Hari itu adalah hari yang penuh dengan keputusan besar bagi Hasan. Di tengah kesibukan kehidupannya yang sederhana di kampung, ia merasa ada sesuatu yang kurang. Pekerjaan di kampung sudah tidak bisa memenuhi harapannya, apalagi kebutuhan hidup yang semakin berat. Hasan sudah lama berpikir untuk mencari peruntungan di luar kampung, merantau ke tempat yang lebih menjanjikan. Saat itulah, saudaranya, Asep, datang dengan sebuah kabar mendalam yang mengubah hidup Hasan.
“Cong, siap kan berangkat?” tanya Asep dengan nada yang sedikit tergesa-gesa.
Hasan yang saat itu sedang duduk di teras rumah, mendongak dan menatap wajah Asep dengan tatapan bingung. “Insya Allah siap.” jawabnya, merasa yakin.
Asep menjelaskan bahwa temannya yang lain, telah bekerja di sebuah perusahaan tambang di Maluku dan membutuhkan tenaga tambahan untuk pekerjaan di sana. Teman Asep, sudah mengurus semua persyaratan administrasi dan biaya untuk perjalanan mereka, jadi Hasan tinggal berangkat saja. Tidak ada waktu untuk banyak persiapan. Semua akan dilakukan dengan cepat, dan Hasan diminta segera mengemas barang-barangnya.
Hasan merasa cemas, namun ada semangat baru yang tumbuh dalam dirinya. Merantau ke tempat baru selalu menimbulkan perasaan campur aduk antara ketakutan dan harapan. Apalagi, dia tahu bahwa jika kesempatan ini dilewatkan, belum tentu ia bisa mendapat kesempatan lain yang lebih baik.
Pagi itu, rumah kecil yang terletak di ujung kampung sudah mulai sepi. Tanda orang-orang sudah pergi ke sawah dan kebun. Irfan yang masih sibuk dengan sekolahnya tidak sempat mengucapkan selamat jalan kepada Hasan. Tetapi, itu tidak menjadi masalah besar bagi Hasan. Ia tahu, sahabatnya itu saat ini sedang sibuk-sibuknya, walaupun bagi mereka, keberangkatan Hasan ini adalah sesuatu yang cukup terasa berat.
Sebelum keberangkatannya, Hasan mendekati Iwan yang sedang berdiri di luar rumah, menatap jauh ke arah jalan. Wajah Iwan terlihat muram, seolah ia juga merasakan beratnya keputusan yang diambil oleh Hasan.