Malam itu, angin malam yang sejuk bertiup lembut, tetapi tidak mampu meredakan kegelisahan yang melanda hati Lia. Waktu seolah berhenti di tengah ruang tamu rumahnya yang sederhana. Semua terasa sunyi, hanya terdengar isakan tangis yang sesekali tercampur dengan suara berat napasnya. Lia, yang duduk bersimpuh di lantai, menatap punggung bapaknya yang berdiri tegak di hadapannya. Sementara itu, bapak Lia hanya memandang dengan tatapan kosong, tidak mampu berkata-kata.
Lia, dengan tubuh yang terkulai lemah, merasakan betapa beratnya beban yang harus ditanggung. Pikirannya kacau, hatinya berantakan. Ia merasa dunia ini runtuh seketika, tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia tak pernah membayangkan akan sampai pada titik ini. Ternyata, takdir membawanya pada jalan yang penuh kehancuran.
Bapak Lia, yang biasanya tegar dan penuh kasih sayang, kini hanya mampu berdiri diam. Matanya yang tajam menatap Lia, seakan ingin menuntut jawaban atas semuanya. Tidak ada lagi kata-kata lembut yang biasa terdengar dari bibirnya. Hanya ada hening yang memeluk malam itu, membuat Lia semakin merasa terpuruk dalam kesalahan yang tak terampuni.
Lia menggigit bibirnya, mencoba menahan tangis yang semakin pecah. Ia memandang lantai, tak berani menatap wajah bapaknya yang kini dipenuhi oleh kekecewaan. Dalam isakan tangisnya, Lia berkata dengan suara tercekat, "Pak... maafkan Lia... maafkan ya Pak..."
Lia menundukkan kepalanya lebih dalam, kemudian sujud di depan kaki bapaknya. Ia merasakan tubuhnya gemetar hebat, entah karena rasa bersalah yang menggerogoti, atau karena ketakutan yang menghinggapi hatinya. Sungguh, ia tak pernah merasa seburuk ini. Ia hanya ingin semuanya bisa selesai, meskipun tahu itu tidak mungkin terjadi.
Bapak Lia menghela napas berat. Ia menunduk dan berusaha menahan emosi yang mulai menggelegak dalam dirinya. Sebelumnya, ia sudah mendengar kabar tentang apa yang terjadi. Ia tahu, ada yang tidak beres dengan Lia. Tetapi, yang paling membuatnya marah adalah kenyataan bahwa Lia telah hamil. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi kenyataan pahit ini.
"Lia," suara bapaknya terdengar serak, "siapa lelaki nya? Siapa yang akan tanggung jawab padamu?"
Lia masih terisak, tubuhnya semakin lemah dan tidak mampu bangkit dari sujudnya. Tentu saja, pertanyaan itu memunculkan rasa takut yang luar biasa. Ia tak ingin mengatakan nama yang sebenarnya. Dalam kepalanya, satu nama saja yang terus terngiang—Iwan. Tapi, bukankah itu hanya sebuah tuduhan? Apakah Iwan benar-benar akan bertanggung jawab? Atau akankah ini hanya menambah masalah baru bagi dirinya?
"Pak, Lia... Lia..." kata-kata itu tidak bisa keluar dengan jelas dari mulutnya. Rasa cemas dan takut menghimpitnya, membuatnya sulit bernafas. Ia masih belum siap menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.
Bapak Lia berdiri lebih dekat, mencoba menenangkan hatinya yang mulai tersulut amarah. Ia sudah menyiapkan diri untuk menghadapi segalanya, meskipun ia tak tahu harus bagaimana menghadapi kebohongan yang mungkin telah ditutupi oleh anaknya.
Lia mengangkat kepalanya, memandang bapaknya dengan tatapan penuh penyesalan. “Iwan... Iwan yang telah melakukannya, Pak. Iwan yang harus bertanggung jawab.”