwan yang masih berusaha tenang menatap pesan itu, menimbang-nimbang. Ia memang sudah menduga, jika suatu saat ancaman itu akan datang. Namun, ia tidak pernah menyangka bahwa ancaman itu akan begitu nyata dan begitu cepat. Iwan segera merapikan barang-barangnya. Ia tidak bisa tinggal lebih lama di ibukota ini. Ia harus pergi. Namun, sebelum pergi, ada satu hal yang harus ia lakukan: membereskan urusan dengan sang bos, Pak Beni.
Pak Beni adalah pemilik rumah makan tempat Iwan bekerja. Meskipun hanya bekerja sebagai pelayan, Iwan merasa cukup dihargai di sana. Saat Iwan menghadap Pak Beni di ruang belakang rumah makan, ia merasa berat hati. Ia tahu keputusan ini akan mengejutkan Pak Beni, namun tidak ada pilihan lain.
"Bos," kata Iwan dengan suara terbata-bata. "Saya harus berhenti bekerja di sini."