Pagi itu, seperti biasa, Hasan sedang duduk di teras rumahnya, menikmati secangkir kopi. Udara segar menyapanya, namun sebenarnya pikirannya jauh dari ketenangan. Ketika ponselnya berbunyi, tertera nama saudaranya, Asep, di layar. Hasan tahu, ini bukan sekadar telepon biasa.
"Cong, besok saya kerumah mau jemput kamu," suara Asep terdengar serius di ujung sana. "Ada kerjaan, tapi di Maluku. Saya mau ajak kamu kesana. Gajinya lumayan gede, Cong."
Hasan terdiam sejenak. Ada rasa ragu yang tiba-tiba datang menghimpit hatinya. Pekerjaan itu jauh, bahkan lebih jauh dari yang ia bayangkan sebelumnya. Namun, kebutuhan hidup yang semakin mendesak membuatnya akhirnya menganggukkan kepala meski hanya dalam pikiran.
“Ke Maluku? Besok? Ok...ok kesini aja,” jawab Hasan pelan.
Pekerjaan di tempat yang jauh itu, yang terletak di sebuah kota di daerah timur Indonesia, Maluku, adalah tawaran yang tak bisa ditolak. Hasan tahu betul bahwa situasi ekonomi keluarganya sudah tidak stabil, dan keputusannya untuk bekerja jauh dari rumah adalah langkah yang harus ditempuh. Namun, ada sesuatu yang masih menggantung di hatinya—sesuatu yang tak bisa ia tinggalkan begitu saja.
Hari itu berlalu begitu saja. Pagi berganti sore, dan Hasan merasa tak sabar untuk menghubungi Wati. Ia tahu, dalam hitungan hari, Wati akan menikah dengan seorang pemuda pilihan orang tuanya. Pemuda itu adalah anak dari mantan kepala desa, seorang tokoh yang dihormati di desa mereka. Semua orang tahu bahwa pernikahan itu adalah hasil dari perjodohan yang dirancang orang tua Wati. Wati pun, meski masih menyimpan perasaan terhadap Hasan, terpaksa menurut apa kata orang tuanya.
Namun, pada malam ini, sebelum ia meninggalkan desa dan mengucapkan selamat tinggal untuk selamanya kepada Wati, Hasan ingin melakukan sesuatu yang gila, yang bisa jadi akan menjadi kenangan terakhirnya bersama wanita yang sangat ia cintai.
Dengan hati yang berdebar, Hasan membuka Facebook di ponselnya dan mulai menulis pesan. Terkadang, kata-kata bisa menjadi jembatan yang menghubungkan hati yang terpisah, atau malah bisa menjadi penghancur segalanya. Namun, kali ini, ia hanya ingin berbicara dengan Wati, sebelum semuanya berubah.
Pesan Hasan untuk Wati:
"Wati, besok aku akan berangkat. Aku enggak tahu kapan pulangnya. Soalnya aku kerja ke tempat yang sangat jauh. Jadi sebelum berangkat, aku pengen ketemu kamu dulu."
Pesan itu dikirim, dan Hasan menunggu. Sebenarnya Hasan ragu, jika pesannya tidak akan lagi dibalas oleh Wati. Tapi, tidak butuh waktu lama, Wati justru membalas pesan Hasan.