Iwan duduk termenung di warung kopi yang biasa ia kunjungi dengan dua sahabatnya. Wajahnya yang tampak lelah menggambarkan ketegangan yang sedang ia rasakan. Dalam beberapa hari terakhir, hubungan dengan Lia, kekasihnya, semakin membingungkan. Banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, namun ia merasa bingung untuk mencari jawabannya. Karena itu, ia memutuskan untuk meminta pendapat dari kedua sahabatnya.
Hasan, yang biasa dikenal sebagai sahabat yang lebih santai dan tidak suka ikut campur, terlihat sedang menyesap kopi hitamnya. Ia menatap Iwan dengan pandangan yang tidak sepenuhnya mengerti. Sementara Irfan, yang lebih terbuka dan tegas, mengusap dagunya dengan ragu, tampaknya sedang berpikir keras.
“Wok, aing enggak tahu harus bilang apa. Ini urusanmu, dan aing rasa kamu yang lebih tahu apa yang terbaik untuk dirimu,” kata Hasan, sambil mengangkat bahu. Suaranya terdengar pelan, seakan tidak ingin terlalu terlibat dalam percakapan ini.
Iwan menghela napas panjang. Hasan tidak ingin memberi saran atau intervensi terlalu dalam dalam urusan pribadinya, setelah mengingat kejadian kemarin antara pertikaian Irfan dan Iwan. Hasan tidak ingin ini semua terulang seperti apa yang akan dirasakan oleh Irfan. Mendapatkan intervensi dan terlalu jauh ikut campur dalam hubungan asmara mereka.
Tapi Iwan tidak bisa begitu saja menerima jawaban yang terkesan menghindar itu. Ia memandang Hasan dengan serius. “Aing tahu, Cong. Tapi aing butuh pendapat kalian. Kalian kan sahabatku. Aing enggak bisa memutuskan masalah ini secara spontan.”
Hasan menatap Iwan sejenak, lalu kembali mengalihkan pandangannya ke cangkir kopinya. Ia tahu kalau sahabatnya itu sudah benar-benar terjebak dalam dilema, namun ia tidak bisa memberinya jawaban yang pasti. Dia tahu betul bahwa Iwan harus memutuskan sendiri, dan Hasan hanya bisa berharap keputusan itu adalah yang terbaik untuk Iwan.
Irfan, yang sebelumnya hanya diam, akhirnya membuka suara. Wajahnya serius, namun ada kesan sedikit keras dalam suaranya. “Boleh enggak aing kasih masukan?”
Iwan menoleh ke arah Irfan. "Silahkan, Pong!"
Iwan penasaran dengan apa yang akan dikatakan Irfan. “Gimana menurut kamu, Pong?”
Irfan menatap Iwan dengan tatapan yang lebih dalam. “Kamu udah terlalu lama memberi kesempatan kepada si Lia, tapi kalau menurutku sih, kalau rasa dia sudah keterlaluan, kenapa masih dipertahankan, Wok? Cinta yang kamu punya enggak bisa membuat seseorang berubah kalau dia memang enggak mau berubah.”
Iwan terdiam mendengar kata-kata Irfan. Ia memang sudah merasakan beberapa kejanggalan dalam hubungannya dengan Lia. Namun, perasaan cintanya pada Lia terlalu kuat untuk membiarkan segalanya begitu saja hilang. “Tapi.... Tapi aing udah terlanjur cinta ke si Lia, Pong. Aing enggak bisa gitu aja ninggalin dia.”
Irfan menggelengkan kepala. “Wok, Wok. Ini bukan soal cinta aja. Tapi tentang harga diri seorang lelaki dan kepercayaan. Kalau si Lia sudah melanggar itu berkali-kali, kenapa kamu harus bertahan?”
Iwan terdiam, lalu menundukkan kepalanya. Kata-kata Irfan memang masuk akal, tapi hati kecilnya masih menolak. “Aing enggak tahu, Pong. Bingung."
Hasan yang sejak tadi hanya mendengarkan, akhirnya membuka mulutnya dengan nada yang agak enggan. “Iya, Wok. Aing sih… enggak tahu ya. Tapi kalau si Ipong ngomong kaya gitu, mungkin memang benar sih, Wok. Ada yang salah dengan si Lia.”