Irfan sedang duduk di depan meja belajar, matanya terfokus pada layar ponselnya yang menunjukkan pesan masuk dari Ani. Senyum manis terbentuk di wajahnya saat membaca setiap kata yang dikirimkan oleh kekasihnya. Ia merasa bahagia, hari-harinya terasa ringan saat berbicara dengan Ani. Hubungan mereka, walau sudah berjalan lama, selalu memberi rasa nyaman yang sulit digambarkan.
Tiba-tiba, pintu kamar Irfan terbuka lebar. Hasan dan Iwan, masuk dengan gaya mereka yang selalu ceria. Tanpa basa-basi, Hasan segera meraih ponsel Irfan yang tergeletak di atas meja.
"Pong, ngapain sih terus-terusan sama si Ani?" kata Hasan, sambil tersenyum nakal. "Udah gitu, diem aja lagi kayak orang bego. Kenapa sih, Pong?"
Iwan yang biasanya tidak terlalu mengurusi hubungan Irfan, ikut melontarkan ejekan serupa. "Wah, pasti lagi gembira nih!" katanya, sembari duduk di atas tempat tidur Irfan.
Irfan hanya menggelengkan kepala, berusaha mengabaikan kedua sahabatnya yang kini seolah menguasai ruang pribadinya. Sambil memandang ponsel yang masih menyala, dia melanjutkan percakapan dengan Ani. Namun, Hasan dan Iwan tidak berhenti menggodanya. Mereka semakin menjadi-jadi.
"Heh, Pong! Kasih tau dong, si Ani gimana? Apa dia benar-benar cinta ama kamu, atau kamu cuma jadi pacar bayangan?" Hasan menggoda sambil memegangi ponsel Irfan yang seharusnya menjadi milik pribadi.
Irfan mengerutkan dahi, mencoba tetap tenang. "Udah dong ah. Jangan ganggu aku terus, Cong," jawabnya pelan, berusaha menghindar dari ulah teman-temannya yang semakin menjadi.
Namun, Iwan tidak mau kalah. Ia menyahut dengan canda yang lebih pedas. "Eh, jangan bilang udah emprut ya? Video dong Pong. Kita pengen lihat nih!" Iwan tertawa terbahak-bahak, menganggap dirinya lucu.
Rasa kesal mulai merayap di hati Irfan. Setiap kali ia memiliki pacar, Hasan dan Iwan selalu saja ikut campur dan mengolok-olok. Seakan-akan, hubungan pribadinya dengan Ani hanya menjadi bahan lelucon bagi mereka. Irfan sudah tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi mereka.
"Kenapa sih kalian enggak bisa ngertiin kalau aing lagi serius sama Ani?" Irfan akhirnya mengangkat suara, meski terasa gemetar. "Kenapa hah terus-terusan begini? Apa enggak bisa sekali-sekali menghargai aing?"